Somalia terletak di
Afrika bagian timur berbatasan dengan Djibouti, Kenya dan Ethiopia serta Teluk
Aden dan Samudra Hindia. Luas wilayahnya adalah 637.657 km2. Negara
ini memperoleh kemerdekaan tanggal 1 Juli 1960 dari hasil penggabungan bekas
protektorat Inggris, British Somaliland dan koloni Itali, Somaliland. Presiden
pertamanya adalah Aden Abdullah Osman Daar.
Pada tahun 1969,
Muhammad Siad Barre menjadi presiden ketiga Somalia setelah menggulingkan Abdi
Rashid Ali Shermarke dalam sebuah kudeta berdarah dan menyebabkan terbunuhnya
Shermake. Dalam masa pemerintahannya,
Siad Barre mendeklarasikan Somalia sebagai sebuah negara sosialis dan berhasil
meraih simpati dari Uni Soviet. Tahun 1977, angkatan bersenjata Somalia
berupaya menguasai wilayah Ogaden di Ethiopia yang banyak didiami orang Somalia
namun berhasil dipukul mundur oleh Ehiopia yang didukung oleh Kuba dan Uni Soviet.
Tahun 1981, oposisi
terhadap Siad Barre menguat setelah dikeluarkannya keputusan untuk
mengecualikan anggota klan Mijertyn and Isaaq dari posisi-posisi di
pemerintahan dan mengisinya dengan orang-orang dari klannya sendiri yaitu klan
Marehan. Gabungan milisi-milisi dari berbagai klan berhasil menjatuhkan
pemerintahan Siad Barre pada tahun 1991. Namun kekuatan gabungan ini gagal
menyatukan suara untuk membentuk pemerintahan sehingga terjadilah perebutan
kekuasaan antar berbagai klan. Pada masa ini, warlords yang paling berpengaruh dalam perebutan kekuasaan dan
menihilkan pemerintahan pusat yang efektif adalah Mohamed Farah Aideed dan Ali
Mahdi Mohamed. Tahun 1991, Somaliland bekas protektorat Inggris menyatakan
kemerdekaannya, namun tidak mendapatkan pengakuan dan dukungan dari dunia
internasional. Pada tahun 1998, wilayah Puntland kemudian menyusul menyatakan
otonomi (non kemerdekaan) dan menyerukan perlunya pemerintahan federasi
Somalia.
Pada bulan Agustus
2004, dalam upaya ke-14 untuk membentuk pemerintah pusat, parlemen transisi
bertemu di Kenya dan sepakat untuk mengangkat Adullahi Yusuf sebagai presiden. Parlemen
transisi tidak pernah melakukan pertemuan setelah persidangan di Kenya tersebut
hingga tahun 2006 karena kesulitan menentukan dimana lokasi parlemen seharusnya
berada. Bulan Juni-Juli 2006, kelompok milisia yang setia kepada Union of Islamic Courts mengambil alih
Mogadishu dan bagian selatan Somalia setelah mengalahkan para warlords. UIC merupakan gabungan 11
kelompok berbasis Islam yang didukung Eritrea dan memiliki jargon pembentukan
pemerintahan dan hukum syariat di Somalia dan “Pan Somalia”. Kemudian pada
bulan September 2006, pemerintah transisional melakukan pembicaraan damai
dengan Union of Islamic Courts di
Khartoum, Sudan. Pemerintah akhirnya berhasil mengambil alih Mogadishu dari
tangan Union of Islamic Courts pada
bulan Desember 2006 dengan bantuan tentara Ethiopia. Namun kelompok pemberontak
bersenjata melawan balik dan pada tahun 2008 secara efektif berhasil menguasai
wilayah selatan Somalia.
Bulan Februari 2007,
Dewan Keamanan PBB menyetujui penggelaran pasukan perdamaian dari Uni Afrika (African Union Mission in Somalia/AMISOM)
untuk jangka waktu enam bulan. Pasukan tersebut diterjunkan di Mogadishu pada
bulan Maret ditengah-tengah sengitnya pertempuran antara pasukan pemerintah
dengan pemberontak bersenjata. Al Shabab, diantara kelompok pemberontak
bersenjata lainnya merupakan kelompok yang paling berhasil
menginternasionalisasikan konflik Somalia. Ditengarai bahwa kelompok ini
mendapatkan pasokan senjata dan orang-orangnya dari negara tetangga Eritrea.
Saat ini secara de jure Somalia berada di bawah kendali Federal Transitional Government (FTG) yang terdiri atas unsur
kelompok-kelompok oposisi di Mogadishu, pembagian kekuasaan dengan Ahlu Sunnah
Wal Jamaah (AWSJ) dan daerah otonomi Puntland. Secara efektif, FTG hanya
menguasai 6 distrik di Mogadishu, setelah pada Januari 2009 pemberontak
Al-Shabab berhasil menguasai kota Baidoa yang merupakan wilayah pertahanan
terkuat FTG. Pada bulan Februari 2009, FTG mengangkat Sheikh Sharif Sheikh Ahmed
sebagai presiden.
Situasi keamanan di
Somalia tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Secara de facto, Somalia merupakan failed state karena pemerintah (FTG)
hanya menguasai tidak sampai 25% dari seluruh wilayah Somalia dan tidak dapat
melaksanakan fungsi utamanya kepada sebagian besar rakyatnya. Berdasarkan
pengertian dari British Department for
International Development, fungsi-fungsi utama yang tidak dapat
dilaksanakan sehingga sebuah negara masuk kategori failed state adalah ketiadaan kendali atas wilayah teritorialnya,
keamanan dan rasa aman, kemampuan untuk mengelola sumber-sumber daya umum,
pelayanan kebutuhan mendasar, serta kemampuan untuk melindungi dan mendukung
rakyat yang paling miskin agar dapat menghidupi dirinya.
Kondisi
Sosial Ekonomi
Jumlah penduduk
Somalia secara keseluruhan adalah 9,12 juta (2008). Bahasa resminya adalah
Somali, disamping itu terdapat bahasa Arab, Italia dan Inggris yang digunakan
sehari-hari. Secara tradisional, penduduk Somalia terbagi atas beragam klan.
Klan-klan utama antara lain Darood, Dir, Hawiye, Isaaq, dan Rahanweyn.
Rakyat Somalia
dihadapkan pada ketiadaan pemerintahan pusat yang efektif, perang yang
berkepanjangan, dan harus menghadapi serangkaian bencana baik yang diakibatkan
oleh perang, maupun kondisi alam. Somalia seringkali menghadapi musim kering
yang berkepanjangan sehingga banyak rakyatnya yang mengalami bencana kelaparan.
Somalia juga terimbas bencana tsunami yang menghantam pantai dan pulau Hafun
tahun 2004. Bencana tersebut mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu
orang lainnya kehilangan tempat tinggalnya.
Perang yang
berkepanjangan juga telah mengakibatkan jutaan penduduk harus kehilangan rumah
tinggalnya karena mengungsi baik di wilayah lain di Somalia maupun ke
negara-negara tetangga. Menurut laporan PBB, sekitar 50% dari jumlah
keseluruhan penduduk Somalia akan membutuhkan bantuan hingga tahun 2010. Perang
telah mengakibatkan adanya Internally
Displaced People (IDP) yang diperkirakan mencapai 1,55 juta (Januari 2010),
antara lain tersebar di Puntland 104.000 orang), Somaliland 67.000 orang), dan
bagian tengah/selatan Somalia (1,38 juta orang). Negara-negara sekitar yang
menjadi pelarian pengungsi dari Somalia antara lain Kenya, Tanzania, Uganda dan
Ethiopia. Bahkan ada diantara para pengungsi tersebut yang nekat menyeberangi
teluk Aden dari bagian utara Somalia menuju Yaman. Menurut catatan UNHCR
(Januari 2010), sekitar 162.700 penduduk Somalia mengungsi di Yaman, 4.800
orang di Eritrea, 10.600 orang di Djibouti, 59.000 orang di Ethiopia, 309.100
di Kenya, 11.700 di Uganda dan 2.900 di Tanzania.
Kondisi keamanan yang
buruk terutama di wilayah selatan tengah Somalia, seperti ancaman terhadap staf
NGO kemanusiaan tersebut, persepsi dan penerimaan yang bermusuhan dan penuh
prasangka buruk terhadap staf serta permintaan “registration fee” dari kelompok bersenjata telah membuat
organisasi yang berhubungan dengan pengungsi seperti UNHCR kesulitan untuk
membantu kebutuhan mereka. Hingga saat ini, masalah-masalah sosial kemanusiaan
yang dihadapi oleh Somalia selain kelaparan adalah masalah kesehatan yang
berhubungan dengan jumlah pengungsi dan IDP yang besar, penebangan hutan, overgrazing (jumlah hewan ternak yang
tidak sebanding dengan jumlah padang rumput), erosi tanah dan penggurunan.
Masalah lain yang tak
kalah peliknya adalah penyebaran ranjau darat di Somalia yang telah memakan
korban ribuan jiwa sebagai dampak konflik yang berkepanjangan. Pada saat
terjadinya perang dengan Ethiopia pada tahun 1977, ribuan ranjau darat ditanam
di perbatasan dengan Ethiopia sepanjang 1.600 km. Diperkirakan sekitar 70% dari
keseluruhan jumlah ranjau yang ditanam di Somalia berada di sepanjang
perbatasan ini. Ribuan ranjau juga ditanam di wilayah Puntland pada saat
terjadinya konflik antara pemberontak bersenjata dengan tentara rezim Siad
Barre. Sementara wilayah tengah dan selatan Somalia yang merupakan tempat
berkecamuknya konflik saat ini juga menjadi tempat ditanamnya ribuan ranjau
darat.
Ranjau darat
digunakan sebagai bentuk terror dan digunakan untuk target sipil maupun militer
di Somalia. Ranjau digunakan di tanah-tanah pertanian, di seputaran bangunan
umum, jalan, reservoir air, dan
sebagainya. Akibat persebaran ranjau ini, pertanian dan peternakan yang
merupakan tulang punggung perekonomian Somalia tidak dapat berkembang. Padang
rumput-padang rumput dan tempat-tempat minum ternak dipasangi ranjau darat
sehingga banyak hewan ternak yang terkena ranjau. Ranjau juga dipasang di
tanah-tanah pertanian di sekitar lembah Juba tengah dan bawah, demikian juga
halnya dengan akses jalan yang digunakan oleh para petani untuk menuju pasar
banyak dipasangi ranjau. Karena ketiadaan keamanan yang memadai di Somalia, hingga
saat ini tidak ada tindakan untuk membersihkan ranjau-ranjau tersebut.
Perompakan
di Laut
Situasi keamanan di
darat yang terus memburuk dan ketiadaan payung hukum yang jelas mengakibatkan
vakumnya hukum (lawless) yang
berdampak pada situasi keamanan di perairan Somalia. Kondisi yang tidak
kondusif ini kemudian dimanfaatkan oleh para nelayan asing untuk
mengeksploitasi ikan di perairan Somalia secara besar-besaran. Nelayan lokal
Somalia yang sebagian besar adalah nelayan tradisional merasa kalah bersaing. Hal
ini kemudian memicu resistensi para nelayan lokal Somalia terhadap keberadaan
kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi dengan bebas di perairan Somalia
karena ketiadaan hukum dan para aparat penegak hukum untuk menindaknya, dan
muncul dalam bentuk perompakan laut. Namun pada perkembangannya, motif ini
bergeser menjadi upaya untuk mendapatkan uang tebusan dalam jumlah besar.
Situasi ini kemudian juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok orang yang
disinyalir berasal dari Puntland untuk melakukan perompakan-perompakan terhadap
kapal-kapal asing yang melintasi wilayah Teluk Aden dan khususnya perairan
Somalia.
Dari beberapa sumber
disebutkan bahwa dengan tidak adanya kontrol terhadap keamanan di wilayah
perairan Somalia, beberapa pihak yang disebut sebagai “mafia internasional”
memasok perlengkapan persenjataan canggih dan menggunakan orang-orang dari
Somaliland dan Puntland untuk melakukan perompakan terhadap kapal-kapal asing
yang melintasi wilayah Somalia. “Mafia internasional” inilah yang kemudian
disebut-sebut sebagai tokoh di belakang layar dari perompakan-perompakan yang
terjadi di perairan Somalia. Menurut International
Maritime Bureau, sepanjang tahun 2009 telah terjadi 214 kali penyerangan
terhadap kapal-kapal yang berlayar di wilayah Somalia dimana 47 diantaranya
mengalami pembajakan. Berita terbaru menyatakan bahwa pada sekitar pertengahan
Januari 2010, sekelompok pembajak Somalia membebaskan tanker pengangkut minyak
berbendera Yunani beserta 28 awak kapalnya setelah menerima tebusan sebesar US$
5,5 juta. Kapal tersebut telah disandera sejak November 2009 saat melintasi
perairan Somalia.
Dalam kasus
perompakan kapal ini, beberapa ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing
sempat menjadi sandera. Tercatat pembajakan kapal dari berbagai negara
yang didalamnya terdapat ABK dari Indonesia di perairan Somalia dan sekitarnya.
Nama-nama kapal tersebut adalah Hsin Lien Fa No. 36 (dimiliki WN Taiwan,
berawak 14 WNI), Dong Won 628 (dimiliki WN Korsel, berawak 9 WNI), Mavuno 2
(dimiliki WN Korsel , berawak 4 WNI), Asmak I (dimiliki WN Oman, berawak 4
WNI), Masindra 7 (dimiliki WN Malaysia, berawak 11 WNI), Longchamp (dimiliki WN
Jerman, berawak 1 WNI), Alakrana (dimiliki WN Spanyol, berawak 6 WNI), Kota
Wajar (dimiliki WN Singapura, berawak 8 WNI), MT Pramoni
(dimiliki WN Norwegia, berawak 17 WNI, dibebaskan 26 Februari
2010) dan MV Sinar Kudus (dimiliki PT. Samudera Indonesia, berawak 20 WNI).
Modus operandi pembajakan
dan perompakan ini telah berkembang menjadi bisnis yang sangat menguntungkan di
Somalia. Di Haradhere, salah satu kota yang menjadi pusat para perompak di
Somalia, para pembajak telah membentuk semacam pasar modal untuk mendanai
operasi mereka. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam bentuk uang, senjata,
tenaga di laut maupun darat, atau barang-barang lainnya yang berguna dalam
mendukung operasi pembajakan ini. Hasil dari sebuah operasi pembajakan akan
dibagikan ke seluruh pemegang saham/pemberi modal sesuai dengan porsinya.
Dalam mengatasi
masalah pembajakan ini, pada tanggal 26-29 Januari 2009 di Djibouti IMO (International Maritime Organization)
yang bernaung di bawah PBB, menyelenggarakan Sub-regional Meeting to Conclude Agreements on Maritime Security,
Piracy and Armed Robbery against Ships for States from the Western Indian
Ocean, Gulf of Aden and Red Sea areas. Pertemuan ini dihadiri oleh
negara-negara pantai di kawasan timur Afrika yaitu Comoros, Djibouti, Mesir,
Eritrea, Ethiopia, Yordania, Kenya, Madagaskar, Maldives, Mauritius,
Mozambique, Oman, Saudi Arabia, Seychelles, Somalia, Afrika Selatan, Sudan, Uni
Emirat Arab, Tanzania, dan Yaman. Pertemuan tersebut mengakui dampak dari
masalah pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal di perairan
dimaksud dan para pihak penandatangan menyatakan keinginannya untuk bekerjasama
guna menekan pembajakan dan perompakan bersenjata terhadap kapal-kapal.
Implementasi dari Djibouti Code of
Conduct ini ditujukan untuk peningkatan komunikasi diantara negara-negara
peserta dan penguatan kemampuan negara-negara di wilayah tersebut guna
mencegah, menahan, dan mengadili para pembajak; meningkatkan kepedulian situasi
maritim di wilayah tersebut; serta meningkatkan kemampuan para coast guard setempat di perairan
dimaksud. Disamping itu, IMO juga meminta dukungan tambahan dari negara-negara
yang dapat menyediakan kapal-kapal perang dan pesawat terbang patroli maritim
untuk wilayah Teluk Aden dan Samudra Hindia bagian barat serta menitikberatkan
perhatian untuk mengikutsertakan Maritime
Rescue Coordination Centres di Mombasa dan Dar es Salaam yang baru saja
dibuka untuk berperan serta dalam pemberantasan perompakan di laut. Untuk
jangka panjang, IMO akan mempromosikan perlunya tindakan internasional untuk
menstabilkan situasi di Somalia melalui DK PBB, UNPOS, UNDP, Contact Group on Piracy off Somalia dan
lain-lain.
Dampak perompakan dan
pembajakan di laut bagi wilayah Afrika bagian timur adalah tingginya biaya
hidup dan semakin banyak warga yang kesulitan mendapatkan bahan pokok
sehari-hari. Perompakan menyebabnya terhambatnya pasokan barang kebutuhan ke
wilayah ini, dan juga menyebabkan tingginya premi asuransi untuk menutup resiko
pengiriman barang melalui wilayah rawan ini.
Peran
Serta Masyarakat, Organisasi Regional dan Internasional
PBB melalui
serangkaian badan-badan khususnya seperti WFP, UNDP dan UNHCR hadir di Somalia
untuk memberikan bantuan dan dukungan. UNDP misalnya melakukan serangkaian
program pelatihan polisi dan program pengurangan kekerasan bersenjata.
Sementara WFP dan UNHCR bahu membahu menangani masalah kelaparan yang mengancam
para pengungsi dan IDP di tengah-tengah situasi keamanan yang tidak kondusif
serta penerimaan yang penuh prasangka buruk dan adanya “fee registration” bagi
setiap badan PBB yang akan hadir di Somalia.
Selain badan-badan
tersebut, PBB juga hadir melalu UNPOS (United
Nations Political Office for Somalia) untuk melakukan capacity building bagi pemerintah, UNSOA (United Nations Support Office for AMISOM) yang bertugas memberikan
pelatihan, pembangunan kapasitas dan bantuan-bantuan bagi tentara penjaga
perdamaian dari Uni Afrika di Somalia (AMISOM) dan UNMAS (United Nations Mine Action Service) untuk menangani masalah ranjau
darat.
Dengan dukungan PBB,
Uni Afrika kemudian menggelar pasukan perdamaian untuk Somalia (African Union Mission in Somalia/AMISOM)
untuk menggantikan pasukan Ethiopia. Namun dari sekitar 8.000 pasukan AMISOM
yang direncanakan, baru digelar 5.200 personel yang sebagian besar berasal dari
Uganda dan Burundi. Mengingat keterbatasan sumber daya keuangan dan
lain-lainnya, maka hingga kini pasukan AMISOM dinilai belum efektif untuk
mendukung terciptanya perdamaian di Somalia. Dalam Resolusi 1910 tanggal 28
Januari 2010, DK PBB memperpanjang otorisasi AMISOM selama 1 tahun hingga
tanggal 31 Januari 2011, karena DK memandang Somalia masih membutuhkan
keberadaan pasukan perdamaian tersebut. Resolusi juga meminta agar AMISOM
meningkatkan kekuatannya hingga 8.000 pasukan sebagaimana direncanakan dan
meminta agar AMISOM melanjutkan upaya untuk membantu TFG dalam mengembangkan
kepolisian dan security force
Somalia. Selain itu, DK meminta negara-negara anggota dan organisasi regional
guna memberikan kontribusi terhadap United
Nations Trust Fund for AMISOM atau memberikan sumbangan bilateral guna
mendukung AMISOM.
Meskipun TFG meminta
agar PBB segera menggelar United Nations
Peace Keeping Operation (UN-PKO), namun PBB belum memenuhinya hingga
Somalia memenuhi persyaratan yang ditetapkan
yaitu pembentukan sebuah persatuan nasional Somalia yang secara inklusif
melibatkan pihak-pihak yang ada di luar proses Djibouti, pembentukan operasi Joint Security Force di Mogadishu,
implementasi gencatan senjata, pencabutan checkpoint
yang illegal dan kontribusi tentara dan kapasitas militer yang memadai dari
negara anggota PBB. Menurut PBB, penggelaran UN-PKO sekarang ini memiliki
resiko tinggi karena para pihak yang menentang proses perdamaian di Somalia
akan memandang misi PBB tersebut sebagai musuh baru, sehingga misi akan menjadi
sasaran serangan. Untuk itu Sekjen PBB kemudian menetapkan tiga fase incremental approach di Somalia, yaitu:
(i) Memperkuat AMISOM sambil membangun lembaga keamanan Somalia; (ii) Apabila
situasi keamanan di Somalia telah cukup kondusif maka PBB akan memperluas
keterlibatannya di Somalia namun dengan pendekatan “light footprint” selama 3-4 bulan, (iii) Setelah tahapan (ii)
berakhir, maka DK akan mengkaji kembali peranan PBB di Somalia dan memutuskan
perlu tidaknya PKO menggantikan AMISOM.
Terkait dengan upaya
pemberantasan perompakan di laut, Uni Eropa memperpanjang Atalanta Operation
untuk memberantas pembajakan di Samudera Hindia pada tanggal 17 November 2009.
Resolusi PBB 1897 tanggal 30 November 2009 memberikan mandat perpanjangan 12
bulan kepada negara-negara dan organisasi regional guna bekerjasama dengan FTG
untuk memberantas bajak laut dan perampokan bersenjata.
Pemerintah Somalia (FTG)
telah mengidentifikasi beberapa area kunci yang dapat digarap dalam kerjasama
internasional. Beberapa bidang kunci tersebut antara lain penciptaan
lapangan pekerjaan, layanan-layanan sosial, tugas-tugas transisional, dan
rehabilitasi infrastruktur. Di sektor pertanian, WFP telah melakukan pembagian
150 ton bibit wijen, rehabilitasi saluran irigasi, dan pembagian sayur-sayuran.
Arab Saudi juga telah melakukan pencabutan terhadap pelarangan ekspor ternak
dari Somalia yang mendapatkan sambutan hangat dari pemerintah Somalia.
Sumber daya alam
Somalia sebenarnya sangat mencukupi untuk pembangunan negaranya, jika di masa
mendatang konflik bersenjata ini berakhir. Perut bumi Somalia mengandung
uranium, bijih besi, timah, gypsum, bauksit, tembaga, garam, gas alam dan
cadangan minyak bumi yang cukup besar. Di masa depan diperkirakan Somalia dapat
menjadi negara pengekspor minyak bumi dari wilayah sub-Sahara Afrika disamping
Ethiopia dan Angola.
Namun demikian,
di bidang sosial, perlu adanya perhatian bagi para korban ranjau darat,
pelatihan fasilitator, pemetaan lokasi-lokasi persebaran ranjau di wilayah
selatan dan tengah Somalia, dan pembersihan ranjau-ranjau di seluruh Somalia.
Pada saat UNOSOM beroperasi, telah dilakukan pembersihan 32.511 ranjau dan
72.000 UXO (Unexploded Ordinance) di selatan yang dilakukan oleh kontraktor
yang disewa oleh UNOSOM dan oleh Rimfire International yang disewa oleh UNHCR
dan MSF di wilayah barat laut. Pada saat itu, UNOSOM juga berhasil membersihkan
438 km jalan, 127 km2 wilayah peternakan dan menghancurkan 2.223 ranjau anti
personel, 5.300 ranjau anti tank dan 20.150 UXO. UNOSOM berhenti bertugas di
Somalia tanggal 31 Maret 1995, dan sejak saat itu operasi pembersihan ranjau
berhenti total.
Hal lain di
bidang sosial yang tak kalah pentingnya adalah rencana jangka menengah dan
panjang untuk melakukan repatriasi, integrasi dan pelatihan-pelatihan bagi para
IDP dan pengungsi yang tersebar di Somalia dan negara-negara sekitarnya jika
situasi dalam negeri Somalia telah cukup kondusif bagi kembalinya para
pengungsi tersebut. Dalam hal ini, peranan berbagai organisasi internasional
baik inter-governmental maupun non-governmental sangat diperlukan.
Bantuan para donor
internasional dalam hal pengelolaan anggaran negara seperti yang tercermin
dalam laporan terbaru Sekjen PBB nomor S./2009/684 yang menyatakan bahwa 80%
dari anggaran negara sebesar US$ 110,4 juta (2010) bergantung kepada bantuan
eksternal. Masalah
keamanan dan rasa aman saat ini merupakan hal yang paling penting di Somalia,
tercermin dari pembagian anggaran negaranya, dimana 50% digunakan untuk
pembayaran gaji national security forces.
Sifat anggaran negara seperti ini tentulah tidak sehat kurang berimbang,
namun saat ini memang diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.
Akan tetapi, bantuan internasional akan tetap diperlukan baik berupa kontribusi
dana, pelatihan basic services,
pemberian bantuan dan pelatihan di bidang pertanian dan peternakan, maupun
pelatihan dan pengembangan capacity
building bagi semua elemen terkait di Somalia.
Rangkuman
Ditinjau dari sisi
politik pemerintahan, Somalia merupakan negara yang saat ini masuk kategori failed state. Dalam hal ini pemerintah
pusat (FTG) tidak sepenuhnya menguasai wilayah negaranya dan tidak dapat
menyediakan kebutuhan dasar maupun perlindungan bagi warganya. Hanya 6 distrik
di ibukota Mogadishu yang berada di bawah kendali pemerintah. Sementara di luar
distrik tersebut, kendali berada di tangan para pemberontak bersenjata, atau di
tangan pemerintah lokal yang menyatakan kemerdekaan secara sepihak (Somaliland)
maupun otonomi tinggi (Puntland) yang berada di luar kendali FTG. Bahkan
terdapat kelompok bersenjata (Al-Shaabab) yang menginternasionalisasi konflik
dengan menyatakan afiliasinya dengan jaringan teroris Al-Qaeda.
Dari sisi anggaran,
Somalia juga bergantung hampir sepenuhnya kepada bantuan dari donor
internasional. Tanpa bantuan tersebut, dapat dipastikan bahwa negara beserta
elemen-elemen pemerintah tidak akan berfungsi. Ketidakefektifan penggunaan
anggaran tercermin dari pembagian anggaran, dimana 50%-nya digunakan untuk
menggaji aparat keamanan. Dalam suatu sidang parlemen bahkan beberapa anggota
parlemen menolak bersidang karena gaji mereka belum dibayarkan berbulan-bulan.
Sementara di sisi eksekutif timbul keretakan antara Presiden dengan PM
menyangkut rencana reshuffle kabinet
yang belum terselesaikan.
Dari sisi sosial
ekonomi, perang sipil yang berkepanjangan telah membuat rakyat Somalia
menderita. Sekitar 50% dari jumlah seluruh penduduk Somalia akan bergantung
sepenuhnya kepada bantuan dari luar negeri hingga akhir 2010. Sekitar 1,55 juta
penduduk menjadi Internally Displaced
People sementara jutaan lainnya mengungsi ke beberapa negara sekitar untuk
menghindari konflik berkepanjangan yang terjadi sejak tahun 1991 tersebut. Penderitaan
ini masih diperparah dengan adanya penyebaran ranjau di seluruh negeri sebagai
bentuk teror tanpa memandang sasaran. Akibatnya, banyak tanah pertanian,
peternakan dan jaringan infrastruktur jalan yang riskan untuk dilalui karena
menjadi padang ranjau. Para pengungsi tersebut juga harus menghadapi masalah
kelaparan, kesehatan, penyakit menular bahkan persekusi berdasarkan gender (di
wilayah tengah dan selatan Somalia yang dikuasai kelompok bersenjata).
Ketiadaan payung
hukum yang jelas juga berimbas ke laut. Somalia dipandang sebagai sarang bajak
laut yang mengincar kapal-kapal berbendera asing yang melintasi Teluk Aden atau
Samudera Hindia. Bahkan dalam beberapa peristiwa perompakan, para bajak laut
melakukan aksi perompakannya hingga sejauh 1.000 nautical mil jauhnya. Akibat
dari maraknya aksi perompakan ini adalah kesulitan pasokan kebutuhan hidup
sehari-hari ke wilayah Afrika Timur yang berujung pada meroketnya harga
berbagai barang dan tingginya premi asuransi untuk setiap pelayaran yang
melintasi wilayah tersebut. Masalah ini juga menjadi masalah lintas batas
negara karena para perompak meminta tebusan yang sangat besar bagi kapal-kapal dan
para ABK yang mereka sandera. Beberapa negara secara individu maupun melalui
organisasi regional telah menyikapi masalah ini dengan mengirimkan armada kapal
perangnya ke seputar Teluk Aden dan Samudra Hindia guna memerangi para
perompak.
Masyarakat
internasional telah memberikan segenap perhatian kepada masalah Somalia ini. Dari
sisi kemanusiaan dan pemberdayaan dan peningkatan pembangunan kapasitas,
beberapa organisasi yang bernaung di bawah PBB maupun beberapa NGO
internasional telah hadir. Namun beragam hambatan seperti penerimaan yang
bermusuhan terhadap lembaga-lembaga dimaksud, situasi keamanan yang tidak
kondusif serta adanya ‘registration fee’ dalam jumlah besar menjadi penghalang
utama beroperasinya mereka di Somalia.
Di
sektor sosial ekonomi, Somalia akan membutuhkan bantuan guna merepatriasi,
rehabilitasi para IDP dan pengungsi, pembersihan padang ranjau di beberapa
bagian negeri, rehabilitasi dan integrasi korban ranjau, pengembangan
pembangunan kapasitas di sektor pertanian dan peternakan sebagai tulang
punggung perekonomian negara dan rencana pengembangan sumber daya alam lainnya
(pertambangan) untuk meningkatkan pendapatan negara.
Di
sektor politik dan keamanan, Somalia akan membutuhkan pelatihan bagi polisi dan
angkatan bersenjatanya sehingga pada saatnya di saat terjadi penarikan para
penjaga perdamaian dari negara-negara lain, Somalia mampu berdiri sendiri.
Selain itu, sebagaimana beberapa kasus di negara lainnya, FTG harus memikirkan
kemungkinan pengintegrasian bekas-bekas kelompok bersenjata ke dalam angkatan
bersenjata atau kepolisian Somalia maupun cara terbaik untuk memerangi kelompok
yang berafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Untuk masalah
disintegrasi, di masa mendatang dapat dipikirkan kemungkinan perundingan dengan
Somaliland yang dapat ditengahi oleh negara tertentu atau oleh Uni Afrika.
Disamping itu, sesuai dengan himbauan dari PBB, Ethiopia dan Eritrea yang
ditengarai memiliki kepentingan terselubung di Somalia hendaknya tidak lagi
melakukan campur tangan di Somalia.
Dalam
jangka pendek, keamanan dan rasa aman merupakan hal paling krusial yang harus
mampu dihadirkan oleh FTG di Somalia. Dukungan pasukan penjaga perdamaian dari
Uni Afrika (AMISOM), walaupun terbatas diharapkan mampu mewujudkan hal
tersebut. Setelah prasyarat mendasar ini terpenuhi, maka masyarakat dan donor
internasional barulah akan dapat bergerak sepenuhnya sesuai kapasitas yang
dimiliki untuk membantu Somalia.
Ini membantu ane dalam ngerjain tugas :v
ReplyDeletenuhun gan
terima kasih...
Deletemembantu bingiit
ReplyDelete