Friday, November 4, 2011

Perkembangan Politik, Keamanan, dan Ekonomi Somalia


Perkembangan Politik, Keamanan dan Ekonomi Somalia

Somalia terletak di Afrika bagian timur berbatasan dengan Djibouti, Kenya dan Ethiopia serta Teluk Aden dan Samudra Hindia. Luas wilayahnya adalah 637.657 km2. Negara ini memperoleh kemerdekaan tanggal 1 Juli 1960 dari hasil penggabungan bekas protektorat Inggris, British Somaliland dan koloni Itali, Somaliland. Presiden pertamanya adalah Aden Abdullah Osman Daar.

Pada tahun 1969, Muhammad Siad Barre menjadi presiden ketiga Somalia setelah menggulingkan Abdi Rashid Ali Shermarke dalam sebuah kudeta berdarah dan menyebabkan terbunuhnya Shermake. Dalam masa  pemerintahannya, Siad Barre mendeklarasikan Somalia sebagai sebuah negara sosialis dan berhasil meraih simpati dari Uni Soviet. Tahun 1977, angkatan bersenjata Somalia berupaya menguasai wilayah Ogaden di Ethiopia yang banyak didiami orang Somalia namun berhasil dipukul mundur oleh Ehiopia yang didukung oleh Kuba dan Uni Soviet.

Tahun 1981, oposisi terhadap Siad Barre menguat setelah dikeluarkannya keputusan untuk mengecualikan anggota klan Mijertyn and Isaaq dari posisi-posisi di pemerintahan dan mengisinya dengan orang-orang dari klannya sendiri yaitu klan Marehan. Gabungan milisi-milisi dari berbagai klan berhasil menjatuhkan pemerintahan Siad Barre pada tahun 1991. Namun kekuatan gabungan ini gagal menyatukan suara untuk membentuk pemerintahan sehingga terjadilah perebutan kekuasaan antar berbagai klan. Pada masa ini, warlords yang paling berpengaruh dalam perebutan kekuasaan dan menihilkan pemerintahan pusat yang efektif adalah Mohamed Farah Aideed dan Ali Mahdi Mohamed. Tahun 1991, Somaliland bekas protektorat Inggris menyatakan kemerdekaannya, namun tidak mendapatkan pengakuan dan dukungan dari dunia internasional. Pada tahun 1998, wilayah Puntland kemudian menyusul menyatakan otonomi (non kemerdekaan) dan menyerukan perlunya pemerintahan federasi Somalia.

Pada bulan Agustus 2004, dalam upaya ke-14 untuk membentuk pemerintah pusat, parlemen transisi bertemu di Kenya dan sepakat untuk mengangkat Adullahi Yusuf sebagai presiden. Parlemen transisi tidak pernah melakukan pertemuan setelah persidangan di Kenya tersebut hingga tahun 2006 karena kesulitan menentukan dimana lokasi parlemen seharusnya berada. Bulan Juni-Juli 2006, kelompok milisia yang setia kepada Union of Islamic Courts mengambil alih Mogadishu dan bagian selatan Somalia setelah mengalahkan para warlords. UIC merupakan gabungan 11 kelompok berbasis Islam yang didukung Eritrea dan memiliki jargon pembentukan pemerintahan dan hukum syariat di Somalia dan “Pan Somalia”. Kemudian pada bulan September 2006, pemerintah transisional melakukan pembicaraan damai dengan Union of Islamic Courts di Khartoum, Sudan. Pemerintah akhirnya berhasil mengambil alih Mogadishu dari tangan Union of Islamic Courts pada bulan Desember 2006 dengan bantuan tentara Ethiopia. Namun kelompok pemberontak bersenjata melawan balik dan pada tahun 2008 secara efektif berhasil menguasai wilayah selatan Somalia.

Bulan Februari 2007, Dewan Keamanan PBB menyetujui penggelaran pasukan perdamaian dari Uni Afrika (African Union Mission in Somalia/AMISOM) untuk jangka waktu enam bulan. Pasukan tersebut diterjunkan di Mogadishu pada bulan Maret ditengah-tengah sengitnya pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pemberontak bersenjata. Al Shabab, diantara kelompok pemberontak bersenjata lainnya merupakan kelompok yang paling berhasil menginternasionalisasikan konflik Somalia. Ditengarai bahwa kelompok ini mendapatkan pasokan senjata dan orang-orangnya dari negara tetangga Eritrea.

Saat ini secara de jure Somalia berada di bawah kendali Federal Transitional Government  (FTG) yang terdiri atas unsur kelompok-kelompok oposisi di Mogadishu, pembagian kekuasaan dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah (AWSJ) dan daerah otonomi Puntland. Secara efektif, FTG hanya menguasai 6 distrik di Mogadishu, setelah pada Januari 2009 pemberontak Al-Shabab berhasil menguasai kota Baidoa yang merupakan wilayah pertahanan terkuat FTG. Pada bulan Februari 2009, FTG mengangkat Sheikh Sharif Sheikh Ahmed sebagai presiden.

Situasi keamanan di Somalia tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Secara de facto, Somalia merupakan failed state karena pemerintah (FTG) hanya menguasai tidak sampai 25% dari seluruh wilayah Somalia dan tidak dapat melaksanakan fungsi utamanya kepada sebagian besar rakyatnya. Berdasarkan pengertian dari British Department for International Development, fungsi-fungsi utama yang tidak dapat dilaksanakan sehingga sebuah negara masuk kategori failed state adalah ketiadaan kendali atas wilayah teritorialnya, keamanan dan rasa aman, kemampuan untuk mengelola sumber-sumber daya umum, pelayanan kebutuhan mendasar, serta kemampuan untuk melindungi dan mendukung rakyat yang paling miskin agar dapat menghidupi dirinya. 

Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Somalia secara keseluruhan adalah 9,12 juta (2008). Bahasa resminya adalah Somali, disamping itu terdapat bahasa Arab, Italia dan Inggris yang digunakan sehari-hari. Secara tradisional, penduduk Somalia terbagi atas beragam klan. Klan-klan utama antara lain Darood, Dir, Hawiye, Isaaq, dan Rahanweyn.

Rakyat Somalia dihadapkan pada ketiadaan pemerintahan pusat yang efektif, perang yang berkepanjangan, dan harus menghadapi serangkaian bencana baik yang diakibatkan oleh perang, maupun kondisi alam. Somalia seringkali menghadapi musim kering yang berkepanjangan sehingga banyak rakyatnya yang mengalami bencana kelaparan. Somalia juga terimbas bencana tsunami yang menghantam pantai dan pulau Hafun tahun 2004. Bencana tersebut mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggalnya.

Perang yang berkepanjangan juga telah mengakibatkan jutaan penduduk harus kehilangan rumah tinggalnya karena mengungsi baik di wilayah lain di Somalia maupun ke negara-negara tetangga. Menurut laporan PBB, sekitar 50% dari jumlah keseluruhan penduduk Somalia akan membutuhkan bantuan hingga tahun 2010. Perang telah mengakibatkan adanya Internally Displaced People (IDP) yang diperkirakan mencapai 1,55 juta (Januari 2010), antara lain tersebar di Puntland 104.000 orang), Somaliland 67.000 orang), dan bagian tengah/selatan Somalia (1,38 juta orang). Negara-negara sekitar yang menjadi pelarian pengungsi dari Somalia antara lain Kenya, Tanzania, Uganda dan Ethiopia. Bahkan ada diantara para pengungsi tersebut yang nekat menyeberangi teluk Aden dari bagian utara Somalia menuju Yaman. Menurut catatan UNHCR (Januari 2010), sekitar 162.700 penduduk Somalia mengungsi di Yaman, 4.800 orang di Eritrea, 10.600 orang di Djibouti, 59.000 orang di Ethiopia, 309.100 di Kenya, 11.700 di Uganda dan 2.900 di Tanzania.

Kondisi keamanan yang buruk terutama di wilayah selatan tengah Somalia, seperti ancaman terhadap staf NGO kemanusiaan tersebut, persepsi dan penerimaan yang bermusuhan dan penuh prasangka buruk terhadap staf serta permintaan “registration fee” dari kelompok bersenjata telah membuat organisasi yang berhubungan dengan pengungsi seperti UNHCR kesulitan untuk membantu kebutuhan mereka. Hingga saat ini, masalah-masalah sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh Somalia selain kelaparan adalah masalah kesehatan yang berhubungan dengan jumlah pengungsi dan IDP yang besar, penebangan hutan, overgrazing (jumlah hewan ternak yang tidak sebanding dengan jumlah padang rumput), erosi tanah dan penggurunan.

Masalah lain yang tak kalah peliknya adalah penyebaran ranjau darat di Somalia yang telah memakan korban ribuan jiwa sebagai dampak konflik yang berkepanjangan. Pada saat terjadinya perang dengan Ethiopia pada tahun 1977, ribuan ranjau darat ditanam di perbatasan dengan Ethiopia sepanjang 1.600 km. Diperkirakan sekitar 70% dari keseluruhan jumlah ranjau yang ditanam di Somalia berada di sepanjang perbatasan ini. Ribuan ranjau juga ditanam di wilayah Puntland pada saat terjadinya konflik antara pemberontak bersenjata dengan tentara rezim Siad Barre. Sementara wilayah tengah dan selatan Somalia yang merupakan tempat berkecamuknya konflik saat ini juga menjadi tempat ditanamnya ribuan ranjau darat.

Ranjau darat digunakan sebagai bentuk terror dan digunakan untuk target sipil maupun militer di Somalia. Ranjau digunakan di tanah-tanah pertanian, di seputaran bangunan umum, jalan, reservoir air, dan sebagainya. Akibat persebaran ranjau ini, pertanian dan peternakan yang merupakan tulang punggung perekonomian Somalia tidak dapat berkembang. Padang rumput-padang rumput dan tempat-tempat minum ternak dipasangi ranjau darat sehingga banyak hewan ternak yang terkena ranjau. Ranjau juga dipasang di tanah-tanah pertanian di sekitar lembah Juba tengah dan bawah, demikian juga halnya dengan akses jalan yang digunakan oleh para petani untuk menuju pasar banyak dipasangi ranjau. Karena ketiadaan keamanan yang memadai di Somalia, hingga saat ini tidak ada tindakan untuk membersihkan ranjau-ranjau tersebut.

Perompakan di Laut

Situasi keamanan di darat yang terus memburuk dan ketiadaan payung hukum yang jelas mengakibatkan vakumnya hukum (lawless) yang berdampak pada situasi keamanan di perairan Somalia. Kondisi yang tidak kondusif ini kemudian dimanfaatkan oleh para nelayan asing untuk mengeksploitasi ikan di perairan Somalia secara besar-besaran. Nelayan lokal Somalia yang sebagian besar adalah nelayan tradisional merasa kalah bersaing. Hal ini kemudian memicu resistensi para nelayan lokal Somalia terhadap keberadaan kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi dengan bebas di perairan Somalia karena ketiadaan hukum dan para aparat penegak hukum untuk menindaknya, dan muncul dalam bentuk perompakan laut. Namun pada perkembangannya, motif ini bergeser menjadi upaya untuk mendapatkan uang tebusan dalam jumlah besar. Situasi ini kemudian juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok orang yang disinyalir berasal dari Puntland untuk melakukan perompakan-perompakan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi wilayah Teluk Aden dan khususnya perairan Somalia.

Dari beberapa sumber disebutkan bahwa dengan tidak adanya kontrol terhadap keamanan di wilayah perairan Somalia, beberapa pihak yang disebut sebagai “mafia internasional” memasok perlengkapan persenjataan canggih dan menggunakan orang-orang dari Somaliland dan Puntland untuk melakukan perompakan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi wilayah Somalia. “Mafia internasional” inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai tokoh di belakang layar dari perompakan-perompakan yang terjadi di perairan Somalia. Menurut International Maritime Bureau, sepanjang tahun 2009 telah terjadi 214 kali penyerangan terhadap kapal-kapal yang berlayar di wilayah Somalia dimana 47 diantaranya mengalami pembajakan. Berita terbaru menyatakan bahwa pada sekitar pertengahan Januari 2010, sekelompok pembajak Somalia membebaskan tanker pengangkut minyak berbendera Yunani beserta 28 awak kapalnya setelah menerima tebusan sebesar US$ 5,5 juta. Kapal tersebut telah disandera sejak November 2009 saat melintasi perairan Somalia.

Dalam kasus perompakan kapal ini, beberapa ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing sempat menjadi sandera. Tercatat pembajakan kapal dari berbagai negara yang didalamnya terdapat ABK dari Indonesia di perairan Somalia dan sekitarnya. Nama-nama kapal tersebut adalah Hsin Lien Fa No. 36 (dimiliki WN Taiwan, berawak 14 WNI), Dong Won 628 (dimiliki WN Korsel, berawak 9 WNI), Mavuno 2 (dimiliki WN Korsel , berawak 4 WNI), Asmak I (dimiliki WN Oman, berawak 4 WNI), Masindra 7 (dimiliki WN Malaysia, berawak 11 WNI), Longchamp (dimiliki WN Jerman, berawak 1 WNI), Alakrana (dimiliki WN Spanyol, berawak 6 WNI), Kota Wajar (dimiliki WN Singapura, berawak 8 WNI), MT Pramoni (dimiliki WN Norwegia, berawak 17 WNI, dibebaskan 26 Februari 2010) dan MV Sinar Kudus (dimiliki PT. Samudera Indonesia, berawak 20 WNI).

Modus operandi pembajakan dan perompakan ini telah berkembang menjadi bisnis yang sangat menguntungkan di Somalia. Di Haradhere, salah satu kota yang menjadi pusat para perompak di Somalia, para pembajak telah membentuk semacam pasar modal untuk mendanai operasi mereka. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam bentuk uang, senjata, tenaga di laut maupun darat, atau barang-barang lainnya yang berguna dalam mendukung operasi pembajakan ini. Hasil dari sebuah operasi pembajakan akan dibagikan ke seluruh pemegang saham/pemberi modal sesuai dengan porsinya.

Dalam mengatasi masalah pembajakan ini, pada tanggal 26-29 Januari 2009 di Djibouti IMO (International Maritime Organization) yang bernaung di bawah PBB, menyelenggarakan Sub-regional Meeting to Conclude Agreements on Maritime Security, Piracy and Armed Robbery against Ships for States from the Western Indian Ocean, Gulf of Aden and Red Sea areas. Pertemuan ini dihadiri oleh negara-negara pantai di kawasan timur Afrika yaitu Comoros, Djibouti, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Yordania, Kenya, Madagaskar, Maldives, Mauritius, Mozambique, Oman, Saudi Arabia, Seychelles, Somalia, Afrika Selatan, Sudan, Uni Emirat Arab, Tanzania, dan Yaman. Pertemuan tersebut mengakui dampak dari masalah pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal di perairan dimaksud dan para pihak penandatangan menyatakan keinginannya untuk bekerjasama guna menekan pembajakan dan perompakan bersenjata terhadap kapal-kapal. Implementasi dari Djibouti Code of Conduct ini ditujukan untuk peningkatan komunikasi diantara negara-negara peserta dan penguatan kemampuan negara-negara di wilayah tersebut guna mencegah, menahan, dan mengadili para pembajak; meningkatkan kepedulian situasi maritim di wilayah tersebut; serta meningkatkan kemampuan para coast guard setempat di perairan dimaksud. Disamping itu, IMO juga meminta dukungan tambahan dari negara-negara yang dapat menyediakan kapal-kapal perang dan pesawat terbang patroli maritim untuk wilayah Teluk Aden dan Samudra Hindia bagian barat serta menitikberatkan perhatian untuk mengikutsertakan Maritime Rescue Coordination Centres di Mombasa dan Dar es Salaam yang baru saja dibuka untuk berperan serta dalam pemberantasan perompakan di laut. Untuk jangka panjang, IMO akan mempromosikan perlunya tindakan internasional untuk menstabilkan situasi di Somalia melalui DK PBB, UNPOS, UNDP, Contact Group on Piracy off Somalia dan lain-lain.

Dampak perompakan dan pembajakan di laut bagi wilayah Afrika bagian timur adalah tingginya biaya hidup dan semakin banyak warga yang kesulitan mendapatkan bahan pokok sehari-hari. Perompakan menyebabnya terhambatnya pasokan barang kebutuhan ke wilayah ini, dan juga menyebabkan tingginya premi asuransi untuk menutup resiko pengiriman barang melalui wilayah rawan ini.

Peran Serta Masyarakat, Organisasi Regional dan  Internasional

PBB melalui serangkaian badan-badan khususnya seperti WFP, UNDP dan UNHCR hadir di Somalia untuk memberikan bantuan dan dukungan. UNDP misalnya melakukan serangkaian program pelatihan polisi dan program pengurangan kekerasan bersenjata. Sementara WFP dan UNHCR bahu membahu menangani masalah kelaparan yang mengancam para pengungsi dan IDP di tengah-tengah situasi keamanan yang tidak kondusif serta penerimaan yang penuh prasangka buruk dan adanya “fee registration” bagi setiap badan PBB yang akan hadir di Somalia.

Selain badan-badan tersebut, PBB juga hadir melalu UNPOS (United Nations Political Office for Somalia) untuk melakukan capacity building bagi pemerintah, UNSOA (United Nations Support Office for AMISOM) yang bertugas memberikan pelatihan, pembangunan kapasitas dan bantuan-bantuan bagi tentara penjaga perdamaian dari Uni Afrika di Somalia (AMISOM) dan UNMAS (United Nations Mine Action Service) untuk menangani masalah ranjau darat.

Dengan dukungan PBB, Uni Afrika kemudian menggelar pasukan perdamaian untuk Somalia (African Union Mission in Somalia/AMISOM) untuk menggantikan pasukan Ethiopia. Namun dari sekitar 8.000 pasukan AMISOM yang direncanakan, baru digelar 5.200 personel yang sebagian besar berasal dari Uganda dan Burundi. Mengingat keterbatasan sumber daya keuangan dan lain-lainnya, maka hingga kini pasukan AMISOM dinilai belum efektif untuk mendukung terciptanya perdamaian di Somalia. Dalam Resolusi 1910 tanggal 28 Januari 2010, DK PBB memperpanjang otorisasi AMISOM selama 1 tahun hingga tanggal 31 Januari 2011, karena DK memandang Somalia masih membutuhkan keberadaan pasukan perdamaian tersebut. Resolusi juga meminta agar AMISOM meningkatkan kekuatannya hingga 8.000 pasukan sebagaimana direncanakan dan meminta agar AMISOM melanjutkan upaya untuk membantu TFG dalam mengembangkan kepolisian dan security force Somalia. Selain itu, DK meminta negara-negara anggota dan organisasi regional guna memberikan kontribusi terhadap United Nations Trust Fund for AMISOM atau memberikan sumbangan bilateral guna mendukung AMISOM.

Meskipun TFG meminta agar PBB segera menggelar United Nations Peace Keeping Operation (UN-PKO), namun PBB belum memenuhinya hingga Somalia memenuhi persyaratan yang ditetapkan  yaitu pembentukan sebuah persatuan nasional Somalia yang secara inklusif melibatkan pihak-pihak yang ada di luar proses Djibouti, pembentukan operasi Joint Security Force di Mogadishu, implementasi gencatan senjata, pencabutan checkpoint yang illegal dan kontribusi tentara dan kapasitas militer yang memadai dari negara anggota PBB. Menurut PBB, penggelaran UN-PKO sekarang ini memiliki resiko tinggi karena para pihak yang menentang proses perdamaian di Somalia akan memandang misi PBB tersebut sebagai musuh baru, sehingga misi akan menjadi sasaran serangan. Untuk itu Sekjen PBB kemudian menetapkan tiga fase incremental approach di Somalia, yaitu: (i) Memperkuat AMISOM sambil membangun lembaga keamanan Somalia; (ii) Apabila situasi keamanan di Somalia telah cukup kondusif maka PBB akan memperluas keterlibatannya di Somalia namun dengan pendekatan “light footprint” selama 3-4 bulan, (iii) Setelah tahapan (ii) berakhir, maka DK akan mengkaji kembali peranan PBB di Somalia dan memutuskan perlu tidaknya PKO menggantikan AMISOM.

Terkait dengan upaya pemberantasan perompakan di laut, Uni Eropa memperpanjang Atalanta Operation untuk memberantas pembajakan di Samudera Hindia pada tanggal 17 November 2009. Resolusi PBB 1897 tanggal 30 November 2009 memberikan mandat perpanjangan 12 bulan kepada negara-negara dan organisasi regional guna bekerjasama dengan FTG untuk memberantas bajak laut dan perampokan bersenjata.

Pemerintah Somalia (FTG) telah mengidentifikasi beberapa area kunci yang dapat digarap dalam kerjasama internasional. Beberapa bidang kunci tersebut antara lain penciptaan lapangan pekerjaan, layanan-layanan sosial, tugas-tugas transisional, dan rehabilitasi infrastruktur. Di sektor pertanian, WFP telah melakukan pembagian 150 ton bibit wijen, rehabilitasi saluran irigasi, dan pembagian sayur-sayuran. Arab Saudi juga telah melakukan pencabutan terhadap pelarangan ekspor ternak dari Somalia yang mendapatkan sambutan hangat dari pemerintah Somalia.

Sumber daya alam Somalia sebenarnya sangat mencukupi untuk pembangunan negaranya, jika di masa mendatang konflik bersenjata ini berakhir. Perut bumi Somalia mengandung uranium, bijih besi, timah, gypsum, bauksit, tembaga, garam, gas alam dan cadangan minyak bumi yang cukup besar. Di masa depan diperkirakan Somalia dapat menjadi negara pengekspor minyak bumi dari wilayah sub-Sahara Afrika disamping Ethiopia dan Angola.

Namun demikian, di bidang sosial, perlu adanya perhatian bagi para korban ranjau darat, pelatihan fasilitator, pemetaan lokasi-lokasi persebaran ranjau di wilayah selatan dan tengah Somalia, dan pembersihan ranjau-ranjau di seluruh Somalia. Pada saat UNOSOM beroperasi, telah dilakukan pembersihan 32.511 ranjau dan 72.000 UXO (Unexploded Ordinance) di selatan yang dilakukan oleh kontraktor yang disewa oleh UNOSOM dan oleh Rimfire International yang disewa oleh UNHCR dan MSF di wilayah barat laut. Pada saat itu, UNOSOM juga berhasil membersihkan 438 km jalan, 127 km2 wilayah peternakan dan menghancurkan 2.223 ranjau anti personel, 5.300 ranjau anti tank dan 20.150 UXO. UNOSOM berhenti bertugas di Somalia tanggal 31 Maret 1995, dan sejak saat itu operasi pembersihan ranjau berhenti total.

Hal lain di bidang sosial yang tak kalah pentingnya adalah rencana jangka menengah dan panjang untuk melakukan repatriasi, integrasi dan pelatihan-pelatihan bagi para IDP dan pengungsi yang tersebar di Somalia dan negara-negara sekitarnya jika situasi dalam negeri Somalia telah cukup kondusif bagi kembalinya para pengungsi tersebut. Dalam hal ini, peranan berbagai organisasi internasional baik inter-governmental maupun non-governmental sangat diperlukan.

Bantuan para donor internasional dalam hal pengelolaan anggaran negara seperti yang tercermin dalam laporan terbaru Sekjen PBB nomor S./2009/684 yang menyatakan bahwa 80% dari anggaran negara sebesar US$ 110,4 juta (2010) bergantung kepada bantuan eksternal. Masalah keamanan dan rasa aman saat ini merupakan hal yang paling penting di Somalia, tercermin dari pembagian anggaran negaranya, dimana 50% digunakan untuk pembayaran gaji national security forces. Sifat anggaran negara seperti ini tentulah tidak sehat kurang berimbang, namun saat ini memang diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Akan tetapi, bantuan internasional akan tetap diperlukan baik berupa kontribusi dana, pelatihan basic services, pemberian bantuan dan pelatihan di bidang pertanian dan peternakan, maupun pelatihan dan pengembangan capacity building bagi semua elemen terkait di Somalia.

Rangkuman

Ditinjau dari sisi politik pemerintahan, Somalia merupakan negara yang saat ini masuk kategori failed state. Dalam hal ini pemerintah pusat (FTG) tidak sepenuhnya menguasai wilayah negaranya dan tidak dapat menyediakan kebutuhan dasar maupun perlindungan bagi warganya. Hanya 6 distrik di ibukota Mogadishu yang berada di bawah kendali pemerintah. Sementara di luar distrik tersebut, kendali berada di tangan para pemberontak bersenjata, atau di tangan pemerintah lokal yang menyatakan kemerdekaan secara sepihak (Somaliland) maupun otonomi tinggi (Puntland) yang berada di luar kendali FTG. Bahkan terdapat kelompok bersenjata (Al-Shaabab) yang menginternasionalisasi konflik dengan menyatakan afiliasinya dengan jaringan teroris Al-Qaeda.

Dari sisi anggaran, Somalia juga bergantung hampir sepenuhnya kepada bantuan dari donor internasional. Tanpa bantuan tersebut, dapat dipastikan bahwa negara beserta elemen-elemen pemerintah tidak akan berfungsi. Ketidakefektifan penggunaan anggaran tercermin dari pembagian anggaran, dimana 50%-nya digunakan untuk menggaji aparat keamanan. Dalam suatu sidang parlemen bahkan beberapa anggota parlemen menolak bersidang karena gaji mereka belum dibayarkan berbulan-bulan. Sementara di sisi eksekutif timbul keretakan antara Presiden dengan PM menyangkut rencana reshuffle kabinet yang belum terselesaikan.

Dari sisi sosial ekonomi, perang sipil yang berkepanjangan telah membuat rakyat Somalia menderita. Sekitar 50% dari jumlah seluruh penduduk Somalia akan bergantung sepenuhnya kepada bantuan dari luar negeri hingga akhir 2010. Sekitar 1,55 juta penduduk menjadi Internally Displaced People sementara jutaan lainnya mengungsi ke beberapa negara sekitar untuk menghindari konflik berkepanjangan yang terjadi sejak tahun 1991 tersebut. Penderitaan ini masih diperparah dengan adanya penyebaran ranjau di seluruh negeri sebagai bentuk teror tanpa memandang sasaran. Akibatnya, banyak tanah pertanian, peternakan dan jaringan infrastruktur jalan yang riskan untuk dilalui karena menjadi padang ranjau. Para pengungsi tersebut juga harus menghadapi masalah kelaparan, kesehatan, penyakit menular bahkan persekusi berdasarkan gender (di wilayah tengah dan selatan Somalia yang dikuasai kelompok bersenjata).

Ketiadaan payung hukum yang jelas juga berimbas ke laut. Somalia dipandang sebagai sarang bajak laut yang mengincar kapal-kapal berbendera asing yang melintasi Teluk Aden atau Samudera Hindia. Bahkan dalam beberapa peristiwa perompakan, para bajak laut melakukan aksi perompakannya hingga sejauh 1.000 nautical mil jauhnya. Akibat dari maraknya aksi perompakan ini adalah kesulitan pasokan kebutuhan hidup sehari-hari ke wilayah Afrika Timur yang berujung pada meroketnya harga berbagai barang dan tingginya premi asuransi untuk setiap pelayaran yang melintasi wilayah tersebut. Masalah ini juga menjadi masalah lintas batas negara karena para perompak meminta tebusan yang sangat besar bagi kapal-kapal dan para ABK yang mereka sandera. Beberapa negara secara individu maupun melalui organisasi regional telah menyikapi masalah ini dengan mengirimkan armada kapal perangnya ke seputar Teluk Aden dan Samudra Hindia guna memerangi para perompak.

Masyarakat internasional telah memberikan segenap perhatian kepada masalah Somalia ini. Dari sisi kemanusiaan dan pemberdayaan dan peningkatan pembangunan kapasitas, beberapa organisasi yang bernaung di bawah PBB maupun beberapa NGO internasional telah hadir. Namun beragam hambatan seperti penerimaan yang bermusuhan terhadap lembaga-lembaga dimaksud, situasi keamanan yang tidak kondusif serta adanya ‘registration fee’ dalam jumlah besar menjadi penghalang utama beroperasinya mereka di Somalia.

Di sektor sosial ekonomi, Somalia akan membutuhkan bantuan guna merepatriasi, rehabilitasi para IDP dan pengungsi, pembersihan padang ranjau di beberapa bagian negeri, rehabilitasi dan integrasi korban ranjau, pengembangan pembangunan kapasitas di sektor pertanian dan peternakan sebagai tulang punggung perekonomian negara dan rencana pengembangan sumber daya alam lainnya (pertambangan) untuk meningkatkan pendapatan negara.

Di sektor politik dan keamanan, Somalia akan membutuhkan pelatihan bagi polisi dan angkatan bersenjatanya sehingga pada saatnya di saat terjadi penarikan para penjaga perdamaian dari negara-negara lain, Somalia mampu berdiri sendiri. Selain itu, sebagaimana beberapa kasus di negara lainnya, FTG harus memikirkan kemungkinan pengintegrasian bekas-bekas kelompok bersenjata ke dalam angkatan bersenjata atau kepolisian Somalia maupun cara terbaik untuk memerangi kelompok yang berafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Untuk masalah disintegrasi, di masa mendatang dapat dipikirkan kemungkinan perundingan dengan Somaliland yang dapat ditengahi oleh negara tertentu atau oleh Uni Afrika. Disamping itu, sesuai dengan himbauan dari PBB, Ethiopia dan Eritrea yang ditengarai memiliki kepentingan terselubung di Somalia hendaknya tidak lagi melakukan campur tangan di Somalia.

Dalam jangka pendek, keamanan dan rasa aman merupakan hal paling krusial yang harus mampu dihadirkan oleh FTG di Somalia. Dukungan pasukan penjaga perdamaian dari Uni Afrika (AMISOM), walaupun terbatas diharapkan mampu mewujudkan hal tersebut. Setelah prasyarat mendasar ini terpenuhi, maka masyarakat dan donor internasional barulah akan dapat bergerak sepenuhnya sesuai kapasitas yang dimiliki untuk membantu Somalia. 

3 comments: