Tuesday, July 17, 2018

Pengembangan Keamanan Siber di ASEAN

ASEAN secara kolektif merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke-6 di dunia, dengan PDB USD 2,55 triliun (2016) dan jumlah penduduk lebih dari 600 juta jiwa. Saat ini, ekonomi digital semakin menentukan pertumbuhan ekonomi ASEAN. Keamanan siber memegang peranan terpenting dalam pertumbuhan ekonomi digital di ASEAN, yang saat ini menghasilkan pendapatan sebesar USD 150 triliun setiap tahunnya.

Keamanan siber juga memegang peran vital dalam rangka memajukan lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang damai, aman, dan terbuka. Bank Dunia dan Google memperkirakan bahwa pada tahun 2020, lebih dari 483 juta penduduk ASEAN-6 akan merupakan pengguna internet. Sementara dari 10 negara yang merupakan pengguna terbesar Facebook di dunia, empat diantaranya merupakan negara anggota ASEAN: Indonesia, Filipina, Viet Nam dan Thailand. Laporan dari Google dan Temasek menyatakan bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan pengguna internet di ASEAN-6 untuk 2016-2020 diperkirakan sebesar 14%. Rata-rata tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan RRT sebesar 4% dan 1% untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan jumlah pengguna sebesar itu, maka teknologi informasi dan komunikasi yang aman merupakan prioritas.

Keamanan siber juga mendukung perbaikan taraf hidup dan kehidupan warga di negara-negara anggota ASEAN, salah satunya melalui pendidikan jarak jauh (e-learning). Kemenristekdikti  menyatakan bahwa pendidikan jarak jauh di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan akses pendidikan, serta meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan. Penggunaan internet untuk pendidikan jarak jauh dipandang memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan sistem belajar offline, di antaranya menghemat waktu belajar, biaya, serta lebih efektif. Pendidikan jarak jauh juga memiliki keunggulan fleksibilitas waktu, tidak adanya batas usia pembelajar, kebebasan menentukan jalur dan jenis pendidikan serta  Situs docebo.com menyatakan bahwa jumlah keseluruhan pasar pendidikan jarak jauh mencapai USD 51,5 miliar pada tahun 2016 dengan angka pertumbuhan rata-rata per tahun 7,9 persen di seluruh dunia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang mencatatkan total pertumbuhan pasar pendidikan jarak jauh rata-rata sebesar 25 persen, melebihi rata-rata di Asia (sebesar 17,3%) dan seluruh dunia setiap tahunnya.

Salah satu tolok ukur untuk mewujudkan kawasan ASEAN yang aman, damai, makmur dan sejahtera, adalah konektivitas regional dan keamanan siber yang baik. Untuk itulah, para pemimpin negara-negara anggota ASEAN telah menelurkan sebuah Pernyataan Para Pemimpin ASEAN Mengenai Kerjasama Keamanan Regional (ASEAN Leader’s Statement on Cyber Security Cooperation) yang disahkan saat berlangsungnya KTT ASEAN ke-32 di Singapura pada April 2018. Inti dari Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini adalah menegaskan pentingnya penguatan kerja sama dan koordinasi diantara negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan kebijakan keamanan siber dan berbagai inisiatif pengembangan kapasitas untuk memajukan norma-norma siber yang tidak mengikat dan bersifat sukarela. Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini juga mengakui perlunya seluruh negara anggota ASEAN untuk menjalankan langkah-langkah pembangunan rasa saling percaya (confidence-building measures) yang bersifat praktis yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dalam penggunaan ruang siber (cyberspace) menuju kemakmuran ekonomi regional dan integrasi. Di tingkat praktis, kerja sama siber di ASEAN dilakukan oleh beberapa lembaga di bawah kerangka ASEAN yaitu ASEAN Telecommunications and Information Technology Ministers Meeting (TELMIN), ASEAN Regional Forum Inter-Sessional Meeting on Information and Communication Technology (ARF ISM on ICT), ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM), dan Senior Officials’ Meeting on Transnational Crime (SOMTC).

Tantangan Pengembangan Kerja Sama Keamanan Siber di ASEAN

Meskipun dasar-dasar pengembangan keamanan siber di kawasan telah terbentuk, namun ASEAN masih akan menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan kerja sama keamanan siber. Tentu saja kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup di era dimana pemerintah, kelompok-kelompok politik, kriminal dan perusahaan terlibat dalam spionase siber (cyberespionage). Ketika kelompok-kelompok masyarakat kian tergantung pada teknologi, kemampuan untuk mematikan atau merusak infrastruktur, mengambil alih mesin dan kendaraan dan secara langsung menyebabkan hilangnya nyawa manusia menjadi kenyataan. Menurut Australian Computer Society, ancaman terbesar dalam keamanan siber saat ini adalah proliferasi dalam skala besar dengan serangan yang ditargetkan, mulai dari peretasan dan distribusi surat elektronik hingga ransomware yang direkayasa secara sosial untuk menimbulkan serangan terhadap infrastruktur penting seperti jejaring energi. Indonesia Security Incidents Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) mencatat bahwa terdapat sekitar 89 juta serangan melalui dunia maya yang melanda Indonesia pada tahun 2016. Masih pada tahun 2016, tercatat 2.800 kejahatan siber yang dilaporkan kepada Polri, baik dari tingkat nasional maupun negara lain. Kasus kejahatan siber di Indonesia antara lain adalah phishing, perjudian siber, penipuan dalam bidang perdagangan, dan pornografi anak.

Kedua, tantangan siber di ASEAN kian besar saat negara-negara anggota ASEAN berupaya menyeimbangkan peluang-peluang yang dapat diraup dari ekonomi digital—yang merupakan pendorong utama kemajuan ekonomi dan teknologi—dengan tantangan-tantangan yang muncul karena makin canggihnya ancaman-ancaman siber di dalam dunia yang kian terhubung. Asia Foundation menyatakan bahwa pada 2025, belanja daring (online shopping) akan meningkat sebesar enam kali lipat menjadi USD 200 triliun. Sebagian besar belanja daring ini adalah untuk produk-produk elektronik, pakaian, peralatan rumah tangga, dan untuk bepergian ke berbagai kawasan. Peningkatan belanja daring ini dapat diterjemahkan sebagai tumbuh suburnya kelas menengah dan pertumbuhan tenaga kerja di kawasan. Pada saat yang bersamaan, terdapat sisi negatif transformasi ekonomi digital, dengan adanya cyberterrorism, penipuan siber, penyebaran berita palsu dan pencurian identitas.

Ketiga, digitalisasi yang kian meluas di wilayah Asia Tenggara yang merupakan wilayah yang strategis dan berkembang cepat menjadikan Asia Tenggara sangat rentan menjadi target serangan siber (cyber-attacks). Negara-negara anggota ASEAN telah pernah menjadi lokasi peluncuran serangan-serangan siber, baik sebagai tempat subur yang rentan karena infrastruktur yang tidak aman, atau sebagai hub yang terhubung baik untuk melancarkan serangan. Selain itu, ASEAN juga memiliki defisiensi jumlah tenaga ahli untuk menghadapi ancaman siber. Sebagai contoh, Malaysia memiliki 6.000 tenaga professional keamanan siber, namun diperkirakan negara ini akan memerlukan sekitar 10.000 tenaga pada 2020.

Keempat, memberikan perhatian terhadap keamanan siber merupakan jalan efektif untuk membantu generasi mendatang memahami pentingnya keselamatan virtual. Saat ini, kelompok-kelompok muda menghadapi sejumlah resiko ancaman siber, mulai dari peretas (hacker) yang mencoba untuk memanfaatkan kelengahan pengguna internet untuk meretas informasi pribadi hingga orang-orang yang melakukan perundungan siber (cyber bullying), pelecehan dan mempermalukan secara sosial. Pendekatan proaktif untuk keamanan siber akan membantu generasi mendatang untuk mendapatkan pelajaran bagaimana menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan rasa percaya diri dan efektif.


Kelima, Experts and Eminent Persons dalam ASEAN Regional Forum (ARF EEP) menyatakan bahwa terdapat sejumlah kendala dalam pengembangan keamanan siber di kawasan seperti kurangnya rasa saling percaya dalam pengembangan informasi infrastruktur, perbedaan kepentingan dalam hal keamanan nasional, perbedaan persepsi nasional terkait dengan ancaman dan tantangan ruang siber, ketidakmampuan kerangka domestik untuk menangkal ancaman siber, kegagalan untuk mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan untuk menangani tantangan-tantangan siber, dan keterbatasan serta kesenjangan kapabilitas dan kemampuan siber dan teknologi informasi. 

Rekomendasi Pengembangan Keamanan Siber
Pengembangan dan pemajuan kerja sama siber di ASEAN dapat ditingkatkan melalui pertama, dengan meningkatkan tanggung jawab pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Hal ini diwujudkan dengan koordinasi antar negara untuk menanggapi insiden siber dan penggunaan TIK oleh pelaku kriminal dan teroris, berbagi informasi hukum, aturan dan strategi yang berhubungan dengan keamanan siber dan memfasilitasi komunikasi dan berbagi informasi, terutama disaat insiden siber dipandang berpotensi mengancam stabilitas regional. Dengan adanya kerja sama antar pemerintah negara-negara anggota ASEAN, maka resiko kesalahan persepsi, kesalahan perhitungan dan peningkatan ketegangan yang dapat mengarah ke konflik akan dapat dikurangi.

Kedua, memperluas kerja sama dengan semua pemangku kepentingan yang relevan untuk lebih terlibat dalam diskursus dan pembuatan kebijakan keamanan siber serta memperluas kemitraan pemerintah-swasta. Para pemangku kepentingan dapat menggunakan model-model best-practices untuk menilai status nasional dan kemajuan implementasi kebijakan-kebijakan keamanan siber.

Ketiga, memperkuat pembangunan kapasitas dan memajukan kerja sama lintas regional. Langkah-langkah ini dijalankan dengan mempelajari pelibatan lintas kawasan berbagai organisasi multilateral dalam hal keamanan siber, maupun kerja sama intra kawasan dengan berbagai mekanisme dan inisiatif regional serta bagaimana organisasi-organisasi regional lainnya menangani tantangan-tantangan siber yang kian membesar.

Keempat, membangun langkah-langkah saling percaya (confidence building measures) dengan memajukan keamanan siber sebagai prioritas keamanan nasional. Seluruh pemangku kepentingan harus mendukung kerja sama keamanan siber untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sebagai langkah pertama pembangunan rasa saling percaya, negara-negara di kawasan dapat menggunakan laporan dari UN GGE (United Nations Group of Governmental Experts on Developments in the Field of Information and Telecommunications in the Context of International Security) tahun 2015 yang berjudul “Developments in the Field of ICT in the context of International Security” sebagai panduan.

Kelima, memajukan kerja sama teknik di kawasan dengan saling dukung dan kerja sama dalam sektor-sektor khusus termasuk Mutual Legal Assistance dan kerja sama CERT/CSIRT (Computer Emergency Response Team/Computer Security Incident Response Team). Selain itu, negara-negara anggota ASEAN dapat berbagi informasi mengenai berbagai kerentanan yang mempengaruhi keamanan teknologi dan informasi komunikasi serta cara-cara menutup kerentanan tersebut melalui protokol dan perlindungan kanal komunikasi.

Wednesday, April 11, 2018

Maladewa dan Perebutan Pengaruh di Kawasan


Beberapa minggu terakhir, Maladewa memasuki krisis politik akibat penangkapan sejumlah pemuka politik dan hakim negeri tersebut, termasuk mantan presiden Abdul Gayoom. Krisis ini bermula ketika pengadilan membatalkan putusan hukuman untuk 9 pemimpin oposisi yang dijebloskan ke penjara atau dipaksa mengasingkan diri oleh Presiden Abdulla Yameen. Presiden Yameen menolak putusan pengadilan tersebut, mengumumkan keadaan darurat dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah lawan politiknya.

Salah satu kritik keras oposisi terhadap Presiden Yameen adalah kebijakan pemerintahan Yameen untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan RRT. FTA Maladewa-RRT ini ditandatangani saat kunjungan Presiden Yameen ke Beijing pada Desember 2017. Pihak oposisi menuduh bahwa efek negatif dari perjanjian ini adalah semakin bergantungnya Maladewa secara ekonomi kepada RRT. Bahkan oposisi menyebut bahwa kini utang luar negeri Maladewa ke RRT berjumlah 70% dari keseluruhan utang luar negerinya.

Perebutan Pengaruh RRT – India
Selain FTA, Maladewa juga menandatangani investasi di bidang pariwisata dan kerja sama di beberapa bidang lainnya dengan RRT. Namun, India merasa terancam dengan kedekatan antara Maladewa – RRT. Pada 2017 Presiden Yameen mengizinkan kapal perang RRT untuk mengunjungi Maladewa, yang langsung mengundang protes India. India memanggil utusan khusus Maladewa untuk India dan menyampaikan keprihatinan atas perkembangan hubungan RRT dengan Maladewa.

Persepsi ancaman yang dirasakan India bertambah karena RRT berhasil menguasai pelabuhan Hambantota di Sri Lanka sebagai bagian dari debt swap deal. Lokasi Hambantota yang terletak di bagian selatan Sri Lanka sangat strategis, karena memiliki akses ke alur pelayaran Samudera Hindia. RRT mulai menancapkan pengaruhnya di Samudera Hindia sebagai bagian dari strategi Maritime Silk Road RRT. Pendekatan ekonomi RRT terhadap Maladewa dan Sri Lanka membuat RRT memiliki akses langsung ke Samudera Hindia dan berlanjut ke Laut Merah, sebagai bagian dari strategi pengamanan energi RRT dengan Timur Tengah, terutama dengan Arab Saudi.

Times of India melaporkan bahwa India mulai mengalami beberapa sandungan akibat kedekatan Maladewa dengan RRT. Maladewa mulai memperlambat proyek pemasangan radar India. Pemerintahan Yameen juga mulai mengurangi kehadiran India dari atol selatan, dimana RRT menempatkan sebagian besar proyek investasinya. Proyek investasi RRT yang akan sangat mengusik India adalah kemungkinan pembangunan pangkalan militer RRT di Atol Laamu yang akan membuat RRT memiliki akses leluasa ke kanal 1,5 derajat (kanal Suvadiva) yang sangat penting untuk penguasaan RRT ke Samudera Hindia. RRT juga mengincar kanal 8 derajat (kanal Maliku Kandu) yang terletak di sebuah atol yang sangat dekat dengan India. 

Upaya “Pembendungan” di Kawasan
Pemimpin Maladewa mencoba untuk memanfaatkan posisi geografisnya yang strategis untuk mendapatkan keuntungan dari upaya sejumlah negara besar untuk saling membendung dan memperebutkan pengaruh di kawasan. Amerika Serikat, India, dan RRT memiliki kepentingan untuk mempertahankan dan atau memperluas wilayah pengaruhnya di seputaran Samudera Hindia.

Dalam National Security Strategy (NSS), Amerika Serikat menyebutkan pentingnya wilayah Indo-Pasifik yang terbentang dari pantai barat India hingga pantai barat AS sebagai wilayah yang bebas dan terbuka. Dengan menempatkan India sebagai “sekutu dan mitra”, Amerika Serikat ingin memperkuat kemitraan pertahanannya dengan India sekaligus membendung perluasan pengaruh RRT di kawasan ini. Sementara India berkepentingan membendung RRT di kawasan anak benua India yang secara tradisional merupakan wilayah inti perluasan pengaruh politik luar negeri India.

Bagi RRT, kawasan Samudera Hindia memegang peran kunci. Sejumlah investasi yang ditanamnya di Maladewa merupakan bagian upaya besar untuk mendapatkan akses penuh di Samudera Hindia. Selain dengan Maladewa dan Sri Lanka, RRT juga memiliki kerja sama investasi dengan rival utama India di kawasan, Pakistan. Kerja sama bertajuk China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 triliun tersebut melintasi wilayah Khasmir, yang diperebutkan antara India dan Pakistan. Upaya-upaya ini sekaligus merupakan reaksi RRT atas kebijakan negara-negara besar di kawasan yang berupaya membendung perluasan pengaruhnya.

Arab Saudi yang terlibat dalam upaya perebutan pengaruh dengan Iran juga memiliki kepentingan terhadap Maladewa. Rangkaian atol di Maladewa hanya berjarak tiga jam penerbangan dari pantai terdekat Iran. Pembangunan basis militer RRT dan atau Arab Saudi di Maladewa akan melengkapi pembangunan secara independen pos militer kedua negara tersebut di Djibouti, yang merupakan rute kunci ekspor energi di mulut Laut Merah.

Bagi Arab Saudi, kehadirannya di Maladewa merupakan upaya untuk meyakinkan RRT bahwa dibandingkan Iran, Arab Saudi lebih berperan sebagai mitra dalam program infrastruktur Belt and Road Initiative. Untuk memuluskan kehadirannya di Maladewa, Arab Saudi selama ini telah  memberikan beasiswa keagamaan untuk para pelajar Maladewa ke berbagai universitas di Arab Saudi.

RRT telah memperingatkan agar tidak ada satu negarapun yang melakukan intervensi atas situasi politik di Maladewa. Menteri Luar Negeri RRT, Wang Yi menegaskan bahwa pemerintahnya mendukung pemerintah Maladewa dan meminta agar masyarakat internasional memainkan peran konstruktif dalam mendukung stabilitas dan pembangunan Maladewa. Ucapan RRT ini merupakan peringatan bagi India yang pada dekade 80an pernah mengirimkan pasukan militernya ke Maladewa untuk menghentikan kudeta. Pemerintah Maladewa juga menyatakan tidak akan takut akan adanya intervensi dari negara lain dan menganggap intervensi militer India adalah “langkah tidak bertanggung jawab dan akan mengganggu hubungan baik antara kedua negara”.
Kementerian Luar Negeri Maladewa bahkan telah mengeluarkan pernyataan yang menentang pernyataan Special Procedures Dewan HAM PBB yang mengkritik penangkapan dua hakim Mahkamah Agung. Dewan HAM PBB memandang penangkapan tersebut merupakan serangan terhadap independensi peradilan. Pemerintah Maladewa menuduh adanya campur tangan asing pada sistem peradilan, terhadap krisis politik yang tengah terjadi.

India kemungkinan besar tidak akan mengirimkan militernya ke Maladewa untuk alasan ekonomi. RRT merupakan pasar besar bagi produk-produk India. Lagipula, India masih memiliki sejumlah proyek investasi dan kedekatan pertahanan dengan Maladewa yang harus terus dipelihara untuk dapat membendung pengaruh RRT di kawasan tradisionalnya.

Ketidakpercayaan sebagai Karakter Kawasan
Kurangnya rasa saling percaya antara satu negara besar yang memiliki kepentingan di kawasan ini dengan negara yang lain menjadi ciri karakter kawasan di seputaran Samudera Hindia. Sebagai organisasi regional di kawasan, SAARC kekurangan energi untuk mencari jalan tengah guna  menyatukan pandangan dan mencari pemecahan konflik dan rivalitas. Di sisi lain, negara-negara kecil di kawasan dengan alasan utama pengembangan ekonomi, mulai mencari alternatif kerja sama baru. Gayung bersambut. RRT yang tengah mengembangkan dan mengamankan jalur pasokan energi dan mineralnya dari Timur Tengah dan Afrika mendapatkan tempat di Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan dan Maladewa yang terletak tepat di tengah jalur yang dibangun RRT.

Dalam krisis politik di Maladewa, Amerika Serikat memiliki pandangan serupa dengan India yang merupakan mitra dalam quadrilateral powers bersama dengan Australia dan Jepang. Amerika Serikat mengkritik langkah-langkah presiden Yameen yang dianggap tidak demokratis yang memicu krisis politik saat ini.
India yang merasa terusik kepentingannya di kawasan tak akan tinggal diam. Apalagi doktrin kemaritiman India mengemukakan adanya tantangan-tantangan maritim yang bersifat hibrida, yang mengaburkan batas-batas ancaman tradisional dan non-tradisional. Dalam hal ini, India akan menggunakan kekuatan angkatan lautnya untuk melindungi kepentingan nasional dan regionalnya, terutama pengamanan jalur laut di seputar Samudera Hindia.

Skenario terburuk yang muncul di kawasan akibat persaingan ini adalah meletusnya konflik fisik karena perbedaan kepentingan, perasaan terancam, dan rasa terusik akibat perluasan pengaruh satu kekuatan di wilayah tradisional kekuatan lain. Rasa ketidakpercayaan yang terus membesar antar kekuatan turut memperkeruh ketegangan di kawasan. Oleh karena itu, untuk menurunkan ketegangan, perlu penumbuhan arsitektur keamanan regional yang bersifat inklusif, saling terkait dan berdasarkan pada norma-norma yang dapat dikerjasamakan. Pelibatan semua aktor baik yang memiliki pengaruh besar maupun yang memiliki kekuatan lebih kecil niscaya diperlukan guna mencari titik temu perbedaan, penumbuhan rasa saling percaya dan mencari wilayah-wilayah kerja sama baru di kawasan. 

Monday, January 30, 2017

Diplomasi Budaya, Pembangkit Ingatan Kolektif dan Perekat Hubungan Antar Bangsa

Diplomasi budaya; sejumlah pakar bersepakat bahwa diplomasi budaya merupakan bagian dari  soft power yang menurut Profesor Joseph Nye adalah the ability to persuade through culture, values and ideas, as opposed to 'hard power', which conquers or coerces through military might. Peran soft power dalam bentuk diplomasi budaya sangat signifikan dalam hubungan antar bangsa dewasa ini, sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa diplomasi budaya tidaklah berada di bawah diplomasi politik atau diplomasi ekonomi, karena kesemuanya merupakan komponen yang saling melengkapi dan bersifat intrinsik.

Menurut Richard T. Arndt, diplomasi budaya sangat hemat jika dibandingkan dengan hasil dan dampaknya terhadap hubungan bilateral antar negara. Dalam surveynya, Arndt menyatakan bahwa diplomasi budaya membantu menciptakan dasar-dasar saling percaya antar manusia, yang pada ujungnya dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk mencapai persetujuan di bidang perdagangan, ekonomi dan militer. Diplomasi budaya mendorong manusia dan warga suatu bangsa untuk menghilangkan kecurigaan atas suatu kebijakan, karena memerlukan adanya kolaborasi dengan asumsi adanya kepentingan yang sama. Diplomasi budaya juga menjadi pijakan agenda yang bernilai positif untuk pengembangan kerja sama meskipun mungkin terdapat perbedaan politik, sekaligus menjadi wahana yang lentur dan diterima secara universal untuk mendekati negara-negara yang hubungan diplomatiknya tegang atau malahan tidak memiliki hubungan diplomatik sama sekali.

Berbeda dengan pendekatan perdagangan yang mengedepankan pengenalan produk dengan target peningkatan ekspor yang jika berhasil akan langsung terlihat dalam neraca perdagangan tahun berikutnya, diplomasi budaya memerlukan waktu dan ketekunan, karena tidak langsung terlihat hasilnya secara instan. Untuk meretas jalan budaya agar merasuk dalam sebuah komunitas, diperlukan upaya secara berkelanjutan dan berkesinambungan agar citra dan brand dari sebuah budaya dapat melekat dalam ingatan komunitas target tersebut. Dalam jangka pendek, sebuah kegiatan diplomasi budaya kepada publik setempat yang menjadi target diproyeksikan dalam bentuk pesan-pesan kunci secara konsisten dan kontinyu dengan memberikan gambaran yang realistik dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara dalam jangka panjang, kegiatan diplomasi budaya yang dapat berlangsung selama beberapa tahun atau bahkan dasawarsa dengan individu-individu, lembaga atau komunitas budaya dan masyarakat madani setempat, lembaga-lembaga publik dan otoritas lokal bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

Hubungan Bilateral Indonesia dan Mesir

Dalam perkembangan hubungan antar bangsa, hubungan antara Mesir dan Indonesia termasuk dalam kelompok “dewasa”, yaitu hubungan yang telah berlangsung sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dari sisi hubungan antar masyarakat, keberadaan Ruwaq Jawi di lingkungan kampus Al Azhar pada abad ke-19 mencerminkan keterkaitan hubungan antar manusia yang direkatkan oleh kesamaan agama. Dari sisi hubungan antar pemerintah, Mesir dan Indonesia telah memiliki Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dan Mesir yang ditandatangani pada 16 Juni 1947, yang merupakan salah satu perjanjian pertama yang ditandatangan oleh Pemerintah Indonesia yang berusia muda saat itu. Mesir juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 22 Maret 1946.

Hubungan antara Mesir dan Indonesia dapat dikatakan mencapai puncaknya saat Nasser di Mesir dan Sukarno di Indonesia menjadi pemegang pucuk pemerintahan di masing-masing negara. Kedua pemimpin negara ini menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika yang memiliki tujuan utama dekolonisasi dan pembebasan negara-negara di Asia dan Afrika dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Pada 10 Maret 1955, Perjanjian Kebudayaan antara Indonesia dan Mesir ditandatangani. Perjanjian ini menjadi payung hukum perjanjian di bidang kebudayaan, yang masih berlaku hingga saat ini.
Dalam beberapa dasawarsa berikutnya, hubungan yang sudah “dewasa” ini dalam beberapa segi mengalami stagnasi. Beberapa penyebab umum adalah karena arah perubahan titik berat politik luar negeri Mesir dan Indonesia secara kontemporer.

Politik luar negeri Indonesia kontemporer lebih memperhatikan kedekatan geografis, jadi tidak mengherankan jika dalam satu dasawarsa terakhir, ASEAN dan Asia menjadi garis depan titik perhatian para pengambil keputusan politik di Indonesia. Secara politis, hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika dapat dikatakan bersifat normatif dan dalam beberapa segi menunjukkan peningkatan secara bertahap terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan, yang dalam pemerintahan saat ini menjadi titik berat hubungan. Di sisi berseberangan, perhatian Mesir lebih tersedot ke dalam untuk mengatasi masalah politik dan ekonomi dalam negeri seraya memperkuat diplomasinya yang difokuskan ke wilayah Arab yang memiliki persamaan kultural dan Afrika yang dekat karena letak geografis dan memiliki persinggungan kepentingan. 

Saat ini hubungan Indonesia dan Mesir lebih banyak didominasi oleh hubungan ekonomi, suatu keniscayaan yang tak terhindarkan dalam praktik hubungan antar bangsa dewasa ini. Namun, hubungan ini memerlukan penyeimbang, pembangkit ingatan, pembuka jalan agar dapat berkesinambungan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Tentu saja salah satu pintu masuk termudah adalah melalui budaya, melalui penanaman ingatan kolektif bagi generasi muda Mesir. Sayangnya, garis dasar dan fokus politik luar negeri yang bersimpang jalan antara Indonesia dan Mesir membuat penanaman ingatan kolektif berkelanjutan bagi kedua bangsa menjadi tersendat bahkan terjauhkan.

Dalam situasi sedemikian, ingatan kolektif bangsa Mesir terhadap Indonesia tentu dapat dengan mudah ditebak: terhenti pada masa keemasan ketika Sukarno dan Nasser berkuasa. Hingga saat ini, setiap kali kata Indonesia diucapkan, kalimat balasan yang muncul di ujung lidah bangsa Mesir adalah “Indonesia is Sukarno”. Ingatan kolektif bangsa Mesir seakan terhenti dan terbungkus di lorong waktu 60 tahun yang lalu, tanpa ada jejak kekinian. Sebagian besar generasi muda Mesir tidak memiliki ingatan kolektif kontemporer dan terkini yang langsung dapat ditautkan dengan kata “Indonesia.

Tentunya kita akan merindu dan mengiri dengan diplomasi budaya bangsa lain yang begitu merasuk di Mesir. Korea dengan K-dramanya merajalela di saluran-saluran televisi dengan alih bahasa Arab, di setiap mal dan lokasi pertemuan yang strategis dan hip, selalu ditemukan restoran lokal yang menyajikan ramen dan sushi dari Jepang, bahkan drama-drama Bollywood yang pemutarannya di saluran-saluran televisi Indonesia mengundang kontroversi, baliho promosinya terpampang megah dalam ukuran raksasa di tepi-tepi jalan utama di kota Cairo. Lalu dimana Indonesia?

Membangkitkan Ingatan Kolektif tentang Indonesia di Mesir

Upaya-upaya berkelanjutan untuk membangkitkan ingatan kolektif bangsa Mesir agar terus menerus dapat mengingat eksistensi dan keberadaan saudaranya melalui soft power diplomacy merupakan sebuah keniscayaan yang harus terus menerus dijalankan secara berkesinambungan. Dalam sebuah tulisan, Maurice Halbwachs, seorang sosiolog dan filsuf berargumentasi bahwa semua ingatan individu dibentuk di dalam struktur sosial dan kelembagaan. Menurutnya, ingatan pribadi individu hanya dapat dimengerti melalui konteks kelompok; kelompok ini termasuk keluarga, organisasi dan negara-bangsa. Dengan berbasis pada pendapat Halbwachs, maka interaksi dan persentuhan antara individu-individu sasaran yang tergabung dalam suatu komunitas lokal di Mesir dengan para pelaku diplomasi budaya yang mengusung budaya Indonesia harus terus menerus secara berkelanjutan agar ingatan kolektif mengenai Indonesia di Mesir dapat terus terbentuk dan tidak perlahan menghilang.

Memori yang menyenangkan dalam pengenalan budaya sebuah bangsa selayaknya harus mulai dikembangkan semenjak masa sekolah. Dengan harapan bahwa memori tersebut diingat sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan. Dalam jangka panjang ingatan tersebut terekam sebagai sebuah memori jangka panjang yang rekamannya dapat dimunculkan  kembali dalam ingatan saat dewasa. Beberapa kegiatan pengenalan budaya melalui permainan tradisional, bermain musik tradisional secara interaktif, pertunjukan film dokumenter maupun film berlatar belakang budaya, pertunjukan seni budaya dan tampilan audio visual secara reguler merupakan cara-cara yang dipandang cukup efektif untuk menanamkan memori jangka panjang kepada target yang masih berusia muda.

Pemberian bea siswa budaya maupun bea siswa bergelar juga merupakan salah satu instrumen penting dalam pengenalan dan penanaman memori Indonesia di Mesir. Memori ini bahkan dapat berjangka panjang karena interaksi berbulan atau dalam bilangan tahun di Indonesia akan sangat membekas bagi para penerima beasiswa. Interaksi dan komunikasi, pengalaman yang berdasarkan panca indera, akan membuat para penerima beasiswa menjadi agen promosi Indonesia kontemporer sekembalinya mereka ke Mesir. Umumnya mereka akan terus menjalin hubungan berkelanjutan dengan Indonesia, dan menjadi “teman Indonesia”. Tanpa diminta, mereka akan terus bernostalgia dan menceritakan tentang Indonesia kepada kerabat dan kelompoknya di Mesir.

Pada pokoknya, upaya untuk menggali kembali ingatan kolektif tentang Indonesia di benak warga Mesir dapat dijalankan dengan memperhatikan kecenderungan yang saat ini tengah berkembang, terutama di kalangan generasi mudanya. Menyasar generasi muda Mesir sesungguhnya menjadi tema pokok untuk mengembangkan “keberpihakan” Mesir kepada Indonesia secara kontemporer, yang tidak terjebak lagi dengan nostalgia masa lalu, namun tanpa melupakan masa lalu tersebut. Sebut saja kegairahan generasi muda Mesir terhadap olah raga. Mesir merupakan negara yang penduduknya cukup gemar berolahraga. Seni bela diri silat Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk menarik perhatian generasi muda Mesir guna mencari common ground tentang Indonesia di Mesir. Silat menjadi populer di Mesir sejak diperkenalkan beberapa tahun lalu melalui Pusat Kebudayaan dan Informasi Indonesia di Cairo. Bahkan dalam invitasi pencak silat dunia di Bali beberapa bulan lalu, Mesir mengirimkan dua atlet silatnya untuk berlaga, atas nama Federasi Pencak Silat Mesir.

Tentu saja jenis-jenis dan upaya-upaya untuk membangkitkan kembali ingatan kolektif ini bervariasi dan beragam, tergantung dari kreativitas setiap pihak yang mengemas dan melemparnya kepada warga Mesir. Yang tak kalah pentingnya juga adalah sinergi dari berbagai pihak di Indonesia dan Mesir agar hubungan yang sudah tergolong dewasa ini menjadi “bergizi dan berisi”, tidak lagi berputar pada masa lalu, namun menjadi hubungan yang terbarui, dengan berbagai aspek kontemporer kekinian, yang tidak hanya diminati dan menjadi ranah eksklusif di tingkat pemerintah atau pebisnis, namun juga menjadi bagian dari warga biasa. Upaya yang tak berhenti hanya dalam satu atau dua kali putaran, upaya yang terus menerus dan berkesinambungan untuk menanamkan ingatan kolektif tentang Indonesia di Mesir. Upaya ini harus terus dijalankan agar dalam dekade-dekade mendatang ketika kepemimpinan berganti di kedua negara, Indonesia bukan lagi memori masa lalu yang harus digali dengan susah payah dalam benak bangsa Mesir, namun merupakan kosa kata sehari-hari yang dengan mudah diucapkan, semudah ketika bangsa Mesir melafalkan judul-judul film Bolllywood atau sinetron dari Turki yang gencar memasuki saluran televisi di rumah-rumah bangsa Mesir. Semoga….

Wednesday, October 22, 2014

Paradiplomacy dalam Lingkaran Politik Luar Negeri Indonesia




Konsep Paradiplomacy

Konsep diplomasi secara tradisional yang merupakan ranah milik pemerintah pusat saat ini mengalami pergeseran, dengan masuknya berbagai aktor baru yang juga memainkan peran diplomasi. Saat ini, sudah merupakan hal yang jamak bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja yang memiliki peran dalam hubungan antar negara, namun dalam beberapa segi, pemerintah daerah dari berbagai negara juga berperan dalam hubungan internasional.

Diplomasi dengan aktor pemerintah daerah disebut sebagai paradiplomacy. Penyebutan paradiplomacy ini menunjuk pada suatu konsep kapasitas kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh entitas sub-negara, yang dijalankan di arena internasional untuk tujuan tertentu. [i] Dalam menjalankan diplomasi, aktor sub-nasional ini dapat mendirikan perwakilan dan memiliki kontak formal maupun informal, permanen maupun ad hoc, dengan entitas pemerintah maupun swasta asing, dengan tujuan memajukan kepentingan sosial ekonomi atau politik maupun dimensi kepentingan lainnya, yang sesuai dengan amanat konstitusional atau kompetensi yang dimilikinya.[ii] Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa aktivitas atau lapisan paradiplomacy meliputi tiga bidang yaitu politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.

Motivasi terkuat yang melatarbelakangi munculnya keinginan daerah untuk melakukan kegiatan diplomasi adalah faktor ekonomi. Tujuan daerah untuk melakukan paradiplomacy dalam hal ini adalah untuk menarik investasi asing, menarik perusahaan multinasional ke wilayahnya, dan menargetkan pasar ekspor baru. Fungsinya tertuju semata untuk berkompetisi di tingkat global, sehingga tidak memiliki faktor politik sama sekali.

Lapisan kedua melibatkan kerja sama (budaya, pendidikan, teknik, dan lain sebagainya). Dalam hal ini, paradiplomacy lebih luas cakupannya dan lebih multidimensi, karena tidak hanya berfokus pada perolehan ekonomi. Sementara lapisan ketiga melibatkan segi politik, dimana paradiplomacy lebih mengetengahkan identitas yang berbeda dari identitas yang dimunculkan oleh pemerintah pusat. Beberapa wilayah di Eropa seperti Flanders, Catalonia dan Basque serta Quebec di Kanada memunculkan paradiplomacy ini. Dalam hal ini, daerah berupaya membentuk serangkaian hubungan internasional yang akan menegaskan kekhususan (distinctiveness) budaya, otonomi politik dan karakter bangsa atau sub-nasional masyarakat yang mereka wakili.[iii] Namun, patut dicatat bahwa seluruh kegiatan paradiplomacy memiliki komponen ekonomi, dengan penambahan elemen-elemen lain seperti kerja sama maupun menjurus ke politik.

Letak geografis yang berbatasan juga merupakan sarana pencetus munculnya paradiplomacy. Regionalisme lintas batas sering didasarkan pada logika untuk memanfaatkan sumber daya alam secara ekonomis atau kesamaan budaya yang dipisahkan oleh batas buatan. Hal ini misalnya diterapkan dalam ASEAN melalui pembentukan IMT-GT atau Sijori. Sementara kerja sama antar daerah yang tidak berbatasan didasarkan pada kepentingan bersama yang sifatnya fungsional dan mengambil manfaat dari sumber daya yang dapat digunakan secara bersama.

Untuk menjamin suksesnya paradiplomacy, diperlukan pemahaman mengenai kekuatan yang akan melengkapi kemitraan antar daerah ini dan bagaimana hal ini dapat tercapai. Kerja sama dalam bidang lingkungan hidup, pengembangan infrastruktur, dan pertukaran budaya merupakan jenis kerja sama yang paling mudah untuk dilakukan dalam kerangka paradiplomacy. Sementara kerja sama dalam hal menarik FDI dipandang lebih sulit. Jika paradiplomacy difokuskan pada pengembangan ekonomi, khususnya untuk menarik FDI, maka diperlukan strategi tertentu seperti menargetkan jenis investasi tertentu untuk melengkapi perekonomian daerah yang telah ada atau untuk mengembangkan kluster ekonomi khusus. Daerah juga harus mempelajari insentif yang akan dikemas seperti insentif keuangan, pajak, lokasi dan dukungan infrastruktur. Untuk kerja sama di bidang UKM yang memerlukan bantuan untuk pasar dan promosi ekspor, daerah yang akan bersinergi dalam kerja sama internasional ini perlu memetakan komplementaritas dan sinergi untuk meningkatkan daya saing pasar.

Menurut Profesor Michael Keating dari Universitas Aberdeen, Skotlandia, daerah yang akan bekerja sama perlu menekankan kejelasan, siapa yang akan memerlukan dan mendapatkan keuntungan dari kerja sama antar daerah ini. Kerja sama yang dipandang paling mungkin sukses adalah kerja sama yang ditujukan untuk pengembangan UKM dan dititikberatkan pada masalah spesifik. Yang tak kalah pentingnya, daerah yang akan melakukan kerja sama memiliki tingkat pembangunan yang sama, atau paling tidak memiliki kebutuhan yang dapat saling melengkapi, memiliki keahlian dan sumber daya.[iv]

Prasyarat kedua untuk suksesnya kerja sama antar daerah adalah prasyarat kelembagaan, yaitu adanya  unsur dari pemerintah daerah yang bertindak sebagai interlocutor (penghubung dan penengah) yang akan menjembatani dan mengumpulkan berbagai kepentingan yang ada di wilayah tersebut. Ketiga, daerah yang akan bekerja sama memiliki struktur, kewenangan dan kekuatan yang serupa. Prasyarat ketiga ini diperlukan agar tidak terjadi ketimpangan, misalnya salah satu daerah memiliki kewenangan legislatif, administratif dan keuangan yang tinggi sementara daerah yang akan diajak bekerja sama hanya memiliki status kota tanpa kewenangan tinggi.[v]


Pengejawantahan Paradiplomacy di Indonesia

Dalam UU no. 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah, terdapat kewenangan daerah otonom untuk melakukan sebagian kerja sama luar negeri. Hal ini tercantum dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU ini menjadi landasan hukum pelaksanaan paradiplomacy oleh pemerintah daerah di Indonesia, selain tentunya UU no.24/2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam praktiknya, umumnya bentuk kerja sama antar daerah antara Indonesia dengan negara lain adalah sister city/province.[vi] Kerja sama ini umumnya dibentuk dengan dasar pemikiran untuk meningkatkan saling pemahaman atas potensi yang dapat dikerjasamakan antara dua provinsi atau kota yang ada di Indonesia dengan mitranya di negara lai. Kerja sama yang dibentuk umumnya berada di ranah ekonomi dan sosial budaya. Hal ini juga dapat diartikan bahwa dengan sistem desentralisasi yang dianut dalam pengaturan administrasi pemerintahan dalam negeri di Indonesia, pemerintah daerah mulai berpikiran outward looking, mencari potensi kerja sama dengan wilayah lain yang mampu melengkapi dan mendorong pembangunan daerahnya secara komprehensif, inklusif dan kompetitif dan berlandaskan semangat untuk memberi kemanfaatan bagi kedua belah pihak.

Namun demikian, dari sekian banyak kerja sama sister province/city yang ditandatangani oleh pemerintah daerah di Indonesia dengan mitra-mitranya dari negara lain, masih sering dijumpai ketidakefektifan kerja sama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena proses “matchmaking” yang dilalui tidak melalui analisis mendalam; kurangnya pemfokusan kerja sama; kebutaan terhadap kebutuhan, potensi, persamaan dan komplementaritas sektor-sektor yang akan dikerjasamakan serta keunggulan masing-masing daerah yang akan dijadikan sister province/city. Terkadang pula terjadi pembuatan MoU yang sifatnya tergesa-gesa karena mengejar rencana kunjungan tingkat tinggi, sehingga analisis kebutuhan, keunggulan, kelemahan dan komplementaritas terlewatkan. Akibatnya, pasca penandatanganan MoU, kerja sama yang terlihat rosy di atas kertas tidak terwujud atau tidak efektif, hingga masa berlaku MoU berakhir.

Di lain pihak, jika kita sekilas, maka kegiatan paradiplomacy pemerintah daerah di Indonesia yang berhasil umumnya adalah dengan pemerintah provinsi/kota di negara maju, dimana pihak Indonesia menerima manfaat lebih dalam hal kerja sama teknik, ekonomi, pertukaran budaya, akademis, dan pariwisata. Contohnya adalah kerja sama sister province antara DIY dengan Kyoto Prefecture Jepang, yang dimulai tahun 1985, dan diperbarui kembali melalui Reaffirmation of The Sister Agreement Between Yogyakarta Special Region, Republic of Indonesia, and Kyoto Perfecture, pada 20 Oktober 2010.[vii]

Mengingat bahwa filosofi kerja sama dalam Sister Province/City umumnya adalah goodwill, semangat untuk saling mengenal, mempromosikan potensi dan saling menguntungkan, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengefektifkan setiap potensi kerja sama, sektor yang akan dikerjasamakan, keunggulan dan komplementaritas yang dapat ditawarkan oleh setiap daerah yang akan dijadikan target kerja sama Sister Province/City.

Usulan

Pemerintah pusat c.q. Kementerian Dalam Negeri kiranya dapat memetakan potensi dan sektor unggulan setiap daerah kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia, dalam bentuk database. Hal ini akan sangat membantu jika perwakilan RI menerima usulan dari mitra setempat maupun berinisiatif untuk menjajaki kerja sama sister province/city. Pemetaan secara rinci akan menghindarkan besarnya probabilitas ketidakefektifan kerja sama, “meraba-raba” provinsi atau kota/kabupaten mana yang dipandang pas untuk dijadikan kota/provinsi kembar, dan menghindari perjanjian yang “tidur” setelah ditandatangani karena mismatching baik dalam hal pemilihan sektor maupun pemilihan daerah yang dikerjasamakan.

Perlunya updating secara berkala daerah mana saja di Indonesia yang memiliki hubungan dengan wilayah lain di luar negeri dan status terakhir perjanjian yang dimiliki. Hal ini untuk menghindarkan penumpukan adanya daerah tertentu yang memiliki banyak perjanjian sister province/city, sementara terdapat kota/kabupaten atau provinsi lain yang belum pernah memiliki perjanjian serupa. Tujuan akhirnya adalah agar semua wilayah di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan dan mendapatkan kesempatan untuk berhubungan dengan mitra-mitranya di negara lain yang akan memberikan kemanfaatan kemajuan pembangunan di daerahnya.

Perlunya kemudahan untuk mengakses hasil pemetaan dan updating tersebut pada butir (14) dan (15) bagi perwakilan RI di seluruh dunia. Jika memang diperlukan, kiranya juga ada one desk service di salah satu instansi terkait yang menangani paradiplomacy ini, yang berguna untuk mendapatkan informasi terbaru atau untuk menanyakan hal-hal terkait dengan sister province/city, status terakhir, tata cara pengajuan perjanjian, dan hal-hal terkait lainnya.

Penutup

Kebijakan luar negeri, pertahanan negara, kebijakan moneter dan fiskal secara tradisional merupakan ranah kekuasaan pemerintah pusat. Namun demikian, dengan perkembangan hubungan internasional saat ini yang telah melibatkan non-state actors, keterlibatan pemerintah daerah dalam arena internasional akan memperkaya khasanah hubungan antar bangsa. Partisipasi daerah dalam kegiatan paradiplomacy akan melengkapi dan memberikan kemanfaatan dalam pembangunan negara secara komprehensif.

Pemerintah pusat tetap merupakan pemegang kebijakan tertinggi dalam kebijakan luar negeri, terlepas dari seberapa besar otonomi yang dimiliki daerah. Pemerintah pusat tetap harus mengarahkan partisipasi daerah di arena internasional, setidak-tidaknya untuk memastikan koherensi dengan kebijakan luar negeri.



[i] Stefan Wolff, Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges, www.stefanwolff.com/files/Paradiplomacy.pdf.

[ii] Noé Cornago, Exploring the Global Dimensions of Paradiplomacy Functional and Normative Dynamics in the Global Spreading of Subnational Involvement in International Affairs, October 2000, http://www.forumfed.org/en/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-int-cornago.pdf

[iii] André Lecours, Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

[iv] Michael Keating, Paradiplomacy and Regional Networking, www.forumfed.org/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-eu-keating.pdf

[v] Keating, idem.

[vi] Kerja sama khusus berupa pemberian bantuan kemanusiaan pernah dilakukan oleh Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau untuk para pengungsi Somalia pada tahun 2011.

[vii] Takdir Ali Mukti, Laporan Penelitian tentang kerjasama luar negeri yg dilakukan oleh Pemda DIY antara 2003-2012, hal 18-27,  komunikasi melalui surat elektronik tanggal 19 Maret 2014. 

Tuesday, September 30, 2014

Nonton Acara di Tipi di Negeri Seribu Menara

Sudah satu setengah tahun saya berada di negeri yang bertajuk seribu menara (kata salah satu pengarang). Iya sih...emang banyak menara masjid yang indah-indah di negara ini, peninggalan berbagai dinasti Islam yang dulu menguasai negara ini. Dari dinasti Fattimiyyah, Ayyubiyyah, Mamluk dll...(maaf, ga apal...kalo guide lagi nerangin sih cuma manggut-manggut...hehehe). Tapi buat saya, negeri ini sekarang lebih cocok disebut sebagai negeri seribu parabola...tiap atap gedung apartemen berserakan parabola milik para penghuni gedung. 

Buat apa tuh parabola? Nah itu enaknya di negeri-negeri Arab ini. Parabola digunakan untuk menangkap siaran televisi dari Arab Saudi sampe Suriah. Terserah mau pilih saluran yang mana. Kalau saya, karena ga bisa bahasa Arab (agak males juga belajar..) maka saya pilih saluran yang berbahasa Inggris. Enaknya lagi, film-film barat yang diputar di stasiun-stasiun berbahasa Inggris ini lumayan baru-baru. Coba bandingkan dengan stasiun-stasiun TV di Indonesia yang muternya film-film Hollywood jadul...ketika Chuck Norris masih unyu-unyu misalnya...halah! 

Stasiun tivi lain yang berbahasa Arab, setau saya menyiarkan film Arab, pengajian atau ceramah, home shopping, berita lokal, atau nah..ini yang menarik: klip lagu-lagu terbaru. Dan setelah bertempat tinggal sementara di Mesir ini, baru saya tahu..buseeet...penyanyi-penyanyi Arab ini ga kalah seksi klipnya dibanding klip penyanyi barat. Kalo cuma denger CD nya sih dikira biasa ajah..Begitu lihat klipnya..jreng! Sebenernya sih suara mereka rata-rata bagus ditunjang badan seksi (terutama cewek-cewek penyanyi asal Lebanon) dan musik yang ok, sayangnya cengkoknya masih sangat Arab. Kurang bisa diterima kuping saya yang cita rasanya Asia atau barat. Coba bikin lagu yang beneran pop atau jazzy tanpa sentuhan gambus...mungkin saya akan mencoba mendengerkan....hehehe...Sst..kadang saya kepikiran untuk kasih CD penyanyi ini ke grup pengajian ibu saya hahahaha!!! Ntar dipikir lagu religi padahal lagu cinta hohoho..hehehee...

Tapi ada saatnya saya merasa ga suka dengan siaran televisi berbahasa Inggris ini, yaitu pas mereka muter WWF alias banting-bantingan gulat ala Amrik. Syukurlah di Indonesia sudah dilarang, bikin anak-anak pada niru sih. Nah...konon kabarnya di Arab malah disukai tuh acara WWF dengan segala spin-offnya..dari WWF main event, WWE raw dll (ups..apal). Terus ada yang versi Arabnya kayak Al-Batal atau Desert Force. Jiah...bikin kultur kekerasan terus menjadi di gurun pasir deh menurut gue.....

Nah...acara di televisi setempat yang menarik sih acara masak memasak selain film. Jarang sih dipraktikkan, nonton sambil ngiler iya...:) Nah lagi, ternyata setelah membaca surat kabar setempat (bukan yang bahasa Arab ya..koran bahasa Inggris tentu saja), ternyata berkat seringnya acara masak memasak disiarkan, banyak anak muda Mesir yang dulunya kebanyakan bercita-cita jadi dokter atau insinyur (klasik banget..kayak anak Indonesia dulu deh...), banyak yang kemudian banting setir sekolah masak. Ga cuma di dalam negeri, sampe dikejar ke Perancis sono. Kata mereka, ternyata menjadi chef itu adalah menjadi pesohor dengan kategori tersendiri. 

Benar menurut saya, apalagi rata-rata orang Mesir suka makan. Tiap minggu ada aja resto baru dibuka, di daerah tempat saya tinggal, dari yang menyajikan makanan Italia, Lebanon, Mesir sampe makanan Asia dan Amerika Latin. Dan setiap orang kan memang butuh makan, jadi daripada punya gelar teknik tapi ga bisa dapat kerjaan (maklum, angka pengangguran di Mesir di atas 14%), banyaklah anak muda yan memilih jadi chef...celebrity in their own terms and place...Dan saya jadi punya pilihan untuk makan di resto apapun. Jujur, saya ga bisa makan makanan Timur Tengah...ga cocok di lidah. Mending makan cupcake ajah daripada disuruh makan mulukhiyyah...hohoho...

Begitu deh...pengamatan saya pada acara tivi di dunia Arab. Sebagai bonus saya kasih ini:




Tuesday, September 23, 2014

Semerbak Kopi Indonesia di Mesir

Minggu ini saya mengalami defisit kopi, bawaannya ngantuk mulu sepanjang hari. Padahal, baru minggu lalu mengadakan workshop kopi dengan tema "Indonesian Coffee Culture: Beyond Tradition and Economical Values".  Mungkin karena tenaga abis kali ya...buat mikirin persiapan workshop sekaligus pameran dagang, makanya minggu ini langsung letoy....

Anyway, mengapa saya punya ide untuk mengadakan workshop kopi sekaligus mengajak para importir kopi dari Mesir dan eksportir kopi dari Indonesia untuk ikut pameran di tempat saya hanging out selama 2 tahun ke depan ini? Alasannya sederhana: saya suka kopi, dan langsung hepi kalo di supermarket setempat nemu kopi dari Indonesia. Atau pas nyambangin cafe, dan salah satu menu yang terpampang dalam coffee of the day-nya adalah Toraja Kalosi atau Java Mocca. Tapi, yang paling bikin semangat ngadain workshop adalah setelah saya bertanggung jawab atas keberlangsungan kantor sebelah yang tanggung jawabnya berkisar pada peningkatan ekspor komoditas non-migas dari Indonesia. Nah...baru saya tahu kalo kopi dari Indonesia yang masuk negeri Mesir ini, kebanyakan masih berupa green beans atau powder. Di Mesir, dicampurlah itu kopi dari negeri tercinta dengan kopi dari negeri-negeri lain, dan disuguhkan kepada para konsumen sebagai Turkish Coffee. Atau...dicampur dengan kopi dari negeri-negeri telenovela, terus dilabelin sebagai Brazilian Coffee....Aih.....gondoklah eyke... Oya, workshop juga berfungsi untuk kasih tau ke rakyat Mesir, kalo Indonesia tuh juga bisa memproduksi kopi, biskuit, bahkan rangkaian perawatan kulit dari kopi :)

Singkat cerita, dari workshop itu, saya dapat pengetahuan baru. Ternyata sebagian besar kopi yang diminum bangsa Mesir berasal dari Indonesia, hampir 70% malah, dari seluruh kopi yang beredar di Mesir. Tapi ya itu tadi...ga ada yang tahu kalo mereka minum kopi yang asalnya dari negeri saya. Trus kata pembicara yang telah malang melintang di dunia perkopian Mesir, meskipun kopi pertama kali ditemukan di Ethiopia, namun perdagangan kopi bermula di Jawa. Terus, kalo bicara masalah blending, ternyata tanpa kopi Indonesia yang memiliki body kuat, kopi-kopi dari negeri lain ga akan terasa enaknya jika ga dicampur dengan kopi dari Indonesia. Orang Mesir yang suka kopi dengan foam juga ga akan bisa menikmatinya, tanpa ada campuran kopi dari Indonesia di dalamnya. 

Baca artikel di the Economist tentang kopi, di dalamnya ada penggalan puisi dari abad 17 yang intinya menyatakan bahwa kopi itu bikin seorang jenius makin jenius, bikin pemikiran semakin tajam, dan membuat riang tanpa memabukkan...

Jadi, semakin cintalah saya dengan kopi, apalagi kopi dari Indonesia....Itu sebabnya, saya memilih suvenir kopi dari Indonesia setiap kali melakukan pertemuan dengan mitra dari Mesir....

Gitu deh cerita ringan tentang kopi (ga pake data statistik, meskipun saya tahu, biar ga bosen bacanya..,.). Oya...lagi cari film dokumenter tentang kopi Indonesia, Aroma of Heaven, keren tuh...ada yang sudah punya? :)


Monday, August 12, 2013

Perkembangan Ekonomi Mesir

I.                    Tinjauan Umum

Setelah jatuhnya Hosni Mubarak pada Februari 2011, Mesir memiliki Presiden baru, Mohammed Morsi yang dipilih melalui Pemilu tanggal 24 Juni 2012, sebagai presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis. Sebuah konstitusi baru yang disusun oleh dewan konstituante yang didominasi oleh kelompok Islam dan disetujui secara tipis oleh para pemilih pada pertengahan Desember 2012 telah secara dramatis membelah negeri ini. Parlemen baru diharapkan akan dibentuk pada akhir 2013, pasca pemilu April 2013 untuk menggantikan lembaga yang didominasi kelompok Islam yang telah dibubarkan oleh Mahkamah Agung pada Juni 2012. Rakyat Mesir saat ini tengah menunggu selesainya transisi pemerintah yang demokratis, namun masih menghadapi banyak tantangan.

Pertumbuhan PDB riil turun menjadi 2.2% pada penutupan tahun fiskal Juni 2012, dari 5,1% pada 2009/2010, sebelum revolusi. Berlanjutnya instabilitas politik telah melemahkan pemasukan sektor pariwisata dan penanaman modal asing (PMA). Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan masih melemah, sekitar 2% pada akhir Juni 2013. Sementara itu, penundaan persetujuan pinjaman sebesar USD 4,8 milyar dari IMF yang memerlukan persyaratan adanya peningkatan pajak dan reformasi subsidi serta PNS, telah mendorong Mesir ke jurang krisis skala besar. Pada akhir Januari 2013, nilai kurs Pound Mesir (EGP) terdepresiasi 12,5% dari nilai awal semenjak revolusi. Pasar memperkirkan bahwa nilai pound akan semakin terdepresiasi, antara EGP 7,0 hingga EGP 7,5 per USD dan pasar gelap penukaran valuta semakin berkembang. Pada Juni 2012, utang domestik Mesir dan defisit fiskal masing-masing mencapai 80,3% dan 10,8%, mempersempit ruang gerak pergerakan fiskal.

Kemiskinan tetap tinggi, sekitar 12,5% penduduk Mesir hidup dengan uang kurang dari USD 1,5/ hari pada 2010/2011. Tingkat buta huruf masih tinggi pada kisaran 27% dan terdapat jurang perbedaan pendapatan yang lebar. Badan statistik Mesir melaporkan bahwa tingkat pengangguran sebesar 12,5% pada triwulan III 2012, meskipun beberapa sumber mengindikasikan bahwa tingkat pengangguran sesungguhnya diatas 18%. Lebih dari 3,3 juta penduduk Mesir menganggur, sementara tingkat pengangguran untuk usia 20-24 tahun sebesar 46,4%.

Pemerintah melakukan serangkaian langkah untuk menghadapi masalah struktural dan kelembagaan yang melingkupi Mesir. Pemerintah telah mengembangkan program di dalam negeri untuk mereformasi sistem subsidi energy yang tidak efisien dan mempromosikan kebijakan untuk memerangi korupsi, memajukan inklusivitas sosial dan meningkatkan kesempatan yang sama. Meskipun demikian, keengganan pemerintah untuk menerima persyaratan IMF sebelum pemilu April 2013 mencerminkan kesulitan untuk melaksanakan reformasi yang sangat diperlukan namun tidak popular di tengah-tengah masyarakat yang sangat terbelah.

Di tingkat sektoral, penyumbang utama pertumbuhan PDB pada 2011/2012 adalah pertanian (pertumbuhan 2,9%, 14,8% dari PDB), konstruksi (tumbuh 3,3%, 4,6% dari PDB), telekomunikasi (tumbuh 5,2%, 4,4% dari PDB) dan real estate (tumbuh 3,2%, 2,9% dari PDB). Kebalikannya, kinerja yang buruk di sektor manufaktur dan pariwisata, yang hanya tumbuh masing-masing 0,7% dan 2,3%, melemahkan pertumbuhan PDB pada 2011/2012; dimana sebelum revolusi pada 2009/2010, sektor ini mencatat pertumbuhan masing-masing sebesar 5,1% dan 12%.

Pendapatan yang bersumber dari luar negeri mengalami penurunan akibat perlemahan ekonomi Eropa, yang berdampak pada neraca pembayaran Mesir. Ekspor barang, yang umumnya ke Eropa yang merupakan mitra dagang utama Mesir, menurun sekitar 0,1% menjadi USD 27 milyar pada 2010/2011 dan 2011/2012, lebih dari 8% dibawah pencapaian pada 2007/2008. Pariwisata terkena dampak paling hebat dari instabilitas politik, masalah keamanan dan penyerangan di perbatasan di Sinai. Sebagai hasilnya, pendapatan dari pariwisata menurun sebesar 11% menjadi USD 9,4 milyar (3,1% dari PDB) pada 2011/2012. Pendapatan dari Terusan Suez tetap stabil pada kisaran USD 5 milyar (2,1% dari PDB) pada 2010/2011 dan 2011/2012, yang merupakan perkembangan yang cukup positif mengingat terdapatnya kecenderungan penurunan pendapatan dari terusan pada empat tahun fiskal sebelumnya.

Aliran bersih PMA menurun dalam 4 tahun berturut-turut,  menjadi sekitar USD 2,1 milyar (0,8% dari PDB) pada 2010/2011 dan 2011/2012, turun dari masa puncak sebesar USD 13,2 milyar (8% dari PDB) pada 2007/2008 sebelum krisis keuangan global. Pada 2011/2012, transfer pribadi bersih (utamanya dari remitansi para pekerja Mesir di luar negeri) berjumlah USD 18 milyar (7% dari PDB), naik 43% dari tahun fiskal sebelumnya. Remitansi dari para pekerja Mesir di luar negeri ini cenderung terus meningkat sejak 2007/2008. Total investasi (diluar perubahan portofolio) mencapai USD 39 milyar (15,3% dari PDB) pada 2011/2012. Minyak mentah dan gas alam menarik paling banyak investasi (diperkirakan sebesar 25% dari seluruh nilai investasi), diikuti oleh transportasi dan komunikasi (19%), perumahan dan real estate (16,7%). Produk bahan bakar dan manufaktur menarik 8,7% dari keseluruhan investasi, sementara sektor jasa kesehatan dan pendidikan hanya menyumbang masing-masing 1,6% dan 2,4%.

Ekonomi menderita akibat ketidakpastian iklim karena krisis politik yang semakin dalam dan adu kekuatan antara eksekutif dan yudikatif kian memburuk. Peningkatan pajak dan langkah pengetatan yang krusial yang menjadi persyaratan pinjaman IMF ditunda karena terjadinya protes politik akibat keputusan Presiden Morsi untuk mempercepat implementasi konstitusi baru. Meskipun penyesuaian tersebut dapat mengurangi tekanan domestik, namun penundaan berarti bahwa Mesri akan berlanjut menjadi wilayah yang tidak menarik untuk PMA. Apalagi ekonomi mengalami tekanan akibat tingginya tingkat suku bunga obligasi pemerintah: tingkat suku bunga utang jangka pendek 3 bulan pemerintah (T-bill)  naik menjadi rata-rata bulanan 13,1% pada Juni 2012, dari 11,5% pada tahun sebelumnya. Tingkat suku bunga yang tinggi ini sebagian menjadi penyebab naiknya defisit fiskal pada tingkat yang tak berkesinambungan. Lebih jauh lagi, krisis valuta asing juga membayangi. Cadangan devisa bersih Mesir turun pada level kritis yang hampir tidak dapat menutup impor untuk tiga bulan (akhir Januari 2013 sebesar USD 13,6 milyar). Pada bulan Januari 2013, Qatar membantu mendongkrak EGP dengan meminjamkan dana sebesar USD 2,5 milyar sebagai tambahan paket finansial yang berjumlah sama sebelumnya. Meskipun demikian, Bank Sentral Mesir (CBE) kehilangan cadangan devisa sebesar USD 20 milyar pada tahun fiskal 2010/11 dan 2011/12 untuk membantu valuta setempat. CBE memiliki pilihan terbatas saat berupaya untuk mengendalikan laju depresiasi EGP.

II.                  Kebijakan Moneter

Sejak 2004, Mesir menerapkan rezim nilai tukar mengambang yang bertujuan untuk menjaga nilai tukar EGP 6/1 USD. Dengan terjadinya krisis politik, kebijakan ini semakin sulit untuk dijaga karena dihadapkan pada turunnya secara tajam pendapatan dalam valuta asing dan aliran modal masuk. Sebagai akibatnya, pada Januari 2013, nilai tukar jatuh menjadi EGP 6,5 untuk USD 1, dan cadangan devisa dalam valuta asing (yang digunakan CBE untuk menyokong nilai tukar) turun pada akhir Januari 2012 menjadi USD 13,6 milyar dari USD 26,6 milyar pada Juni 2011.

Tingkat inflasi y.o.y. (headline) yang diukur dengan menggunakan indeks harga konsumen perkotaan melambat dari 11,8% pada Juni 2011 menjadi 4,66% pada Desember 2012 karena aktivitas ekonomi terus berkontraksi akibat kekacauan politik. Inflasi inti (core) juga turun dari 8,94% y.o.y. menjadi 4,44% untuk periode yang sama. Namun demikian, bank sentral memprediksi adanya penyumbatan suplai makanan dan butane serta gangguan terhadap jalur distribusi produk makanan karena adanya resiko inflasi dan ingin mengambil peran lebih aktif untuk menanggulanginya. Dalam hal ini, CBE membentuk kelompok inter kementerian untuk mengurusi inflasi dengan mandate menangani secara langsung penyebab struktural inflasi.

III.                IIIKerja Sama Ekonomi, Integrasi Regional dan Perdagangan

Defisit perdagangan Mesir meningkat sedikit dari USD 27,1 milyar (11,8% dari PDB) pada 2010/11 menjadi USD 31,7 milyar (9,2% dari PDB) pada 2011/2012, dan tidak lagi diimbangi oleh penerimaan dari sektor investasi dan pariwisata yang menurun. Didorong oleh depresiasi EGP dan (meskipun sudah mulai muncul reformasi) sistem subsidi yang tidak fleksibel untuk bahan bakar dan makanan, telah menggelembungkan impor hingga USD 58,7 milyar, naik 8,5% dari tahun sebelumnya, yang terus menjadi faktor pendorong terjadinya defisit. Secara keseluruhan pertumbuhan ekspor tidak meningkat, karena total ekspor pada tahun 2011 dan 2012 adalah USD 27 milyar. Diantara jumlah tersebut, ekspor non migas menurun dan ekspor migas meningkat. Neraca perdagangan jasa positif (USD 5,4 milyar) namun terus menunjukkan trend penurunan dari USD 10,3 milyar pada 2009/2010 dan USD 7,9 milyar pada 2010/11. Faktor pendorong penurunan tersebut adalah penurunan pendapatan dari pariwisata dan investasi. Defisit neraca berjalan melebar dari sebesar 2,6% dari PDB pada tahun 2011 menjadi 3,3% pada 2012.
Uni Eropa (UE) tetap menjadi mitra dagang utama Mesir, menyerap USD 11 milyar ekspor Mesir sementara Mesir mengimpor sebesar USD 19,3 milyar dari UE pada 2011/12. Diantara negara-negara UE, Italia merupakan mitra dagang terbesar Mesir yaitu 20,7% dari barang ekspor UE. Antara 2007/08 dan 2010/11, tercatat bahwa dari total nilai perdagangan luar negeri Mesir, 36%  adalah dengan UE, 10% dengan AS, 20% dari kawasan Arab dan Asia, sementara Afrika hanya mencatat 2% ekspor dan 1% impor. Semenjak revolusi, otoritas terkait telah meningkatkan upaya-upaya untuk menaikkan partisipasi sektor swasta Mesir dalam proyek-proyek infrastruktur di seluruh Afrika dan mendukung inisiatif pelatihan dan capacity building di benua tersebut.
Investasi mengalami penurunan karena larinya modal jangka pendek dan panjang. Investasi portofolio bersih mengalami neraca negative tahun 2011/2012 sebesar USD 5 milyar. Neraca PMA bersih tetap di posisi positif sebesar USD 2 milyar (0,8% PDB), namun modal keluar telah berlipat dua sejak dua tahun belakangan sebesar USD 9,7 milyar, dibandingkan dengan modal masuk sebesar USD 11,8 milyar. EU merupakan wilayah yang paling banyak berinvestasi di Mesir, yaitu sebesar 82% dari total investasi di Mesir pada 2011/2012.

IV.               IV.  Sektor Swasta

Sektor swasta menyumbang pertumbuhan sebesar 62% dari PDB dan mempekerjakan 70% dari total angkatan kerja Mesir dalam lima tahun terakhir. Sebelum revolusi, Mesir mengalami birokrasi yang sangat membebani, korupsi dan kompetisi yang tidak memadia di banyak sektor. Terdapat favoritisme, kurangnya keterbukaan, dan proteksi terhadap segmen pasar.  Sebagai konsekuensinya, salah satu tuntutan revolusi adalah perombakan besar-besaran hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta. Meskipun krusial untuk daya saing Mesir dalam jangka panjang, tuntutan ini telah menghubungkan hubungan pemerintah-dunia usaha kepada proses politik dan transisi hukum yang panjang, yang mengakibatkan ketidakpastian yang menyebar luas dan investasi sektor swasta yang tidak meyakinkan.

Standar pengukuran daya saing mencerminkan permasalahan dan ketidakpastian di atas. Mesir berada di peringkat 107 dari 146 negara berdasarkan Indeks Daya Saing Global dari World Economic Forum tahun 2012/13, turun dari peringkat 81 pada tahun 2010/11. Laporan Doing Business 2013 dari Bank Dunia menempatkan Mesir di posisi 109 dari 183 negara, turun dari peringkat 108 pada tahun 2011, namun naik dari peringkat 110 pada tahun 2012. Kepastian jaminan kontrak dan kapasitas untuk menjalankan kontrak tersebut berdasarkan sistem hukum, menjadi salah satu concern utama. Mesir berada di peringkat 144 dari 184 negara untuk sub-indeks “pelaksanaan kontrak”. Kelemahan utama lainnya adalah dalam hal pembayaran pajak (peringkat 145), berhubungan dengan izin konstruksi (peringkat 155), dan penyelesaian kebangkrutan (peringkat 137). Mesir paling banyak mendapatkan keluhan mengenai praktik korupsi sebagai penghambat utama dalam berbisnis. Customs clearance telah diperpendek, meskipun persepsi yang diasosiasikan dengan fasilitasi perdagangan tetap negatif. Prosedur impor dan ekspor masih menghabiskan banyak waktu pada tahun 2011 (12 hari untuk tiap tahapan prosedur, menurut Doing Business 2012).

Semenjak revolusi, beberapa langkah telah dilakukan untuk mengubah situasi yang tercermin dari beberapa indikator. Sejumlah besar penyelidikan korupsi telah dimulai, dan beberapa dakwaan terhadap para pebisnis dan mantan pejabat tinggi dan menteri telah dilakukan. Beberapa alokasi tanah yang dibuat pada masa pemerintahan sebelumnya melalui kontrak langsung telah ditarik, dan privatisasi beberapa perusahaan BUMN di bidang perminyakan dan manufaktur telah ditarik. Komisi khusus untuk menyelesaikan sengketa lahan dengan para investor diperkirakan akan menghasilkan USD 3,3 milyar pada akhir 2013. Sebagai tambahan, konstitusi baru mengamanatkan pembentukan komisi anti korupsi nasional.

V.                  V.  Manajemen Sektor Publik, Kelembagaan dan Reformasi

Untuk mengubah sektor publik di Mesir dengan mentransformasikannya dari penyedia lapangan kerja skala besar pasca sosialisme dengan kehadirannya di hampir semua bagian ekonomi menuju pengaturan yang modern, efisien dan berorientasi pada layanan merupakan salah satu tantangan yang paling penting dan sulit yang harus dihadapi oleh pemerintah. Mesir memiliki PNS dalam jumlah besar yang tidak efisien dan bergaji rendah yang berada di bawah tekanan politik. Dalam jangka panjang, ukuran administrasi publik akan dikendalikan dengan menggantikan hanya yang pensiun. Meskipun demikian, pemerintah pasca revolusi tetap menggunakan sektor publik sebagai alat untuk menangani tekanan sosial dan tuntutan penciptaan lapangan kerja, termasuk peningkatan upah minimum, dan membuat upaya reformasi di masa mendatang semakin sulit. Sektor publik Mesir mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, dengan tambahan sekitar 0,5 juta pekerja tidak tetap.

Mesir memiliki BUMN paling banyak, diatas rata-rata negara berkembang. Banyak diantara BUMN ini yang kelebihan staf dan kekurangan peralatan, memerlukan investasi dan pengurangan staf jika ingin lebih kompetitif. Sebagai tambahan, militer Mesir memegang sejumlah besar saham di BUMN, namun tidak banyak yang tahu mengenai produktivitas perusahaan ini. Privatisasi, yang dapat mengubah perusahaan-perusahaan ini, terhambat oleh warisan kasus-kasus korupsi proyek-proyek privatisasi masa lalu (era Mubarak). Konstitusi baru secara eksplisit menyatakan akan sulit untuk menjual aset negara.
Desentralisasi dapat membantu penanganan sektor publik menjadi lebih efisien. Strategi nasional untuk desentralisasi, diluncurkan pada Juli 2009, didasarkan pada kepastian hak dari masyarakat setempat untuk memutuskan kebutuhan dan prioritas mereka. Kementerian keuangan mengembangkan rencana desentralisasi, namun saat ini masyarakat setempat tidak memiliki otoritas untuk mendapatkan pendapatan atau menciptakan sumber pendapatan untuk mereka sendiri.

Dalam menjalankan konstitusi baru, Mesir telah melakukan langkah pertama dalam proses yang melelahkan untuk mengubah rerangka kerja kelembagaan politik, sosial dan ekonomi. Di masa mendatang, sangat diperlukan tindakan pemerintah untuk bekerja berdasar kemitraan dengan masyarakat madani yang diberdayakan, dan aktor-aktor individu untuk membangun lembaga yang lebih akuntabel yang menyediakan layanan umum mendasar dan penegakan hukum. 
(Sumber: AfDB dan sumber-sumber lain)