Diplomasi budaya; sejumlah pakar
bersepakat bahwa diplomasi budaya merupakan bagian dari soft power yang menurut Profesor
Joseph Nye adalah the ability to persuade through culture, values and ideas, as
opposed to 'hard power', which conquers or coerces through military might. Peran soft power dalam
bentuk diplomasi budaya sangat signifikan dalam hubungan antar bangsa dewasa
ini, sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa diplomasi budaya tidaklah
berada di bawah diplomasi politik atau diplomasi ekonomi, karena kesemuanya
merupakan komponen yang saling melengkapi dan bersifat intrinsik.
Menurut
Richard T. Arndt, diplomasi budaya sangat hemat jika dibandingkan dengan hasil
dan dampaknya terhadap hubungan bilateral antar negara. Dalam surveynya, Arndt
menyatakan bahwa diplomasi budaya membantu menciptakan dasar-dasar saling
percaya antar manusia, yang pada ujungnya dapat digunakan oleh para pembuat
kebijakan untuk mencapai persetujuan di bidang perdagangan, ekonomi dan
militer. Diplomasi budaya mendorong manusia dan warga suatu bangsa untuk
menghilangkan kecurigaan atas suatu kebijakan, karena memerlukan adanya
kolaborasi dengan asumsi adanya kepentingan
yang sama. Diplomasi budaya juga menjadi
pijakan agenda yang bernilai positif untuk pengembangan kerja sama meskipun
mungkin terdapat perbedaan politik, sekaligus menjadi wahana yang lentur dan
diterima secara universal untuk mendekati negara-negara yang hubungan
diplomatiknya tegang atau malahan tidak memiliki hubungan diplomatik sama
sekali.
Berbeda
dengan pendekatan perdagangan yang mengedepankan pengenalan produk dengan
target peningkatan ekspor yang jika berhasil akan langsung terlihat dalam
neraca perdagangan tahun berikutnya, diplomasi budaya memerlukan waktu dan
ketekunan, karena tidak langsung terlihat hasilnya secara instan. Untuk meretas
jalan budaya agar merasuk dalam sebuah komunitas, diperlukan upaya secara
berkelanjutan dan berkesinambungan agar citra dan brand
dari sebuah budaya dapat melekat dalam
ingatan komunitas target tersebut. Dalam jangka pendek, sebuah kegiatan
diplomasi budaya kepada publik setempat yang menjadi target diproyeksikan dalam
bentuk pesan-pesan kunci secara konsisten dan kontinyu dengan memberikan
gambaran yang realistik dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara dalam jangka
panjang, kegiatan diplomasi budaya yang dapat berlangsung selama beberapa tahun
atau bahkan dasawarsa dengan individu-individu, lembaga atau komunitas budaya
dan masyarakat madani setempat, lembaga-lembaga publik dan otoritas lokal
bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
Hubungan
Bilateral Indonesia dan Mesir
Dalam
perkembangan hubungan antar bangsa, hubungan antara Mesir dan Indonesia
termasuk dalam kelompok “dewasa”, yaitu hubungan yang telah berlangsung sebelum
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dari sisi hubungan antar masyarakat,
keberadaan Ruwaq Jawi di lingkungan
kampus Al Azhar pada abad ke-19 mencerminkan keterkaitan hubungan antar manusia
yang direkatkan oleh kesamaan agama. Dari sisi hubungan antar pemerintah, Mesir
dan Indonesia telah memiliki Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dan Mesir
yang ditandatangani pada 16 Juni 1947, yang merupakan salah satu perjanjian
pertama yang ditandatangan oleh Pemerintah Indonesia yang berusia muda saat
itu. Mesir juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, pada
22 Maret 1946.
Hubungan
antara Mesir dan Indonesia dapat dikatakan mencapai puncaknya saat Nasser di
Mesir dan Sukarno di Indonesia menjadi pemegang pucuk pemerintahan di masing-masing
negara. Kedua pemimpin negara ini menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika
yang memiliki tujuan utama dekolonisasi dan pembebasan negara-negara di Asia
dan Afrika dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Pada 10 Maret 1955,
Perjanjian Kebudayaan antara Indonesia dan Mesir ditandatangani. Perjanjian ini
menjadi payung hukum perjanjian di bidang kebudayaan, yang masih berlaku hingga
saat ini.
Dalam
beberapa dasawarsa berikutnya, hubungan yang sudah “dewasa” ini dalam beberapa
segi mengalami stagnasi. Beberapa penyebab umum adalah karena arah perubahan
titik berat politik luar negeri Mesir dan Indonesia secara kontemporer.
Politik luar negeri Indonesia
kontemporer lebih memperhatikan kedekatan geografis, jadi tidak mengherankan
jika dalam satu dasawarsa terakhir, ASEAN dan Asia menjadi garis depan titik
perhatian para pengambil keputusan politik di Indonesia. Secara politis,
hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika dapat
dikatakan bersifat normatif dan dalam beberapa segi menunjukkan peningkatan
secara bertahap terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan, yang dalam
pemerintahan saat ini menjadi titik berat hubungan. Di sisi berseberangan, perhatian
Mesir lebih tersedot ke dalam untuk mengatasi masalah politik dan ekonomi dalam
negeri seraya memperkuat diplomasinya yang difokuskan ke wilayah Arab yang
memiliki persamaan kultural dan Afrika yang dekat karena letak geografis dan
memiliki persinggungan kepentingan.
Saat ini hubungan
Indonesia dan Mesir lebih banyak didominasi oleh hubungan ekonomi, suatu
keniscayaan yang tak terhindarkan dalam praktik hubungan antar bangsa dewasa
ini. Namun, hubungan ini memerlukan penyeimbang, pembangkit ingatan, pembuka
jalan agar dapat berkesinambungan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Tentu
saja salah satu pintu masuk termudah adalah melalui budaya, melalui penanaman
ingatan kolektif bagi generasi muda Mesir. Sayangnya, garis dasar dan fokus
politik luar negeri yang bersimpang jalan antara Indonesia dan Mesir membuat
penanaman ingatan kolektif berkelanjutan bagi kedua bangsa menjadi tersendat
bahkan terjauhkan.
Dalam situasi
sedemikian, ingatan kolektif bangsa Mesir terhadap Indonesia tentu dapat dengan
mudah ditebak: terhenti pada masa keemasan ketika Sukarno dan Nasser berkuasa.
Hingga saat ini, setiap kali kata Indonesia diucapkan, kalimat balasan yang
muncul di ujung lidah bangsa Mesir adalah “Indonesia is Sukarno”.
Ingatan kolektif bangsa Mesir seakan terhenti dan terbungkus di lorong waktu 60
tahun yang lalu, tanpa ada jejak kekinian. Sebagian besar generasi muda Mesir
tidak memiliki ingatan kolektif kontemporer dan terkini yang langsung dapat
ditautkan dengan kata “Indonesia.
Tentunya kita akan
merindu dan mengiri dengan diplomasi budaya bangsa lain yang begitu merasuk di
Mesir. Korea dengan K-dramanya merajalela di saluran-saluran televisi dengan
alih bahasa Arab, di setiap mal dan lokasi pertemuan yang strategis dan hip,
selalu ditemukan restoran lokal yang menyajikan ramen dan sushi dari Jepang,
bahkan drama-drama Bollywood yang pemutarannya di saluran-saluran televisi
Indonesia mengundang kontroversi, baliho promosinya terpampang megah dalam
ukuran raksasa di tepi-tepi jalan utama di kota Cairo. Lalu dimana Indonesia?
Membangkitkan Ingatan
Kolektif tentang Indonesia di Mesir
Upaya-upaya
berkelanjutan untuk membangkitkan ingatan kolektif bangsa Mesir agar terus
menerus dapat mengingat eksistensi dan keberadaan saudaranya melalui soft
power diplomacy merupakan sebuah keniscayaan
yang harus terus menerus dijalankan secara berkesinambungan. Dalam sebuah tulisan,
Maurice Halbwachs, seorang sosiolog dan filsuf berargumentasi bahwa semua
ingatan individu dibentuk di dalam struktur sosial dan kelembagaan. Menurutnya,
ingatan pribadi individu hanya dapat dimengerti melalui konteks kelompok;
kelompok ini termasuk keluarga, organisasi dan negara-bangsa. Dengan
berbasis pada pendapat Halbwachs, maka interaksi dan persentuhan antara
individu-individu sasaran yang tergabung dalam suatu komunitas lokal di Mesir
dengan para pelaku diplomasi budaya yang mengusung budaya Indonesia harus terus
menerus secara berkelanjutan agar ingatan kolektif mengenai Indonesia di Mesir
dapat terus terbentuk dan tidak perlahan menghilang.
Memori yang menyenangkan dalam pengenalan budaya sebuah bangsa
selayaknya harus mulai dikembangkan semenjak masa sekolah. Dengan harapan bahwa
memori tersebut diingat sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan. Dalam
jangka panjang ingatan tersebut terekam sebagai sebuah memori jangka panjang
yang rekamannya dapat dimunculkan
kembali dalam ingatan saat dewasa. Beberapa kegiatan pengenalan budaya
melalui permainan tradisional, bermain musik tradisional secara interaktif,
pertunjukan film dokumenter maupun film berlatar belakang budaya, pertunjukan
seni budaya dan tampilan audio visual secara reguler merupakan cara-cara yang
dipandang cukup efektif untuk menanamkan memori jangka panjang kepada target
yang masih berusia muda.
Pemberian bea siswa budaya maupun bea siswa bergelar juga
merupakan salah satu instrumen penting dalam pengenalan dan penanaman memori
Indonesia di Mesir. Memori ini bahkan dapat berjangka panjang karena interaksi
berbulan atau dalam bilangan tahun di Indonesia akan sangat membekas bagi para
penerima beasiswa. Interaksi dan komunikasi, pengalaman yang berdasarkan panca
indera, akan membuat para penerima beasiswa menjadi agen promosi Indonesia
kontemporer sekembalinya mereka ke Mesir. Umumnya mereka akan terus menjalin
hubungan berkelanjutan dengan Indonesia, dan menjadi “teman Indonesia”. Tanpa
diminta, mereka akan terus bernostalgia dan menceritakan tentang Indonesia
kepada kerabat dan kelompoknya di Mesir.
Pada pokoknya, upaya untuk menggali kembali ingatan kolektif
tentang Indonesia di benak warga Mesir dapat dijalankan dengan memperhatikan
kecenderungan yang saat ini tengah berkembang, terutama di kalangan generasi
mudanya. Menyasar generasi muda Mesir sesungguhnya menjadi tema pokok untuk
mengembangkan “keberpihakan” Mesir kepada Indonesia secara kontemporer, yang
tidak terjebak lagi dengan nostalgia masa lalu, namun tanpa melupakan masa lalu
tersebut. Sebut saja kegairahan generasi muda Mesir terhadap olah raga. Mesir
merupakan negara yang penduduknya cukup gemar berolahraga. Seni bela diri silat
Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk menarik perhatian generasi muda Mesir
guna mencari common ground tentang Indonesia di Mesir. Silat menjadi
populer di Mesir sejak diperkenalkan beberapa tahun lalu melalui Pusat
Kebudayaan dan Informasi Indonesia di Cairo. Bahkan dalam invitasi pencak silat
dunia di Bali beberapa bulan lalu, Mesir mengirimkan dua atlet silatnya untuk
berlaga, atas nama Federasi Pencak Silat Mesir.
Tentu
saja jenis-jenis dan upaya-upaya untuk membangkitkan kembali ingatan kolektif
ini bervariasi dan beragam, tergantung dari kreativitas setiap pihak yang
mengemas dan melemparnya kepada warga Mesir. Yang tak kalah pentingnya juga
adalah sinergi dari berbagai pihak di Indonesia dan Mesir agar hubungan yang
sudah tergolong dewasa ini menjadi “bergizi dan berisi”, tidak lagi berputar
pada masa lalu, namun menjadi hubungan yang terbarui, dengan berbagai aspek
kontemporer kekinian, yang tidak hanya diminati dan menjadi ranah eksklusif di
tingkat pemerintah atau pebisnis, namun juga menjadi bagian dari warga biasa.
Upaya yang tak berhenti hanya dalam satu atau dua kali putaran, upaya yang
terus menerus dan berkesinambungan untuk menanamkan ingatan kolektif tentang
Indonesia di Mesir. Upaya ini harus terus dijalankan agar dalam dekade-dekade
mendatang ketika kepemimpinan berganti di kedua negara, Indonesia bukan lagi
memori masa lalu yang harus digali dengan susah payah dalam benak bangsa Mesir,
namun merupakan kosa kata sehari-hari yang dengan mudah diucapkan, semudah
ketika bangsa Mesir melafalkan judul-judul film Bolllywood atau sinetron dari
Turki yang gencar memasuki saluran televisi di rumah-rumah bangsa Mesir. Semoga….
No comments:
Post a Comment