Konsep
Paradiplomacy
Konsep diplomasi secara tradisional
yang merupakan ranah milik pemerintah pusat saat ini mengalami pergeseran,
dengan masuknya berbagai aktor baru yang juga memainkan peran diplomasi. Saat
ini, sudah merupakan hal yang jamak bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja
yang memiliki peran dalam hubungan antar negara, namun dalam beberapa segi,
pemerintah daerah dari berbagai negara juga berperan dalam hubungan
internasional.
Diplomasi dengan aktor pemerintah
daerah disebut sebagai paradiplomacy. Penyebutan paradiplomacy ini
menunjuk pada suatu konsep kapasitas kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh
entitas sub-negara, yang dijalankan di arena internasional untuk tujuan
tertentu. [i] Dalam menjalankan
diplomasi, aktor sub-nasional ini dapat mendirikan perwakilan dan memiliki
kontak formal maupun informal, permanen maupun ad hoc, dengan entitas
pemerintah maupun swasta asing, dengan tujuan memajukan kepentingan sosial
ekonomi atau politik maupun dimensi kepentingan lainnya, yang sesuai dengan
amanat konstitusional atau kompetensi yang dimilikinya.[ii] Dengan demikian, secara
singkat dapat dikatakan bahwa aktivitas atau lapisan paradiplomacy meliputi
tiga bidang yaitu politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.
Motivasi terkuat yang melatarbelakangi
munculnya keinginan daerah untuk melakukan kegiatan diplomasi adalah faktor
ekonomi. Tujuan daerah untuk melakukan paradiplomacy dalam hal ini
adalah untuk menarik investasi asing, menarik perusahaan multinasional ke
wilayahnya, dan menargetkan pasar ekspor baru. Fungsinya tertuju semata untuk
berkompetisi di tingkat global, sehingga tidak memiliki faktor politik sama
sekali.
Lapisan kedua melibatkan kerja sama
(budaya, pendidikan, teknik, dan lain sebagainya). Dalam hal ini, paradiplomacy
lebih luas cakupannya dan lebih multidimensi, karena tidak hanya berfokus pada
perolehan ekonomi. Sementara lapisan ketiga melibatkan segi politik, dimana paradiplomacy
lebih mengetengahkan identitas yang berbeda dari identitas yang dimunculkan
oleh pemerintah pusat. Beberapa wilayah di Eropa seperti Flanders, Catalonia
dan Basque serta Quebec di Kanada memunculkan paradiplomacy ini. Dalam
hal ini, daerah berupaya membentuk serangkaian hubungan internasional yang akan
menegaskan kekhususan (distinctiveness) budaya, otonomi politik dan
karakter bangsa atau sub-nasional masyarakat yang mereka wakili.[iii] Namun, patut dicatat
bahwa seluruh kegiatan paradiplomacy memiliki komponen ekonomi, dengan
penambahan elemen-elemen lain seperti kerja sama maupun menjurus ke politik.
Letak geografis yang berbatasan juga
merupakan sarana pencetus munculnya paradiplomacy. Regionalisme lintas
batas sering didasarkan pada logika untuk memanfaatkan sumber daya alam secara
ekonomis atau kesamaan budaya yang dipisahkan oleh batas buatan. Hal ini
misalnya diterapkan dalam ASEAN melalui pembentukan IMT-GT atau Sijori.
Sementara kerja sama antar daerah yang tidak berbatasan didasarkan pada
kepentingan bersama yang sifatnya fungsional dan mengambil manfaat dari sumber
daya yang dapat digunakan secara bersama.
Untuk menjamin suksesnya paradiplomacy,
diperlukan pemahaman mengenai kekuatan yang akan melengkapi kemitraan antar
daerah ini dan bagaimana hal ini dapat tercapai. Kerja sama dalam bidang
lingkungan hidup, pengembangan infrastruktur, dan pertukaran budaya merupakan
jenis kerja sama yang paling mudah untuk dilakukan dalam kerangka paradiplomacy.
Sementara kerja sama dalam hal menarik FDI dipandang lebih sulit. Jika paradiplomacy
difokuskan pada pengembangan ekonomi, khususnya untuk menarik FDI, maka
diperlukan strategi tertentu seperti menargetkan jenis investasi tertentu untuk
melengkapi perekonomian daerah yang telah ada atau untuk mengembangkan kluster
ekonomi khusus. Daerah juga harus mempelajari insentif yang akan dikemas
seperti insentif keuangan, pajak, lokasi dan dukungan infrastruktur. Untuk
kerja sama di bidang UKM yang memerlukan bantuan untuk pasar dan promosi
ekspor, daerah yang akan bersinergi dalam kerja sama internasional ini perlu
memetakan komplementaritas dan sinergi untuk meningkatkan daya saing pasar.
Menurut Profesor Michael Keating dari
Universitas Aberdeen, Skotlandia, daerah yang akan bekerja sama perlu
menekankan kejelasan, siapa yang akan memerlukan dan mendapatkan keuntungan
dari kerja sama antar daerah ini. Kerja sama yang dipandang paling mungkin
sukses adalah kerja sama yang ditujukan untuk pengembangan UKM dan
dititikberatkan pada masalah spesifik. Yang tak kalah pentingnya, daerah yang
akan melakukan kerja sama memiliki tingkat pembangunan yang sama, atau paling
tidak memiliki kebutuhan yang dapat saling melengkapi, memiliki keahlian dan
sumber daya.[iv]
Prasyarat kedua untuk suksesnya kerja
sama antar daerah adalah prasyarat kelembagaan, yaitu adanya unsur dari pemerintah daerah yang bertindak
sebagai interlocutor (penghubung dan penengah) yang akan menjembatani
dan mengumpulkan berbagai kepentingan yang ada di wilayah tersebut. Ketiga,
daerah yang akan bekerja sama memiliki struktur, kewenangan dan kekuatan yang
serupa. Prasyarat ketiga ini diperlukan agar tidak terjadi ketimpangan,
misalnya salah satu daerah memiliki kewenangan legislatif, administratif dan
keuangan yang tinggi sementara daerah yang akan diajak bekerja sama hanya
memiliki status kota tanpa kewenangan tinggi.[v]
Pengejawantahan Paradiplomacy
di Indonesia
Dalam UU no. 32/2004 mengenai
Pemerintahan Daerah, terdapat kewenangan daerah otonom untuk melakukan sebagian
kerja sama luar negeri. Hal ini tercantum dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD
mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana
kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula
dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga
dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan,
kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU ini menjadi landasan
hukum pelaksanaan paradiplomacy oleh pemerintah daerah di Indonesia,
selain tentunya UU no.24/2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam praktiknya, umumnya bentuk kerja
sama antar daerah antara Indonesia dengan negara lain adalah sister
city/province.[vi]
Kerja sama ini umumnya dibentuk dengan dasar pemikiran untuk meningkatkan
saling pemahaman atas potensi yang dapat dikerjasamakan antara dua provinsi
atau kota yang ada di Indonesia dengan mitranya di negara lai. Kerja sama yang
dibentuk umumnya berada di ranah ekonomi dan sosial budaya. Hal ini juga dapat
diartikan bahwa dengan sistem desentralisasi yang dianut dalam pengaturan
administrasi pemerintahan dalam negeri di Indonesia, pemerintah daerah mulai
berpikiran outward looking,
mencari potensi kerja sama dengan wilayah lain yang mampu melengkapi dan
mendorong pembangunan daerahnya secara komprehensif, inklusif dan kompetitif
dan berlandaskan semangat untuk memberi kemanfaatan bagi kedua belah
pihak.
Namun demikian, dari sekian banyak
kerja sama sister province/city yang ditandatangani oleh pemerintah
daerah di Indonesia dengan mitra-mitranya dari negara lain, masih sering
dijumpai ketidakefektifan kerja sama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
karena proses “matchmaking” yang dilalui tidak melalui analisis
mendalam; kurangnya pemfokusan kerja sama; kebutaan terhadap kebutuhan,
potensi, persamaan dan komplementaritas sektor-sektor yang akan dikerjasamakan
serta keunggulan masing-masing daerah yang akan dijadikan sister
province/city. Terkadang pula terjadi pembuatan MoU yang sifatnya
tergesa-gesa karena mengejar rencana kunjungan tingkat tinggi, sehingga
analisis kebutuhan, keunggulan, kelemahan dan komplementaritas terlewatkan.
Akibatnya, pasca penandatanganan MoU, kerja sama yang terlihat rosy di
atas kertas tidak terwujud atau tidak efektif, hingga masa berlaku MoU
berakhir.
Di lain pihak, jika kita sekilas, maka
kegiatan paradiplomacy pemerintah daerah di Indonesia yang berhasil
umumnya adalah dengan pemerintah provinsi/kota di negara maju, dimana pihak
Indonesia menerima manfaat lebih dalam hal kerja sama teknik, ekonomi,
pertukaran budaya, akademis, dan pariwisata. Contohnya adalah kerja sama sister
province antara DIY dengan Kyoto Prefecture Jepang, yang dimulai tahun
1985, dan diperbarui kembali melalui Reaffirmation of The Sister Agreement
Between Yogyakarta Special Region, Republic of Indonesia, and Kyoto Perfecture,
pada 20 Oktober 2010.[vii]
Mengingat bahwa filosofi kerja sama
dalam Sister Province/City umumnya adalah goodwill, semangat
untuk saling mengenal, mempromosikan potensi dan saling menguntungkan, maka
diperlukan upaya-upaya untuk mengefektifkan setiap potensi kerja sama, sektor
yang akan dikerjasamakan, keunggulan dan komplementaritas yang dapat ditawarkan
oleh setiap daerah yang akan dijadikan target kerja sama Sister
Province/City.
Usulan
Pemerintah pusat c.q. Kementerian
Dalam Negeri kiranya dapat memetakan potensi dan sektor unggulan setiap daerah
kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia, dalam bentuk database. Hal
ini akan sangat membantu jika perwakilan RI menerima usulan dari mitra setempat
maupun berinisiatif untuk menjajaki kerja sama sister province/city. Pemetaan
secara rinci akan menghindarkan besarnya probabilitas ketidakefektifan kerja
sama, “meraba-raba” provinsi atau kota/kabupaten mana yang dipandang pas untuk
dijadikan kota/provinsi kembar, dan menghindari perjanjian yang “tidur” setelah
ditandatangani karena mismatching baik dalam hal pemilihan sektor maupun
pemilihan daerah yang dikerjasamakan.
Perlunya updating secara
berkala daerah mana saja di Indonesia yang memiliki hubungan dengan wilayah
lain di luar negeri dan status terakhir perjanjian yang dimiliki. Hal ini untuk
menghindarkan penumpukan adanya daerah tertentu yang memiliki banyak perjanjian
sister province/city, sementara
terdapat kota/kabupaten atau provinsi lain yang belum pernah memiliki
perjanjian serupa. Tujuan akhirnya adalah agar semua wilayah di Indonesia
memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan dan mendapatkan kesempatan
untuk berhubungan dengan mitra-mitranya di negara lain yang akan memberikan
kemanfaatan kemajuan pembangunan di daerahnya.
Perlunya kemudahan untuk mengakses
hasil pemetaan dan updating tersebut pada butir (14) dan (15) bagi
perwakilan RI di seluruh dunia. Jika memang diperlukan, kiranya juga ada one
desk service di salah satu instansi terkait yang menangani paradiplomacy
ini, yang berguna untuk mendapatkan informasi terbaru atau untuk menanyakan
hal-hal terkait dengan sister province/city, status terakhir, tata cara
pengajuan perjanjian, dan hal-hal terkait lainnya.
Penutup
Kebijakan luar negeri, pertahanan
negara, kebijakan moneter dan fiskal secara tradisional merupakan ranah
kekuasaan pemerintah pusat. Namun demikian, dengan perkembangan hubungan
internasional saat ini yang telah melibatkan non-state actors,
keterlibatan pemerintah daerah dalam arena internasional akan memperkaya
khasanah hubungan antar bangsa. Partisipasi daerah dalam kegiatan paradiplomacy
akan melengkapi dan memberikan kemanfaatan dalam pembangunan negara secara
komprehensif.
Pemerintah pusat tetap merupakan
pemegang kebijakan tertinggi dalam kebijakan luar negeri, terlepas dari
seberapa besar otonomi yang dimiliki daerah. Pemerintah pusat tetap harus
mengarahkan partisipasi daerah di arena internasional, setidak-tidaknya untuk
memastikan koherensi dengan kebijakan luar negeri.
[i] Stefan Wolff, Paradiplomacy:
Scope, Opportunities and Challenges, www.stefanwolff.com/files/Paradiplomacy.pdf.
[ii] Noé Cornago, Exploring
the Global Dimensions of Paradiplomacy Functional and Normative Dynamics in the
Global Spreading of Subnational Involvement in International Affairs,
October 2000, http://www.forumfed.org/en/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-int-cornago.pdf
[iii] André Lecours,
Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World,
Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.
[iv] Michael Keating, Paradiplomacy
and Regional Networking, www.forumfed.org/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-eu-keating.pdf
[v] Keating, idem.
[vi] Kerja sama khusus
berupa pemberian bantuan kemanusiaan pernah dilakukan oleh Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau untuk para pengungsi Somalia pada tahun 2011.
[vii] Takdir Ali Mukti, Laporan Penelitian tentang kerjasama luar
negeri yg dilakukan oleh Pemda DIY antara 2003-2012, hal 18-27, komunikasi melalui surat elektronik tanggal 19
Maret 2014.
No comments:
Post a Comment