Friday, November 4, 2011

Perkembangan Politik, Keamanan, dan Ekonomi Somalia


Perkembangan Politik, Keamanan dan Ekonomi Somalia

Somalia terletak di Afrika bagian timur berbatasan dengan Djibouti, Kenya dan Ethiopia serta Teluk Aden dan Samudra Hindia. Luas wilayahnya adalah 637.657 km2. Negara ini memperoleh kemerdekaan tanggal 1 Juli 1960 dari hasil penggabungan bekas protektorat Inggris, British Somaliland dan koloni Itali, Somaliland. Presiden pertamanya adalah Aden Abdullah Osman Daar.

Pada tahun 1969, Muhammad Siad Barre menjadi presiden ketiga Somalia setelah menggulingkan Abdi Rashid Ali Shermarke dalam sebuah kudeta berdarah dan menyebabkan terbunuhnya Shermake. Dalam masa  pemerintahannya, Siad Barre mendeklarasikan Somalia sebagai sebuah negara sosialis dan berhasil meraih simpati dari Uni Soviet. Tahun 1977, angkatan bersenjata Somalia berupaya menguasai wilayah Ogaden di Ethiopia yang banyak didiami orang Somalia namun berhasil dipukul mundur oleh Ehiopia yang didukung oleh Kuba dan Uni Soviet.

Tahun 1981, oposisi terhadap Siad Barre menguat setelah dikeluarkannya keputusan untuk mengecualikan anggota klan Mijertyn and Isaaq dari posisi-posisi di pemerintahan dan mengisinya dengan orang-orang dari klannya sendiri yaitu klan Marehan. Gabungan milisi-milisi dari berbagai klan berhasil menjatuhkan pemerintahan Siad Barre pada tahun 1991. Namun kekuatan gabungan ini gagal menyatukan suara untuk membentuk pemerintahan sehingga terjadilah perebutan kekuasaan antar berbagai klan. Pada masa ini, warlords yang paling berpengaruh dalam perebutan kekuasaan dan menihilkan pemerintahan pusat yang efektif adalah Mohamed Farah Aideed dan Ali Mahdi Mohamed. Tahun 1991, Somaliland bekas protektorat Inggris menyatakan kemerdekaannya, namun tidak mendapatkan pengakuan dan dukungan dari dunia internasional. Pada tahun 1998, wilayah Puntland kemudian menyusul menyatakan otonomi (non kemerdekaan) dan menyerukan perlunya pemerintahan federasi Somalia.

Pada bulan Agustus 2004, dalam upaya ke-14 untuk membentuk pemerintah pusat, parlemen transisi bertemu di Kenya dan sepakat untuk mengangkat Adullahi Yusuf sebagai presiden. Parlemen transisi tidak pernah melakukan pertemuan setelah persidangan di Kenya tersebut hingga tahun 2006 karena kesulitan menentukan dimana lokasi parlemen seharusnya berada. Bulan Juni-Juli 2006, kelompok milisia yang setia kepada Union of Islamic Courts mengambil alih Mogadishu dan bagian selatan Somalia setelah mengalahkan para warlords. UIC merupakan gabungan 11 kelompok berbasis Islam yang didukung Eritrea dan memiliki jargon pembentukan pemerintahan dan hukum syariat di Somalia dan “Pan Somalia”. Kemudian pada bulan September 2006, pemerintah transisional melakukan pembicaraan damai dengan Union of Islamic Courts di Khartoum, Sudan. Pemerintah akhirnya berhasil mengambil alih Mogadishu dari tangan Union of Islamic Courts pada bulan Desember 2006 dengan bantuan tentara Ethiopia. Namun kelompok pemberontak bersenjata melawan balik dan pada tahun 2008 secara efektif berhasil menguasai wilayah selatan Somalia.

Bulan Februari 2007, Dewan Keamanan PBB menyetujui penggelaran pasukan perdamaian dari Uni Afrika (African Union Mission in Somalia/AMISOM) untuk jangka waktu enam bulan. Pasukan tersebut diterjunkan di Mogadishu pada bulan Maret ditengah-tengah sengitnya pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pemberontak bersenjata. Al Shabab, diantara kelompok pemberontak bersenjata lainnya merupakan kelompok yang paling berhasil menginternasionalisasikan konflik Somalia. Ditengarai bahwa kelompok ini mendapatkan pasokan senjata dan orang-orangnya dari negara tetangga Eritrea.

Saat ini secara de jure Somalia berada di bawah kendali Federal Transitional Government  (FTG) yang terdiri atas unsur kelompok-kelompok oposisi di Mogadishu, pembagian kekuasaan dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah (AWSJ) dan daerah otonomi Puntland. Secara efektif, FTG hanya menguasai 6 distrik di Mogadishu, setelah pada Januari 2009 pemberontak Al-Shabab berhasil menguasai kota Baidoa yang merupakan wilayah pertahanan terkuat FTG. Pada bulan Februari 2009, FTG mengangkat Sheikh Sharif Sheikh Ahmed sebagai presiden.

Situasi keamanan di Somalia tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Secara de facto, Somalia merupakan failed state karena pemerintah (FTG) hanya menguasai tidak sampai 25% dari seluruh wilayah Somalia dan tidak dapat melaksanakan fungsi utamanya kepada sebagian besar rakyatnya. Berdasarkan pengertian dari British Department for International Development, fungsi-fungsi utama yang tidak dapat dilaksanakan sehingga sebuah negara masuk kategori failed state adalah ketiadaan kendali atas wilayah teritorialnya, keamanan dan rasa aman, kemampuan untuk mengelola sumber-sumber daya umum, pelayanan kebutuhan mendasar, serta kemampuan untuk melindungi dan mendukung rakyat yang paling miskin agar dapat menghidupi dirinya. 

Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Somalia secara keseluruhan adalah 9,12 juta (2008). Bahasa resminya adalah Somali, disamping itu terdapat bahasa Arab, Italia dan Inggris yang digunakan sehari-hari. Secara tradisional, penduduk Somalia terbagi atas beragam klan. Klan-klan utama antara lain Darood, Dir, Hawiye, Isaaq, dan Rahanweyn.

Rakyat Somalia dihadapkan pada ketiadaan pemerintahan pusat yang efektif, perang yang berkepanjangan, dan harus menghadapi serangkaian bencana baik yang diakibatkan oleh perang, maupun kondisi alam. Somalia seringkali menghadapi musim kering yang berkepanjangan sehingga banyak rakyatnya yang mengalami bencana kelaparan. Somalia juga terimbas bencana tsunami yang menghantam pantai dan pulau Hafun tahun 2004. Bencana tersebut mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggalnya.

Perang yang berkepanjangan juga telah mengakibatkan jutaan penduduk harus kehilangan rumah tinggalnya karena mengungsi baik di wilayah lain di Somalia maupun ke negara-negara tetangga. Menurut laporan PBB, sekitar 50% dari jumlah keseluruhan penduduk Somalia akan membutuhkan bantuan hingga tahun 2010. Perang telah mengakibatkan adanya Internally Displaced People (IDP) yang diperkirakan mencapai 1,55 juta (Januari 2010), antara lain tersebar di Puntland 104.000 orang), Somaliland 67.000 orang), dan bagian tengah/selatan Somalia (1,38 juta orang). Negara-negara sekitar yang menjadi pelarian pengungsi dari Somalia antara lain Kenya, Tanzania, Uganda dan Ethiopia. Bahkan ada diantara para pengungsi tersebut yang nekat menyeberangi teluk Aden dari bagian utara Somalia menuju Yaman. Menurut catatan UNHCR (Januari 2010), sekitar 162.700 penduduk Somalia mengungsi di Yaman, 4.800 orang di Eritrea, 10.600 orang di Djibouti, 59.000 orang di Ethiopia, 309.100 di Kenya, 11.700 di Uganda dan 2.900 di Tanzania.

Kondisi keamanan yang buruk terutama di wilayah selatan tengah Somalia, seperti ancaman terhadap staf NGO kemanusiaan tersebut, persepsi dan penerimaan yang bermusuhan dan penuh prasangka buruk terhadap staf serta permintaan “registration fee” dari kelompok bersenjata telah membuat organisasi yang berhubungan dengan pengungsi seperti UNHCR kesulitan untuk membantu kebutuhan mereka. Hingga saat ini, masalah-masalah sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh Somalia selain kelaparan adalah masalah kesehatan yang berhubungan dengan jumlah pengungsi dan IDP yang besar, penebangan hutan, overgrazing (jumlah hewan ternak yang tidak sebanding dengan jumlah padang rumput), erosi tanah dan penggurunan.

Masalah lain yang tak kalah peliknya adalah penyebaran ranjau darat di Somalia yang telah memakan korban ribuan jiwa sebagai dampak konflik yang berkepanjangan. Pada saat terjadinya perang dengan Ethiopia pada tahun 1977, ribuan ranjau darat ditanam di perbatasan dengan Ethiopia sepanjang 1.600 km. Diperkirakan sekitar 70% dari keseluruhan jumlah ranjau yang ditanam di Somalia berada di sepanjang perbatasan ini. Ribuan ranjau juga ditanam di wilayah Puntland pada saat terjadinya konflik antara pemberontak bersenjata dengan tentara rezim Siad Barre. Sementara wilayah tengah dan selatan Somalia yang merupakan tempat berkecamuknya konflik saat ini juga menjadi tempat ditanamnya ribuan ranjau darat.

Ranjau darat digunakan sebagai bentuk terror dan digunakan untuk target sipil maupun militer di Somalia. Ranjau digunakan di tanah-tanah pertanian, di seputaran bangunan umum, jalan, reservoir air, dan sebagainya. Akibat persebaran ranjau ini, pertanian dan peternakan yang merupakan tulang punggung perekonomian Somalia tidak dapat berkembang. Padang rumput-padang rumput dan tempat-tempat minum ternak dipasangi ranjau darat sehingga banyak hewan ternak yang terkena ranjau. Ranjau juga dipasang di tanah-tanah pertanian di sekitar lembah Juba tengah dan bawah, demikian juga halnya dengan akses jalan yang digunakan oleh para petani untuk menuju pasar banyak dipasangi ranjau. Karena ketiadaan keamanan yang memadai di Somalia, hingga saat ini tidak ada tindakan untuk membersihkan ranjau-ranjau tersebut.

Perompakan di Laut

Situasi keamanan di darat yang terus memburuk dan ketiadaan payung hukum yang jelas mengakibatkan vakumnya hukum (lawless) yang berdampak pada situasi keamanan di perairan Somalia. Kondisi yang tidak kondusif ini kemudian dimanfaatkan oleh para nelayan asing untuk mengeksploitasi ikan di perairan Somalia secara besar-besaran. Nelayan lokal Somalia yang sebagian besar adalah nelayan tradisional merasa kalah bersaing. Hal ini kemudian memicu resistensi para nelayan lokal Somalia terhadap keberadaan kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi dengan bebas di perairan Somalia karena ketiadaan hukum dan para aparat penegak hukum untuk menindaknya, dan muncul dalam bentuk perompakan laut. Namun pada perkembangannya, motif ini bergeser menjadi upaya untuk mendapatkan uang tebusan dalam jumlah besar. Situasi ini kemudian juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok orang yang disinyalir berasal dari Puntland untuk melakukan perompakan-perompakan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi wilayah Teluk Aden dan khususnya perairan Somalia.

Dari beberapa sumber disebutkan bahwa dengan tidak adanya kontrol terhadap keamanan di wilayah perairan Somalia, beberapa pihak yang disebut sebagai “mafia internasional” memasok perlengkapan persenjataan canggih dan menggunakan orang-orang dari Somaliland dan Puntland untuk melakukan perompakan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi wilayah Somalia. “Mafia internasional” inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai tokoh di belakang layar dari perompakan-perompakan yang terjadi di perairan Somalia. Menurut International Maritime Bureau, sepanjang tahun 2009 telah terjadi 214 kali penyerangan terhadap kapal-kapal yang berlayar di wilayah Somalia dimana 47 diantaranya mengalami pembajakan. Berita terbaru menyatakan bahwa pada sekitar pertengahan Januari 2010, sekelompok pembajak Somalia membebaskan tanker pengangkut minyak berbendera Yunani beserta 28 awak kapalnya setelah menerima tebusan sebesar US$ 5,5 juta. Kapal tersebut telah disandera sejak November 2009 saat melintasi perairan Somalia.

Dalam kasus perompakan kapal ini, beberapa ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing sempat menjadi sandera. Tercatat pembajakan kapal dari berbagai negara yang didalamnya terdapat ABK dari Indonesia di perairan Somalia dan sekitarnya. Nama-nama kapal tersebut adalah Hsin Lien Fa No. 36 (dimiliki WN Taiwan, berawak 14 WNI), Dong Won 628 (dimiliki WN Korsel, berawak 9 WNI), Mavuno 2 (dimiliki WN Korsel , berawak 4 WNI), Asmak I (dimiliki WN Oman, berawak 4 WNI), Masindra 7 (dimiliki WN Malaysia, berawak 11 WNI), Longchamp (dimiliki WN Jerman, berawak 1 WNI), Alakrana (dimiliki WN Spanyol, berawak 6 WNI), Kota Wajar (dimiliki WN Singapura, berawak 8 WNI), MT Pramoni (dimiliki WN Norwegia, berawak 17 WNI, dibebaskan 26 Februari 2010) dan MV Sinar Kudus (dimiliki PT. Samudera Indonesia, berawak 20 WNI).

Modus operandi pembajakan dan perompakan ini telah berkembang menjadi bisnis yang sangat menguntungkan di Somalia. Di Haradhere, salah satu kota yang menjadi pusat para perompak di Somalia, para pembajak telah membentuk semacam pasar modal untuk mendanai operasi mereka. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam bentuk uang, senjata, tenaga di laut maupun darat, atau barang-barang lainnya yang berguna dalam mendukung operasi pembajakan ini. Hasil dari sebuah operasi pembajakan akan dibagikan ke seluruh pemegang saham/pemberi modal sesuai dengan porsinya.

Dalam mengatasi masalah pembajakan ini, pada tanggal 26-29 Januari 2009 di Djibouti IMO (International Maritime Organization) yang bernaung di bawah PBB, menyelenggarakan Sub-regional Meeting to Conclude Agreements on Maritime Security, Piracy and Armed Robbery against Ships for States from the Western Indian Ocean, Gulf of Aden and Red Sea areas. Pertemuan ini dihadiri oleh negara-negara pantai di kawasan timur Afrika yaitu Comoros, Djibouti, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Yordania, Kenya, Madagaskar, Maldives, Mauritius, Mozambique, Oman, Saudi Arabia, Seychelles, Somalia, Afrika Selatan, Sudan, Uni Emirat Arab, Tanzania, dan Yaman. Pertemuan tersebut mengakui dampak dari masalah pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal di perairan dimaksud dan para pihak penandatangan menyatakan keinginannya untuk bekerjasama guna menekan pembajakan dan perompakan bersenjata terhadap kapal-kapal. Implementasi dari Djibouti Code of Conduct ini ditujukan untuk peningkatan komunikasi diantara negara-negara peserta dan penguatan kemampuan negara-negara di wilayah tersebut guna mencegah, menahan, dan mengadili para pembajak; meningkatkan kepedulian situasi maritim di wilayah tersebut; serta meningkatkan kemampuan para coast guard setempat di perairan dimaksud. Disamping itu, IMO juga meminta dukungan tambahan dari negara-negara yang dapat menyediakan kapal-kapal perang dan pesawat terbang patroli maritim untuk wilayah Teluk Aden dan Samudra Hindia bagian barat serta menitikberatkan perhatian untuk mengikutsertakan Maritime Rescue Coordination Centres di Mombasa dan Dar es Salaam yang baru saja dibuka untuk berperan serta dalam pemberantasan perompakan di laut. Untuk jangka panjang, IMO akan mempromosikan perlunya tindakan internasional untuk menstabilkan situasi di Somalia melalui DK PBB, UNPOS, UNDP, Contact Group on Piracy off Somalia dan lain-lain.

Dampak perompakan dan pembajakan di laut bagi wilayah Afrika bagian timur adalah tingginya biaya hidup dan semakin banyak warga yang kesulitan mendapatkan bahan pokok sehari-hari. Perompakan menyebabnya terhambatnya pasokan barang kebutuhan ke wilayah ini, dan juga menyebabkan tingginya premi asuransi untuk menutup resiko pengiriman barang melalui wilayah rawan ini.

Peran Serta Masyarakat, Organisasi Regional dan  Internasional

PBB melalui serangkaian badan-badan khususnya seperti WFP, UNDP dan UNHCR hadir di Somalia untuk memberikan bantuan dan dukungan. UNDP misalnya melakukan serangkaian program pelatihan polisi dan program pengurangan kekerasan bersenjata. Sementara WFP dan UNHCR bahu membahu menangani masalah kelaparan yang mengancam para pengungsi dan IDP di tengah-tengah situasi keamanan yang tidak kondusif serta penerimaan yang penuh prasangka buruk dan adanya “fee registration” bagi setiap badan PBB yang akan hadir di Somalia.

Selain badan-badan tersebut, PBB juga hadir melalu UNPOS (United Nations Political Office for Somalia) untuk melakukan capacity building bagi pemerintah, UNSOA (United Nations Support Office for AMISOM) yang bertugas memberikan pelatihan, pembangunan kapasitas dan bantuan-bantuan bagi tentara penjaga perdamaian dari Uni Afrika di Somalia (AMISOM) dan UNMAS (United Nations Mine Action Service) untuk menangani masalah ranjau darat.

Dengan dukungan PBB, Uni Afrika kemudian menggelar pasukan perdamaian untuk Somalia (African Union Mission in Somalia/AMISOM) untuk menggantikan pasukan Ethiopia. Namun dari sekitar 8.000 pasukan AMISOM yang direncanakan, baru digelar 5.200 personel yang sebagian besar berasal dari Uganda dan Burundi. Mengingat keterbatasan sumber daya keuangan dan lain-lainnya, maka hingga kini pasukan AMISOM dinilai belum efektif untuk mendukung terciptanya perdamaian di Somalia. Dalam Resolusi 1910 tanggal 28 Januari 2010, DK PBB memperpanjang otorisasi AMISOM selama 1 tahun hingga tanggal 31 Januari 2011, karena DK memandang Somalia masih membutuhkan keberadaan pasukan perdamaian tersebut. Resolusi juga meminta agar AMISOM meningkatkan kekuatannya hingga 8.000 pasukan sebagaimana direncanakan dan meminta agar AMISOM melanjutkan upaya untuk membantu TFG dalam mengembangkan kepolisian dan security force Somalia. Selain itu, DK meminta negara-negara anggota dan organisasi regional guna memberikan kontribusi terhadap United Nations Trust Fund for AMISOM atau memberikan sumbangan bilateral guna mendukung AMISOM.

Meskipun TFG meminta agar PBB segera menggelar United Nations Peace Keeping Operation (UN-PKO), namun PBB belum memenuhinya hingga Somalia memenuhi persyaratan yang ditetapkan  yaitu pembentukan sebuah persatuan nasional Somalia yang secara inklusif melibatkan pihak-pihak yang ada di luar proses Djibouti, pembentukan operasi Joint Security Force di Mogadishu, implementasi gencatan senjata, pencabutan checkpoint yang illegal dan kontribusi tentara dan kapasitas militer yang memadai dari negara anggota PBB. Menurut PBB, penggelaran UN-PKO sekarang ini memiliki resiko tinggi karena para pihak yang menentang proses perdamaian di Somalia akan memandang misi PBB tersebut sebagai musuh baru, sehingga misi akan menjadi sasaran serangan. Untuk itu Sekjen PBB kemudian menetapkan tiga fase incremental approach di Somalia, yaitu: (i) Memperkuat AMISOM sambil membangun lembaga keamanan Somalia; (ii) Apabila situasi keamanan di Somalia telah cukup kondusif maka PBB akan memperluas keterlibatannya di Somalia namun dengan pendekatan “light footprint” selama 3-4 bulan, (iii) Setelah tahapan (ii) berakhir, maka DK akan mengkaji kembali peranan PBB di Somalia dan memutuskan perlu tidaknya PKO menggantikan AMISOM.

Terkait dengan upaya pemberantasan perompakan di laut, Uni Eropa memperpanjang Atalanta Operation untuk memberantas pembajakan di Samudera Hindia pada tanggal 17 November 2009. Resolusi PBB 1897 tanggal 30 November 2009 memberikan mandat perpanjangan 12 bulan kepada negara-negara dan organisasi regional guna bekerjasama dengan FTG untuk memberantas bajak laut dan perampokan bersenjata.

Pemerintah Somalia (FTG) telah mengidentifikasi beberapa area kunci yang dapat digarap dalam kerjasama internasional. Beberapa bidang kunci tersebut antara lain penciptaan lapangan pekerjaan, layanan-layanan sosial, tugas-tugas transisional, dan rehabilitasi infrastruktur. Di sektor pertanian, WFP telah melakukan pembagian 150 ton bibit wijen, rehabilitasi saluran irigasi, dan pembagian sayur-sayuran. Arab Saudi juga telah melakukan pencabutan terhadap pelarangan ekspor ternak dari Somalia yang mendapatkan sambutan hangat dari pemerintah Somalia.

Sumber daya alam Somalia sebenarnya sangat mencukupi untuk pembangunan negaranya, jika di masa mendatang konflik bersenjata ini berakhir. Perut bumi Somalia mengandung uranium, bijih besi, timah, gypsum, bauksit, tembaga, garam, gas alam dan cadangan minyak bumi yang cukup besar. Di masa depan diperkirakan Somalia dapat menjadi negara pengekspor minyak bumi dari wilayah sub-Sahara Afrika disamping Ethiopia dan Angola.

Namun demikian, di bidang sosial, perlu adanya perhatian bagi para korban ranjau darat, pelatihan fasilitator, pemetaan lokasi-lokasi persebaran ranjau di wilayah selatan dan tengah Somalia, dan pembersihan ranjau-ranjau di seluruh Somalia. Pada saat UNOSOM beroperasi, telah dilakukan pembersihan 32.511 ranjau dan 72.000 UXO (Unexploded Ordinance) di selatan yang dilakukan oleh kontraktor yang disewa oleh UNOSOM dan oleh Rimfire International yang disewa oleh UNHCR dan MSF di wilayah barat laut. Pada saat itu, UNOSOM juga berhasil membersihkan 438 km jalan, 127 km2 wilayah peternakan dan menghancurkan 2.223 ranjau anti personel, 5.300 ranjau anti tank dan 20.150 UXO. UNOSOM berhenti bertugas di Somalia tanggal 31 Maret 1995, dan sejak saat itu operasi pembersihan ranjau berhenti total.

Hal lain di bidang sosial yang tak kalah pentingnya adalah rencana jangka menengah dan panjang untuk melakukan repatriasi, integrasi dan pelatihan-pelatihan bagi para IDP dan pengungsi yang tersebar di Somalia dan negara-negara sekitarnya jika situasi dalam negeri Somalia telah cukup kondusif bagi kembalinya para pengungsi tersebut. Dalam hal ini, peranan berbagai organisasi internasional baik inter-governmental maupun non-governmental sangat diperlukan.

Bantuan para donor internasional dalam hal pengelolaan anggaran negara seperti yang tercermin dalam laporan terbaru Sekjen PBB nomor S./2009/684 yang menyatakan bahwa 80% dari anggaran negara sebesar US$ 110,4 juta (2010) bergantung kepada bantuan eksternal. Masalah keamanan dan rasa aman saat ini merupakan hal yang paling penting di Somalia, tercermin dari pembagian anggaran negaranya, dimana 50% digunakan untuk pembayaran gaji national security forces. Sifat anggaran negara seperti ini tentulah tidak sehat kurang berimbang, namun saat ini memang diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Akan tetapi, bantuan internasional akan tetap diperlukan baik berupa kontribusi dana, pelatihan basic services, pemberian bantuan dan pelatihan di bidang pertanian dan peternakan, maupun pelatihan dan pengembangan capacity building bagi semua elemen terkait di Somalia.

Rangkuman

Ditinjau dari sisi politik pemerintahan, Somalia merupakan negara yang saat ini masuk kategori failed state. Dalam hal ini pemerintah pusat (FTG) tidak sepenuhnya menguasai wilayah negaranya dan tidak dapat menyediakan kebutuhan dasar maupun perlindungan bagi warganya. Hanya 6 distrik di ibukota Mogadishu yang berada di bawah kendali pemerintah. Sementara di luar distrik tersebut, kendali berada di tangan para pemberontak bersenjata, atau di tangan pemerintah lokal yang menyatakan kemerdekaan secara sepihak (Somaliland) maupun otonomi tinggi (Puntland) yang berada di luar kendali FTG. Bahkan terdapat kelompok bersenjata (Al-Shaabab) yang menginternasionalisasi konflik dengan menyatakan afiliasinya dengan jaringan teroris Al-Qaeda.

Dari sisi anggaran, Somalia juga bergantung hampir sepenuhnya kepada bantuan dari donor internasional. Tanpa bantuan tersebut, dapat dipastikan bahwa negara beserta elemen-elemen pemerintah tidak akan berfungsi. Ketidakefektifan penggunaan anggaran tercermin dari pembagian anggaran, dimana 50%-nya digunakan untuk menggaji aparat keamanan. Dalam suatu sidang parlemen bahkan beberapa anggota parlemen menolak bersidang karena gaji mereka belum dibayarkan berbulan-bulan. Sementara di sisi eksekutif timbul keretakan antara Presiden dengan PM menyangkut rencana reshuffle kabinet yang belum terselesaikan.

Dari sisi sosial ekonomi, perang sipil yang berkepanjangan telah membuat rakyat Somalia menderita. Sekitar 50% dari jumlah seluruh penduduk Somalia akan bergantung sepenuhnya kepada bantuan dari luar negeri hingga akhir 2010. Sekitar 1,55 juta penduduk menjadi Internally Displaced People sementara jutaan lainnya mengungsi ke beberapa negara sekitar untuk menghindari konflik berkepanjangan yang terjadi sejak tahun 1991 tersebut. Penderitaan ini masih diperparah dengan adanya penyebaran ranjau di seluruh negeri sebagai bentuk teror tanpa memandang sasaran. Akibatnya, banyak tanah pertanian, peternakan dan jaringan infrastruktur jalan yang riskan untuk dilalui karena menjadi padang ranjau. Para pengungsi tersebut juga harus menghadapi masalah kelaparan, kesehatan, penyakit menular bahkan persekusi berdasarkan gender (di wilayah tengah dan selatan Somalia yang dikuasai kelompok bersenjata).

Ketiadaan payung hukum yang jelas juga berimbas ke laut. Somalia dipandang sebagai sarang bajak laut yang mengincar kapal-kapal berbendera asing yang melintasi Teluk Aden atau Samudera Hindia. Bahkan dalam beberapa peristiwa perompakan, para bajak laut melakukan aksi perompakannya hingga sejauh 1.000 nautical mil jauhnya. Akibat dari maraknya aksi perompakan ini adalah kesulitan pasokan kebutuhan hidup sehari-hari ke wilayah Afrika Timur yang berujung pada meroketnya harga berbagai barang dan tingginya premi asuransi untuk setiap pelayaran yang melintasi wilayah tersebut. Masalah ini juga menjadi masalah lintas batas negara karena para perompak meminta tebusan yang sangat besar bagi kapal-kapal dan para ABK yang mereka sandera. Beberapa negara secara individu maupun melalui organisasi regional telah menyikapi masalah ini dengan mengirimkan armada kapal perangnya ke seputar Teluk Aden dan Samudra Hindia guna memerangi para perompak.

Masyarakat internasional telah memberikan segenap perhatian kepada masalah Somalia ini. Dari sisi kemanusiaan dan pemberdayaan dan peningkatan pembangunan kapasitas, beberapa organisasi yang bernaung di bawah PBB maupun beberapa NGO internasional telah hadir. Namun beragam hambatan seperti penerimaan yang bermusuhan terhadap lembaga-lembaga dimaksud, situasi keamanan yang tidak kondusif serta adanya ‘registration fee’ dalam jumlah besar menjadi penghalang utama beroperasinya mereka di Somalia.

Di sektor sosial ekonomi, Somalia akan membutuhkan bantuan guna merepatriasi, rehabilitasi para IDP dan pengungsi, pembersihan padang ranjau di beberapa bagian negeri, rehabilitasi dan integrasi korban ranjau, pengembangan pembangunan kapasitas di sektor pertanian dan peternakan sebagai tulang punggung perekonomian negara dan rencana pengembangan sumber daya alam lainnya (pertambangan) untuk meningkatkan pendapatan negara.

Di sektor politik dan keamanan, Somalia akan membutuhkan pelatihan bagi polisi dan angkatan bersenjatanya sehingga pada saatnya di saat terjadi penarikan para penjaga perdamaian dari negara-negara lain, Somalia mampu berdiri sendiri. Selain itu, sebagaimana beberapa kasus di negara lainnya, FTG harus memikirkan kemungkinan pengintegrasian bekas-bekas kelompok bersenjata ke dalam angkatan bersenjata atau kepolisian Somalia maupun cara terbaik untuk memerangi kelompok yang berafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Untuk masalah disintegrasi, di masa mendatang dapat dipikirkan kemungkinan perundingan dengan Somaliland yang dapat ditengahi oleh negara tertentu atau oleh Uni Afrika. Disamping itu, sesuai dengan himbauan dari PBB, Ethiopia dan Eritrea yang ditengarai memiliki kepentingan terselubung di Somalia hendaknya tidak lagi melakukan campur tangan di Somalia.

Dalam jangka pendek, keamanan dan rasa aman merupakan hal paling krusial yang harus mampu dihadirkan oleh FTG di Somalia. Dukungan pasukan penjaga perdamaian dari Uni Afrika (AMISOM), walaupun terbatas diharapkan mampu mewujudkan hal tersebut. Setelah prasyarat mendasar ini terpenuhi, maka masyarakat dan donor internasional barulah akan dapat bergerak sepenuhnya sesuai kapasitas yang dimiliki untuk membantu Somalia. 

Tuesday, October 25, 2011

Belajar

Judul post saya hari ini mungkin berbeda dari yang sebelumnya. Saya memilih judul ini karena ada banyak hal yang terkandung dari kata "belajar". Belajar itu kalau menurut KBBI daring: berubah tingkah laku atau tanggapan yg disebabkan oleh pengalaman. Nah, belajar berarti menurut saya, berhadapan dengan pengalaman, dan dari pengalaman yang kita peroleh itu, kita akan mendapatkan pemahaman atas sesuatu dan bisa jadi akan mengubah persepsi kita atas sesuatu itu. 


Contoh lucu: keponakan saya yang baru berusia 2 tahun. Semula ia beranggapan kucing kecil dengan bulu-bulu halus itu harmless. Tapi setelah digigit si "kitty" di kakinya , (ya, keponakan saya yang salah, kucing kok ditarik ekornya kenceng banget) akhirnya dia belajar bahwa kucing tidak hanya lucu. Kucing kecil yang mirip bola bulu itu juga berbahaya, bisa menggigit at least. Nah, itu berarti seorang anak kecil umur 2 tahun juga belajar, berubah tanggapannya karena pengalaman. 


Kata beberapa filosof dan pujangga (don't ask me their names, please) belajar merupakan guru, belajar itu seumur hidup. Benarkah itu? Buat saya ada benarnya juga. Belajar formal memang dilakukan semasa kita sekolah, dari TK sampai perguruan tinggi. Kita juga belajar dari peer group tentang berbagai hal dari yang maha penting seperti reformasi PBB :) sampai contekan lagu....Bayangkan berapa ribu informasi yang kita serap? Dari yang penting sampai yang tidak penting banget....Lalu kita mengolah semua serapan itu, membuang yang kira-kira tidak penting, membentuk persepsi atas kejadian itu, dan menciptakan tingkah laku atau tanggapan yang sesuai dengan persepsi yang kita olah. Bagi saya, itu proses belajar..


Lalu, apa ya kaitannya dengan kehidupan yang tengah saya jalani sekarang? Hmm...secara formal sih, saya belajar bagaimana bersikap, bertingkah laku yang "proper" menurut aturan di organisasi dimana saya bekerja. Terkadang prosesnya cukup bikin gondok, karena melibatkan proses pengendalian diri (jadi inget penataran P4)  , yang artinya saya harus bisa menahan emosi walaupun situasinya sudah "membakar" dan siap meledak. Saya juga belajar mencintai suatu isu atau masalah yang sebelumnya sangat tidak saya sukai. Saya akui: isu ekonomi merupakan isu yang paling saya benci saat sekolah dan kuliah. Namun, saat masuk dunia kerja, saya selalu dan harus berhadapan dengan ekonomi, mulai dari marketing, statistik, sampai pembuatan analisis ekonomi. Mau tidak mau, saya harus belajar, mempersepsikan semua data yang terhampar, mengolahnya, dan membuat laporan atau analisis yang diperlukan. Dan...akhirnya, sedikit demi sedikit saya menyukai deretan angka yang mewakili kehidupan kita itu (iya, buat saya, ekonomi mewakili siapa kita, di negara mana kita tinggal, berapa tingkat kesejahteraan kita, de el el)..and I'm quite fascinating by it. 


Itu di kantor....Di rumah pun saya belajar: managing pemasukan yang tak seberapa dan pengeluaran yang luar biasa, bersosialisasi (secukupnya) dengan tetangga..ya paling tidak kenal tetangga sebelah kanan rumah dan pak RT, dan beramah tamah dengan satpam supaya rumah yang saya tinggal dari pagi sampai malam atau terkadang hingga beberapa hari itu aman dan jauh dari incaran mata jahat. Semua itu penting buat saya, supaya hidup di seputaran rumah menjadi selesa...

Monday, October 24, 2011


Pentingnya Uni Afrika Bagi Indonesia

I.     Pendahuluan
Afrika adalah sebuah benua yang memiliki bentang politik, sosial dan ekonomi yang beraneka dan saling berkelindan (saling terkait dan berjalin). Tak jarang peristiwa politik di suatu negara di benua tersebut terkait dengan politik yang dijalankan oleh pemerintah negara lain. Konflik yang terjadi di suatu negara juga sering berhubungan dengan dukungan dari negara-negara lain terhadap salah satu faksi atau pihak yang bertikai di negara tersebut.
Kerumitan yang menghadang Afrika ini bukan tanpa dasar. Sejatinya Afrika telah memiliki peradaban Aksum di Ethiopia, Ghana, Mali, dan Zimbabwe di sub Sahara  yang berkembang hampir 1000 tahun yang lalu, sementara Mesir dan Kartago merupakan peradaban besar yang dikenal dunia sejak berabad sebelum masehi. Namun penjajahan Eropa telah mengubah bentang politik Afrika sejak dimulainya kolonisasi Eropa hingga saat ini. Kolonisasi membuat Afrika terpecah ke dalam negara-negara yang dibentuk para kaum kolonial Eropa tanpa mempertimbangkan hubungan dan garis tradisional kesukuan atau kerajaan. Politik klasik kolonialisme devide et impera juga berujung pada seringnya terjadi konflik di berbagai negara di benua ini. Tak jarang setelah merdeka dari para penjajahnya, para elite politik saling bertempur untuk berebut kekuasaan sebagaimana yang dulu dapat disaksikan di Zaire (DRC), Angola, atau Mozambique. Afrika juga menjadi laboratorium dua kubu adidaya selama masa perang dingin. Ethiopia misalnya yang mendapatkan bantuan dari Uni Soviet dan Kuba saat menghadapi serbuan dari Somalia pada tahun 1977 atau Angola yang menjadi kelinci percobaan Amerika Serikat yang dibantu oleh pemerintah apartheid Afrika Selatan dan Zaire untuk menyokong UNITA  dan Uni Soviet yang mendukung MPLA dan mendapat suplai pasukan dan senjata dari Kuba dan RRT.
Mo Ibrahim Foundations[i] membandingkan peringkat kepemerintahan negara-negara Afrika berdasarkan partisipasi (politik dan demokrasi) dan hak asasi manusia, keamanan dan aturan hukum, pembangunan manusia, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.[ii] Negara-negara yang mendapatkan penilaian positif dari Mo Index adalah negara yang relatif maju secara ekonomi dan stabil secara politis seperti Mauritius (82,83), Seychelles (77,13), Botswana(73,59), Afrika Selatan (69,44), Namibia (68,81) dan Sao Tome and Principe (60,23), sementara negara-negara yang masih terlibat dalam konflik, masih labil secara politis dan terbelakang secara ekonomi mendapatkan skor rendah, contohnya Eritrea (36,96), Republik Afrika Tengah (35,00), DRC (33,25), Sudan (33,45), Zimbabwe (31,29), Chad (29,86) dan Somalia (15,24).
Menurut Brookings Institution, terdapat 4 hal yang membebani Afrika untuk maju yaitu jumlah penduduk yang besar, keberagaman penduduk yang terlalu berbeda, kekayaan sumber daya alam yang besar,  dan ukuran geografis yang luas.[iii] Keempat hal ini sepertinya merupakan resep menuju kekacauan bagi negara-negara Afrika. Jika terdapat sebuah negara yang memenuhi tiga atau keempat aspek ini maka umumnya negara tersebut mendapatkan peringkat buruk dalam hal kepemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang masuk kategori ini antara lain adalah Democratic Republic of Congo, Republic of Congo, Ethiopia, Nigeria, Chad, Angola, Kamerun dan Sudan. Tentu saja terdapat beberapa pengecualian seperti Afrika Selatan yang besar secara geografis dengan kekayaan alam yang beraneka namun memiliki kepemerintahan yang baik, dan di sisi sebaliknya terdapat Somalia yang kecil jika diukur dari empat hal tersebut namun menunjukkan nilai paling rendah dalam hal kepemerintahan.
Contoh nyata adalah Sudan dan DRC. Sudan adalah negara terluas di Afrika dengan bentang wilayah 2,5 juta km2 dan memiliki perbatasan dengan 8 negara lain. Meskipun jumlah penduduknya tidak besar, namun negara ini memiliki kerumitan dalam hubungan Utara-Selatan-Muslim-Kristen, terbagi atas lebih dari 100 suku yang berbeda-beda dan diberkahi sumber daya alam yang berlimpah, terutama minyak bumi. Demikian juga halnya dengan DRC dengan luas 2,3 juta km2 yang merupakan negara ketiga terluas di Afrika dan berbatasan dengan 9 negara dan memiliki sumber daya alam yang beraneka antara lain emas, intan dan cobalt yang menjadi sumber sengketa. Uniknya, sumber daya alam ini tidak menjadi pemicu bagi pemerintah untuk mempergunakannya bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya (GDP Sudan per kapita adalah US$ 2.376 sementara DRC adalah US$ 333,8 pada tahun 2009)[iv] namun justru membuat kinerja kepemerintahan menjadi lemah, tidak efektif dan menafikan kesejahteraan penduduknya. Bahkan dalam pandangan ekstrim, sumber daya alam merupakan “kutukan” bagi negara-negara yang memilikinya. Betapa tidak, konflik yang terjadi di beberapa negara Afrika berkepanjangan karena setiap pihak yang bertikai mendapatkan bahan bakar dari sumber daya alam yang berlimpah tersebut untuk membiayai konflik. Contoh nyata dalam hal ini adalah pihak-pihak bertikai di Angola yaitu MPLA (faksi milik Presiden Jose Eduardo Dos Santos yang sekarang berkuasa) dan UNITA (faksi pemberontak pimpinan Jonas Savimbi) yang dimasa perang saudara (1975-2003) masing-masing dapat membeli suplai senjata karena MPLA menguasai cadangan minyak bumi dan UNITA menguasai tambang intan. 
Carut marut problem kepemerintahan yang berimbas dan saling terkait dengan aspek-aspek politik, sosial dan ekonomi inilah yang merupakan hal krusial dan inti yang harus dihadapi dan menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan pengkajian dan pemecahan bagi Uni Afrika. Dalam kerangka berpikir inilah, tulisan ini mencoba untuk mengupas peran seperti apa yang dapat dimainkan oleh Uni Afrika dalam mengatasi problem yang dihadapi oleh sebagian besar anggotanya, bagaimana prospek Satu Afrika yang menjadi tujuan akhir Uni Afrika, dan manfaat apa yang dapat diambil oleh Indonesia sebagai negara peninjau dalam Uni Afrika.

II.   Peran Organisasi Uni Afrika
Lahirnya Uni Afrika didasari oleh keinginan negara-negara Afrika yang memandang perlunya sebuah organisasi yang dapat berperan lebih besar untuk menangani berbagai masalah yang dihadapi oleh Afrika. Pada tahun 2002, Organisation of African Unity bertransformasi menjadi African Union (Uni Afrika). Transformasi ini sekaligus mengubah prinsip dasar organisasi dari kedaulatan negara dan tidak campur tangan (non-interference) menjadi keinginan untuk melindungi keamanan benua.[v]Prinsip tidak campur tangan yang dianut oleh OAU menjadi sasaran kritik pedas dari berbagai negara maupun organisasi lain karena ketidakmampuannya untuk mengurai dan menangani krisis yang terjadi sepanjang tahun 1990an di Rwanda, Burundi, DRC, Sierra Leone, maupun Somalia. Ketidakefektifan OAU telah memicu sejumlah pemimpin Afrika untuk membentuk sebuah lembaga yang mengacu pada Uni Eropa sebagai model untuk berkumpul di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2002 dan mendeklarasikan pendirian Uni Afrika. Sebanyak 53 negara bergabung dalam organisasi tersebut (minus Maroko karena persoalan pengakuan Republik Demokratik Arab Sahrawi oleh AU) dengan markas besar di Addis Ababa, Ethiopia.
A.   Kemampuan Penanganan Konflik dan Penegakan Prinsip Dasar
Tujuan utama AU adalah meningkatkan pembangunan, memberantas kemiskinan, memerangi korupsi dan mengakhiri berbagai konflik di Afrika. Tujuan ini dalam realitasnya memang terasa berat bagi sebuah organisasi baru yang telah sarat dengan berbagai beban dari negara-negara anggotanya, kekurangan dana, dan kekurangan sumber daya yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, AU telah menunjukkan kapabilitasnya terutama dalam hal pemeliharaan perdamaian, meskipun terbilang masih jauh dari kata optimal. Hal ini tercermin dalam upaya AU untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Darfur, Sudan melalui penggelaran pasukan “hibrida” dengan PBB melalui UNAMID (United Nations-African Union Mission in Darfur) yang bertugas sebagai penghubung dengan UNMIS (United Nations Mission in Sudan) guna memastikan implementasi Comprehensive Peace Agreement dengan semua pemangku kepentingan dan melengkapi mandat UNMIS.[vi] Uni Afrika juga berperan dalam pemeliharaan perdamaian di Somalia melalui AMISOM (African Union Mission in Somalia) yang mandatnya dimulai sejak Februari 2007.
Peran ini merupakan sebuah loncatan besar karena AU merupakan satu-satunya organisasi yang secara eksplisit mengakui hak untuk melakukan intervensi ke dalam negara anggotanya atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia.[vii] Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa “negara-negara berdaulat memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari bencana yang tak terhindarkan—dari pembunuhan masal dan pemerkosaan, dari kelaparan—namun jika mereka tidak bersedia atau tidak dapat melakukannya, maka tanggung jawab tersebut harus dipikul oleh komunitas negara-negara yang lebih luas”.[viii]  Hal ini tercermin dalam pasal 4 ayat (h) Konstitusi AU yang intinya menyatakan bahwa AU memiliki hak untuk melakukan intervensi ke negara anggotanya berdasarkan keputusan Sidang Umum dalam hal terjadinya situasi yang mendesak yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[ix] Organ AU yang memiliki wewenang untuk melakukan intervensi adalah Peace and Security Council (PSC) yang dibentuk tahun 2003 dan beranggotakan 15 negara yang dipilih untuk masa jabatan dua dan tiga tahun dengan hak voting yang sama.
Peran AU dalam pemeliharaan perdamaian ini sering diragukan oleh banyak pihak. Misi AMISOM misalnya mengalami kekurangan dana, kekurangan staf, dan kekurangan sumber daya. Di atas kertas, AU akan menyediakan 8.000 personel untuk AMISOM, namun saat ini baru sekitar 5.200 personel yang sebagian besar dari Uganda dan Burundi yang digelar di Somalia sehingga banyak pihak yang menilai bahwa AMISOM dinilai belum efektif untuk mendukung terciptanya situasi kondusif di Somalia. Namun demikian, PBB menghargai peran aktif AU dalam hal ini dan dalam Resolusi 1910 tanggal 28 Januari 2010, DK PBB memutuskan untuk memperpanjang misi AMISOM hingga 1 tahun kedepan dan menghimbau negara-negara anggota agar dapat menyumbang melalui United Nations Trust Fund for AMISOM atau melakukan sumbangan secara bilateral guna mendukung misi AMISOM tersebut.
Selain konflik di dalam negeri negara anggota seperti Somalia, Sudan, Comoros, dan DRC, AU juga berperan sebagai mediator dalam sengketa atau konflik antar negara anggota. Contohnya adalah dalam sengketa perbatasan Ethiopia-Eritrea yang terjadi semenjak kemerdekaan Eritrea dari Ethiopia tahun 1993 dan memicu perang antar kedua negara yang baru berakhir tahun 2000. Namun demikian, proses perdamaian yang dimediasi AU masih menemui jalan buntu karena keberatan Ethiopia atas penemuan komisi internasional yang mengharuskannya untuk menyerahkan wilayah yang dipandang sensitif bagi Ethiopia. AU juga menjadi mediator dalam sengketa antara Eritrea dan Djibouti mengenai sengketa perbatasan.
Beberapa negara anggota yang telah menandatangani pakta pendirian AU yang salah satu tujuannya adalah memajukan prinsip-prinsip dan kelembagaan yang demokratis  dan good governance[x] jelas-jelas telah melanggar prinsip yang ada tersebut sebagaimana yang terjadi di Zimbabwe, Madagaskar dan Niger. Implementasi prinsip-prinsip dalam konstitusi juga tidak merata di negara-negara anggotanya yang menandakan bahwa ambisi bangunan kelembagaan yang diimpikan oleh AU masih merupakan kerangka kerja di atas kertas dan membutuhkan kerja yang sangat keras agar dapat diwujudkan. Dalam bahasa yang digunakan oleh Jennifer Cooke di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, bangunan kelembagaan ini belum mempunyai kedalaman maupun kapasitas.[xi] Selain itu beberapa tindakan dalam AU masih sedikit banyak bergantung pada figur-figur kunci di Afrika atau dalam AU dan dalam beberapa kesempatan persaingan untuk mendapatkan pengaruh dalam organisasi juga menghambat keefektifan lembaga ini.
Pengakhiran berbagai konflik di Afrika yang menjadi salah satu tujuan utama AU memang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang tidak sedikit. Sebagai catatan, sebelum AU berdiri dan memutuskan untuk mengambil peran besar dalam misi perdamaian, PBB telah menjalankan 54 kali misi pemeliharaan perdamaian di Afrika sejak tahun 1948. Sejak 2005, pasukan pemelihara perdamaian PBB di Afrika berjumlah 50.000 dari jumlah keseluruhan 65.000 pasukan pemelihara perdamaian yang digelar PBB di seluruh dunia.[xii]  Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa saat ini norma dan aspirasi baru yang dicoba untuk ditegakkan di Afrika tersebut masih berada dalam tahap awal.
Menurut Prof. Robert Collins, terdapat 3 hal yang menentukan sukses tidaknya misi perdamaian. Ketiga hal tersebut adalah misi yang memiliki tujuan dan rencana yang jelas untuk mencapai perdamaian, ketersediaan sumber dana dan personel yang memadai untuk menunjang misi dan komitmen untuk menjalankan misi dengan sungguh-sungguh.[xiii]  Meskipun fakta di lapangan menunjukkan hal yang berkebalikan dengan pernyataan Prof. Collins, namun AU bertekad untuk membentuk angkatan bersenjata Uni Afrika yang permanen yang disebut sebagai  AU Standby Force sesuai dengan rencana dari PSC. PSC merencanakan untuk memiliki 5-6 brigade yang terdiri atas 3.000-5.000 tentara yang akan bermarkas di seantero Afrika dan mampu merespon setiap gangguan dengan cepat, serta berbicara dalam bahasa yang sama yaitu dalam bahasa Inggris atau Perancis di dalam tingkatan kemiliteran mereka.[xiv] Kendala yang akan terus dihadapi oleh PSC dalam penggelaran pasukan perdamaian Uni Afrika di masa kini dan mendatang nampaknya akan tetap sama: hanya ada beberapa negara Afrika yang mampu mengirimkan pasukan ke negara lain sekaligus menyediakan logistik untuk misi yang berkepanjangan. Contoh negara-negara yang memiliki kemampuan ini adalah Kenya, Uganda, Nigeria dan Afrika Selatan. Dengan situasi seperti ini, maka mau tak mau kesuksesan penggelaran misi perdamaian dalam rangka penegakan prinsip-prinsip dasar AU akan membutuhkan bantuan internasional baik dari segi dana, pelatihan maupun logistik.
B.   Penanganan Masalah Sosial Ekonomi
Di bidang kesehatan, AU telah mengakomodasi the Abuja Declaration on HIV/AIDS, Tuberculosis and other Related Infectious Diseases pada tahun 2001.[xv] Sebagaimana diketahui, HIV/AIDS merupakan salah satu tantangan pembangunan yang harus dihadapi oleh negara-negara Afrika. Melalui deklarasi ini, setidaknya secara politis AU sebagai organisasi regional telah mencoba untuk menghilangkan batasan-batasan politik dan sosial antar negara anggota yang kerap kali menjadi penghambat mobilitas dan aliran sumber daya. Deklarasi juga merupakan pengakuan dari masing-masing pemimpin negara Afrika bahwasanya HIV/AIDS tidak saja merupakan bencana besar di bidang kesehatan namun juga berimbas kepada produktivitas, pembangunan fisik dan sumber daya manusia, serta memiliki pengaruh yang cukup besar bagi stabilitas politik dan pembangunan ekonomi suatu negara. Deklarasi Abuja merupakan wahana bagi AU untuk melakukan sinergi, harmonisasi kebijakan dan koordinasi regional untuk meningkatkan daya tawar negara-negara Afrika. Daya tawar yang kuat akan diperlukan dalam melakukan negosiasi dana, obat, vaksin, dan jenis-jenis produk farmasi lainnya termasuk infrastruktur pelengkap yang diperlukan guna melakukan penanganan dan pengendalian penyakit vis à vis dunia internasional.
Masalah pengungsi dan Internally Displaced Person (IDP) sebagai akibat yang tak terelakkan dari terjadinya konflik juga menjadi titik perhatian utama Uni Afrika. Tahapan-tahapan dalam pencapaian perdamaian mulai dari peacebuilding, peacekeeping hingga peace consolidation menjadi tantangan tersendiri yang harus ditangani dan dipecahkan oleh Uni Afrika. Konflik dalam eskalasi besar seperti yang terjadi di Sudan Selatan dan Somalia maupun dalam bentuk kekerasan sipil maupun perseteruan antar etnis seperti di Guinea, Nigeria (kota Jos), Uganda, dan DRC menyebabkan jutaan orang tercerabut dari akarnya dan dipaksa untuk meninggalkan rumah dan jaringan kemasyarakatannya. Pengungsi dan IDP sangat rawan terhadap pelanggaran HAM karena statusnya. Pengungsi dan IDP juga berpotensi menyebabkan tekanan besar dan gesekan dengan masyarakat di sekitar kamp penampungan mereka yang dapat berpengaruh terhadap situasi politik, keamanan, sosial dan ekonomi di tingkat lokal hingga ke tingkat nasional, bahkan dapat mempengaruhi hubungan antara negara asal dengan negara penampung pengungsi tersebut. Karena dimensi keterkaitan antara pengungsi dan IDP dengan aspek-aspek kehidupan lainnya sangat rumit dan kompleks, maka solusi terhadap permasalahan tersebut haruslah bersifat multidimensi dengan memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan, hak asasi manusia, pembangunan, aspek sosial ekonomi dan keamanan.
Uni Afrika telah mawas diri terhadap fenomena dan imbas yang ditimbulkan oleh pengungsi dan IDP tersebut. The African Union Convention on the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons telah ditandatangani dalam KTT Khusus Uni Afrika di Kampala, Uganda tanggal 22-23 Oktober 2009.[xvi] Konvensi ini merupakan buah pikiran AU sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan IDP, memfasilitasi solusi berkelanjutan terhadap masalah mereka serta berusaha memastikan bahwa IDP tersebut dapat memiliki hidup yang bermartabat dan produktif. [xvii] Konvensi ini merupakan kerangka yang mewadahi pengakuan Uni Afrika bahwa memang terdapat keterhubungan antara pemajuan perdamaian, keamanan dan pembangunan seluruh benua dengan kebutuhan untuk mencermati, menyimak dan menyelidiki penyebab dasar dari munculnya IDP dan (pengungsi) ini. Dalam hal ini, maka konvensi menjadi bagian dari bangun arsitektur Uni Afrika dalam hal keamanan dan pembangunan selain menjadi titik pusat tanggap regional terhadap krisis kemanusiaan dan HAM yang sering menghinggapi benua ini.[xviii]
Penyelesaian komprehensif terhadap masalah IDP dan pengungsi oleh Uni Afrika juga merupakan bagian integral untuk menyelesaikan konflik. Inisiatif regional dari Uni Afrika memang mutlak diperlukan untuk memetakan kompleksitas masalah IDP dan pengungsi ini. Masalah HIV/AIDS serta beragam penyakit menular juga merupakan salah satu muara yang ditimbulkan karena masalah pengungsi dan IDP. Selain pembentukan konvensi-konvensi dalam bidang sosial ekonomi yang bersifat legally binding, penguatan kapasitas kelembagaan negara-negara Afrika guna mengimplementasikan konvensi tersebut di tingkat lokal dan nasional perlu terus dipantau oleh Uni Afrika.

III.    Prospek Satu Afrika (United States of Africa)

Satu Afrika merupakan sebuah ide yang dicetuskan oleh pemimpin Libya, Moammar Khadafi pada saat berlangsungnya KTT AU ke-9 di Acra, Ghana pada awal Juli 2007. Pendukung Satu Afrika berargumen bahwa pada dasarnya Afrika merupakan sebuah plurinasional yang sempat tersendat dan terputus bangunannya saat terjadinya kolonialisme atas Afrika. Dalam istilah Tshiyembe, plurinasional ini adalah sebuah bangsa sosiologis yang didirikan atas dasar karakteristik yang saling berbagi (agama, kaitan darah, bahasa dan sejarah yang sama) dan keinginan untuk hidup bersama yang merupakan awal mula kebangsaan.[xix] Lebih lanjut Satu Afrika juga menyatakan bahwa bingkai teritorial seperti yang dikenal oleh negara bangsa modern (berdasarkan Concert of Wesphalia) lebih sempit dari konsep Afrika tentang wilayah sebagai bingkai tempat hidup karena menyangkut jejaring, bentuk-bentuk pertukaran dan beragam kenangan yang mengikat orang kepada lingkungan dan tempat di sekitar mereka.[xx]  Ditambahkan pula bahwa dalam sebuah wilayah multinasional, setiap warga negara akan memiliki hak untuk memilih dan meninggalkan pemerintah berdasarkan aturan-aturan umum yang dapat diterima. Dengan demikian, akan terdapat dua jenis kewarganegaraan: kewarganegaraan tunggal pada negara federal multinasional, dan kewarganegaraan ganda pada sebuah negara konfederasi multinasional, mirip dengan pendekatan yang digunakan dalam menentukan kewarganegaraan Uni Eropa.[xxi]

Konsep dasar Satu Afrika tersebut dapat dikatakan merupakan satu konsep yang ideal, karena mempertimbangkan aspek-aspek keterikatan tradisional dan sosiologis dari bangunan kemasyarakatan yang hendak dibentuk. Namun demikian, mengingat heterogenitas yang teramat sangat dari Afrika ditambah dengan keengganan secara politis yang sangat kuat dari beberapa negara besar yang telah menikmati perannya sebagai big brother di masing-masing wilayah seperti Nigeria untuk Afrika barat dan Afrika Selatan untuk Afrika bagian selatan, maka Satu Afrika kemungkinan akan sulit diwujudkan dalam jangka 5-10 tahun kedepan. Satu Afrika hanya menarik untuk beberapa negara kecil yang dengan sukarela akan bergabung di bawah perlindungan negara lain yang cukup kuat secara politis dan ekonomis, seperti Togo yang jelas menyatakan mendukung Satu Afrika saat dicetuskan oleh Khadafi. Apalagi ditambah dengan “kebiasaan” beberapa negara untuk turut serta dalam urusan politik dalam negeri negara tetangganya yang memicu atau menjadi bagian dari konflik, seperti yang dilakukan Eritrea kepada Sudan dan Somalia, maka tesis dukungan terhadap Satu Afrika juga melemah. Disamping itu, para pendukung Satu Afrika harus memperhitungkan rivalitas yang tersirat diantara para pemimpin Afrika tentang apa, siapa dan dimana pusat kekuasaan Satu Afrika dibentuk akan sangat mempengaruhi keputusan untuk  merealisasikan sebuah negara multinasional Afrika ini. Ketidakpuasan akan keputusan tersebut akan dapat memicu timbulnya konflik baru yang justru membebani Uni Afrika.


IV.    Manfaat Uni Afrika Bagi Indonesia

Indonesia selayaknya dapat memanfaatkan eksistensi Uni Afrika untuk kepentingan nasional Indonesia. Potensi yang dimiliki secara politis dan ekonomis dari organisasi ini sangatlah besar. Dari sisi politik, Uni Afrika merupakan organisasi yang memiliki prinsip dasar untuk menjunjung demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi dan good governance. ­Semangat ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merangkul Uni Afrika dengan berbagi pengalaman mengenai transformasi dari periode otoritarian semasa Orde Baru menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Peace consolidation yang hendak dilakukan oleh negara-negara Afrika pasca konflik memang akan menghadapi tantangan. Kemiskinan dan ketimpangan sosial terlihat sangat dominan di Afrika. Selain itu, beberapa negara Afrika yang baru saja lepas dari konflik atau yang tengah berkonflik umumnya masih berada pada tahap perekonomian yang belum berkembang. Pertanian umumya masih bersifat subsisten sementara industri masih merupakan infant. Pengungsi atau IDP yang kembali ke negaranya tidak punya banyak pilihan, karena negara juga tidak mampu memberikan pilihan. Banyak negara Afrika pasca konflik belum memiliki prospek rekonstruksi yang cepat ataupun pembangunan ekonomi yang berkelanjutan karena sifat industri yang masih dalam tahap awal tersebut. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa satu dari dua orang Afrika berusia di bawah 14 tahun, sementara di Arika bagian barat, 65% penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Dalam situasi pasca konflik, kelompok umur ini sering terpinggirkan dan rentan untuk direkrut oleh kelompok-kelompok bersenjata untuk menimbulkan kekacauan sipil.[xxii]

Pengidentifikasian akar konflik dan muara konflik yang bersifat multidimensional ditinjau dari sisi ekonomi, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan juga layak mendapatkan dukungan dari Indonesia. Dalam hal ini, sekali lagi, pengalaman luas yang dimiliki oleh Indonesia dalam mengakhiri konflik di NAD, Poso, dan Maluku dapat menjadi bekal berguna untuk berbagi pengalaman dan pemberian capacity building dengan negara-negara anggota Uni Afrika dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang memiliki keterkaitan dengan terjadinya konflik. Pengalaman yang dimiliki Indonesia untuk lebih mengedepankan soft power [xxiii]dalam penyelesaian konflik, condong ke arah rekonsiliasi dan menghindari hard power dapat dibagikan kepada Uni Afrika yang beberapa negara anggotanya cenderung menggunakan hard power untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Indonesia dapat memberikan dukungan untuk terciptanya perdamaian yang abadi, legitimate, dan dapat menjadi dasar pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Uni Afrika memang harus terus melakukan apa yang disebut sebagai “positive peace” yaitu (i) melakukan pemulihan pasca perang seperti pembangunan kembali infrastruktur dan ikatan sosial melalui rekonsiliasi, (ii)menangani penyebab-penyebab konflik seperti ketimpangan, diskriminasi, kemiskinan, dan ketidakamanan struktural, (iii) mengurangi kesempatan-kesempatan yang dapat memunculkan konflik, (iv)menciptakan dukungan dan struktur yang berkesinambungan untuk perdamaian dan pembangunan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan pengembangan ekonomi.[xxiv] Oleh karena itu, dukungan yang diberikan bersifat berkesinambungan, dalam perspektif jangka panjang dan mengaitkan antara aspek keamanan dan pembangunan.

Sebagai sebuah organisasi regional yang besar, Indonesia dapat memanfaatkan Uni Afrika dalam hal pemberian dukungan di fora-fora internasional. Dalam perspektif resiprokal, pemberian dukungan ini akan sangat solid, jika Uni Afrika merasakan benar-benar dukungan yang diberikan oleh Indonesia dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas pembangunan arsitektur regional Afrika yang damai, demokratis dan sesuai prinsip good governance sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Uni Afrika.

Dari sisi ekonomi, Uni Afrika merupakan gabungan hampir 1 milyar penduduk Afrika yang merupakan pangsa pasar potensial untuk produk-produk ekspor Indonesia. Jika jeli membaca peluang, maka hampir seluruh produk consumer goods dapat diserap oleh pasar Afrika, demikian halnya dengan produk pertanian seperti bibit, pupuk, dan mesin pertanian ringan. Pun untuk produk-produk non konvensional seperti persenjataan ringan, penjinak ranjau, hingga kaki dan tangan palsu dapat dijajaki untuk diekspor ke pasar Afrika. Di sektor jasa, Afrika juga merupakan tempat yang memiliki peluang bagus bagi ekspor jasa Indonesia. Tenaga-tenaga terampil Indonesia memiliki peluang besar untuk berkarya di benua tersebut.

Jika dilihat dari kacamata ekonomi-politik serta menengok Konstitusi Uni Afrika, akan jelas terlihat keinginan Uni Afrika untuk mewujudkan setidaknya pasar tunggal Afrika. Hal tersebut terlihat dari adanya organ African Central Bank dan African Investment Bank yang akan menggunakan Special Drawing Rights (SDR) IMF sebagai account unit sampai terbentuknya mata uang tunggal Afrika. Indonesia patut melihat hal ini sebagai peluang guna memasuki pasar Afrika dengan efisien, antara lain akan memudahkan pekerjaan dunia perbankan terkait dengan ekspor-impor.

Dalam rangka keamanan energi, Afrika selayaknya menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Indonesia dapat melirik Afrika sebagai sumber energi minyak untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, pun perusahaan-perusahaan Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Afrika untuk kepentingan Indonesia. BRIC (Brazil, Rusia, India, China) telah jauh bergerak di Afrika untuk melakukan diplomasi energi, memberikan bantuan dengan imbal hasil minyak bumi. Memang harus disadari bahwa kemampuan yang dimiliki Indonesia berbeda dengan RRT atau India. Namun, jika kita jeli melihat celah dan peluang, bukan tak mungkin bahwa Indonesia dapat memanfaatkan keunggulan produk yang dimiliki Indonesia dengan mengetengahkan second track diplomacy sebagai bagian pencapaian kepentingan nasional Indonesia di Afrika.[xxv]  


V.     Penutup   

Uni Afrika merupakan sebuah organisasi regional yang harus menjadi salah satu titik perhatian Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri, karakteristik Uni Afrika yang terdiri atas 53 negara anggota memiliki disparitas tajam dari sisi politis dan ekonomis. Namun terlepas dari masalah tersebut, Uni Afrika selayaknya menjadi salah satu mitra dialog Indonesia, bukan hanya karena jalinan sejarah yang telah berkembang sejak tahun 1955, namun lebih dari itu karena benua Afrika memiliki pesona dan peluang yang harus dapat dimanfaatkan bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia.

Mengingat potensi AU yang besar tersebut dan dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di segala bidang dan tingkatan di Afrika, maka Indonesia perlu menjadi peninjau di AU. Manfaat yang dapat diperoleh Indonesia sebagai peninjau yang terakreditasi adalah dukungan negara-negara Afrika di fora internasional terhadap keutuhan NKRI, khususnya untuk menangkal masalah dan isu separatisme dan terorisme. Selain itu, di fora internasional, Indonesia dapat mengandalkan dukungan dari para anggota Uni Afrika jika akan mencalonkan diri dalam berbagai organisasi internasional.

Indonesia dapat memetik manfaat dengan mendapatkan akses dan informasi faktual serta terkini mengenai isu-isu politik keamanan dan ekonomi yang tengah mengemuka di Afrika dan mendapatkan perhatian dari Uni Afrika jika masuk menjadi peninjau resmi dalam organisasi tersebut. Selain itu, dengan menjadi peninjau terakreditasi, Indonesia dapat mengetahui pandangan resmi Uni Afrika atas berbagai isu global yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk menentukan posisi RI. Dalam kerangka hubungan antar wilayah, peningkatan interaksi antara RI dan Uni Afrika akan membuat Indonesia mampu mendapatkan akses mengenai beragam potensi dan peluang kerjasama yang dapat dikembangkan lebih lanjut, baik dalam kerangka AU maupun dengan negara-negara anggota secara bilateral.

Dapatlah disimpulkan bahwa sudah saatnya Indonesia memperluas lingkaran konsentris politik luar negerinya ke benua Afrika, melalui jalinan kerjasama dengan Uni Afrika. Indonesia dapat menjadi patron dengan berbagi pengalaman dan membantu pembangunan kapasitas negara-negara Afrika di bidang demokratisasi, penegakan hukum, dan penyelesaian konflik sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Uni Afrika. Indonesia dapat pula menggunakan second track diplomacy untuk mendukung jalannya pemajuan ekonomi Indonesia. Pada gilirannya, Indonesia dapat memanfaatkan “popularitas” yang dimilikinya di Afrika untuk mendukung posisi Indonesia dalam berbagai fora internasional terutama yang terkait dengan pemajuan kepentingan nasional Indonesia. 

***
LNS
15 March 2010

























[i] Mo Ibrahim Foundations adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh Dr. Mo Ibrahim, seorang entrepreneur komunikasi dari Sudan. Tujuan pendirian yayasan ini antara lain untuk merangsang debat mengenai good governance di Sub-Sahara Afrika. Ibrahim Index of African Governance merupakan indeks yang disusun oleh Mo Ibrahim Foundations bekerjasama dengan Profesor Robert I. Rotberg dan Profesor Rachel Gisselquist dari Kennedy  School of Government, Harvard University.
[iii] Mwangi S. Kimenyi, Africa’s (Large) 4 Problem, www.brookings.edu/opinions/2009/1015_africa_governance, diunduh 5 Maret 2010.
[v] Stephanie Hanson, The African Union, http://www.cfr.org/publication/11616/african_union.html, diunduh 4 Maret 2010.
[vi] http://unamid.unmissions.org, diunduh 5 Maret 2010.
[vii] Stephanie Hanson, ibid. AU membuat panduan dasar ini berdasarkan rekomendasi dari International Commission on Intervention and State Sovereignty tahun 2001 yang diberi judul The Responsibility to Protect.
[viii] Ibid.
[ix] Constitutive Act of the African Union
[x] Constitutive Act of the African Union, pasal 3 (g).
[xi] Jennifer Cooke, Options for Strengthening the African Union, Hearing on African Organizations and Institutions, 17 November 2005.
[xii] Esther Pan, African Peacekeeping Operations, www.cfr.org/publication/9333/african_peacekeeping_operation, diunduh 5 Maret 2010.
[xiii] ibid
[xiv] ibid
[xvi] Andrew Solomon, (Re)Introducing the African Union Convention on the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons, htttp://www.brookings.edu/articles/2010/0217_african_union_solomon, diunduh 4 Maret 2009.
[xvii] Ibid.
[xviii] Ibid.
[xix] Mwayila Tshiyembe, Inventing the Multination: Would a United States of Africa work?, http://mondediplo.com/2000/09/12africa, diunduh 11 Maret 2010.
[xx] ibid
[xxi] ibid
[xxii] UN Office of the Special Adviser on Africa, Peace Consolidation in Africa: Challenges and Opportunities, Desember 2005,  hal. 7.
[xxiii] Soft power menurut Joseph Nye adalah kemampuan untuk mendapatkan keluaran yang diinginkan melalui jalan lain selain kekerasan.  http://www.huffingtonpost.com/joseph-nye/barack-obama-and-soft-power.html, diunduh 15 Maret 2010.
[xxiv] Ibid.
[xxv] Arifi, Strengthening Indonesia’s Presence in Africa Through Sustainable Economic Approaches, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 19 No. 16, LPM Universitas Padjadjaran, Juni 2009.