Pentingnya
Uni Afrika Bagi Indonesia
I. Pendahuluan
Afrika
adalah sebuah benua yang memiliki bentang politik, sosial dan ekonomi yang
beraneka dan saling berkelindan (saling terkait dan berjalin). Tak jarang
peristiwa politik di suatu negara di benua tersebut terkait dengan politik yang
dijalankan oleh pemerintah negara lain. Konflik yang terjadi di suatu negara
juga sering berhubungan dengan dukungan dari negara-negara lain terhadap salah
satu faksi atau pihak yang bertikai di negara tersebut.
Kerumitan
yang menghadang Afrika ini bukan tanpa dasar. Sejatinya Afrika telah memiliki
peradaban Aksum di Ethiopia, Ghana, Mali, dan Zimbabwe di sub Sahara yang berkembang hampir 1000 tahun yang lalu,
sementara Mesir dan Kartago merupakan peradaban besar yang dikenal dunia sejak
berabad sebelum masehi. Namun penjajahan Eropa telah mengubah bentang politik
Afrika sejak dimulainya kolonisasi Eropa hingga saat ini. Kolonisasi membuat
Afrika terpecah ke dalam negara-negara yang dibentuk para kaum kolonial Eropa
tanpa mempertimbangkan hubungan dan garis tradisional kesukuan atau kerajaan.
Politik klasik kolonialisme devide et
impera juga berujung pada seringnya terjadi konflik di berbagai negara di
benua ini. Tak jarang setelah merdeka dari para penjajahnya, para elite politik
saling bertempur untuk berebut kekuasaan sebagaimana yang dulu dapat disaksikan
di Zaire (DRC), Angola, atau Mozambique. Afrika juga menjadi laboratorium dua
kubu adidaya selama masa perang dingin. Ethiopia misalnya yang mendapatkan
bantuan dari Uni Soviet dan Kuba saat menghadapi serbuan dari Somalia pada
tahun 1977 atau Angola yang menjadi kelinci percobaan Amerika Serikat yang
dibantu oleh pemerintah apartheid Afrika Selatan dan Zaire untuk menyokong
UNITA dan Uni Soviet yang mendukung MPLA
dan mendapat suplai pasukan dan senjata dari Kuba dan RRT.
Mo
Ibrahim Foundations[i]
membandingkan peringkat kepemerintahan negara-negara Afrika berdasarkan
partisipasi (politik dan demokrasi) dan hak asasi manusia, keamanan dan aturan
hukum, pembangunan manusia, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.[ii] Negara-negara
yang mendapatkan penilaian positif dari Mo Index adalah negara yang relatif
maju secara ekonomi dan stabil secara politis seperti Mauritius (82,83),
Seychelles (77,13), Botswana(73,59), Afrika Selatan (69,44), Namibia (68,81)
dan Sao Tome and Principe (60,23), sementara negara-negara yang masih terlibat
dalam konflik, masih labil secara politis dan terbelakang secara ekonomi
mendapatkan skor rendah, contohnya Eritrea (36,96), Republik Afrika Tengah (35,00),
DRC (33,25), Sudan (33,45), Zimbabwe (31,29), Chad (29,86) dan Somalia (15,24).
Menurut
Brookings Institution, terdapat 4 hal
yang membebani Afrika untuk maju yaitu jumlah penduduk yang besar, keberagaman
penduduk yang terlalu berbeda, kekayaan sumber daya alam yang besar, dan ukuran geografis yang luas.[iii]
Keempat hal ini sepertinya merupakan resep menuju kekacauan bagi negara-negara
Afrika. Jika terdapat sebuah negara yang memenuhi tiga atau keempat aspek ini
maka umumnya negara tersebut mendapatkan peringkat buruk dalam hal
kepemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang masuk kategori ini
antara lain adalah Democratic Republic of
Congo, Republic of Congo,
Ethiopia, Nigeria, Chad, Angola, Kamerun dan Sudan. Tentu saja terdapat
beberapa pengecualian seperti Afrika Selatan yang besar secara geografis dengan
kekayaan alam yang beraneka namun memiliki kepemerintahan yang baik, dan di
sisi sebaliknya terdapat Somalia yang kecil jika diukur dari empat hal tersebut
namun menunjukkan nilai paling rendah dalam hal kepemerintahan.
Contoh
nyata adalah Sudan dan DRC. Sudan adalah negara terluas di Afrika dengan
bentang wilayah 2,5 juta km2 dan memiliki perbatasan dengan 8 negara
lain. Meskipun jumlah penduduknya tidak besar, namun negara ini memiliki
kerumitan dalam hubungan Utara-Selatan-Muslim-Kristen, terbagi atas lebih dari
100 suku yang berbeda-beda dan diberkahi sumber daya alam yang berlimpah,
terutama minyak bumi. Demikian juga halnya dengan DRC dengan luas 2,3 juta km2
yang merupakan negara ketiga terluas di Afrika dan berbatasan dengan 9 negara
dan memiliki sumber daya alam yang beraneka antara lain emas, intan dan cobalt
yang menjadi sumber sengketa. Uniknya, sumber daya alam ini tidak menjadi
pemicu bagi pemerintah untuk mempergunakannya bagi peningkatan pertumbuhan
ekonominya (GDP Sudan per kapita adalah US$ 2.376 sementara DRC adalah US$
333,8 pada tahun 2009)[iv]
namun justru membuat kinerja kepemerintahan menjadi lemah, tidak efektif dan
menafikan kesejahteraan penduduknya. Bahkan dalam pandangan ekstrim, sumber
daya alam merupakan “kutukan” bagi negara-negara yang memilikinya. Betapa
tidak, konflik yang terjadi di beberapa negara Afrika berkepanjangan karena
setiap pihak yang bertikai mendapatkan bahan bakar dari sumber daya alam yang
berlimpah tersebut untuk membiayai konflik. Contoh nyata dalam hal ini adalah
pihak-pihak bertikai di Angola yaitu MPLA (faksi milik Presiden Jose Eduardo
Dos Santos yang sekarang berkuasa) dan UNITA (faksi pemberontak pimpinan Jonas
Savimbi) yang dimasa perang saudara (1975-2003) masing-masing dapat membeli
suplai senjata karena MPLA menguasai cadangan minyak bumi dan UNITA menguasai
tambang intan.
Carut
marut problem kepemerintahan yang berimbas dan saling terkait dengan
aspek-aspek politik, sosial dan ekonomi inilah yang merupakan hal krusial dan
inti yang harus dihadapi dan menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan
pengkajian dan pemecahan bagi Uni Afrika. Dalam kerangka berpikir inilah,
tulisan ini mencoba untuk mengupas peran seperti apa yang dapat dimainkan oleh
Uni Afrika dalam mengatasi problem yang dihadapi oleh sebagian besar
anggotanya, bagaimana prospek Satu Afrika yang menjadi tujuan akhir Uni Afrika,
dan manfaat apa yang dapat diambil oleh Indonesia sebagai negara peninjau dalam
Uni Afrika.
II. Peran Organisasi Uni Afrika
Lahirnya
Uni Afrika didasari oleh keinginan negara-negara Afrika yang memandang perlunya
sebuah organisasi yang dapat berperan lebih besar untuk menangani berbagai
masalah yang dihadapi oleh Afrika. Pada tahun 2002, Organisation of African Unity bertransformasi menjadi African Union (Uni Afrika). Transformasi
ini sekaligus mengubah prinsip dasar organisasi dari kedaulatan negara dan
tidak campur tangan (non-interference)
menjadi keinginan untuk melindungi keamanan benua.[v]Prinsip
tidak campur tangan yang dianut oleh OAU menjadi sasaran kritik pedas dari
berbagai negara maupun organisasi lain karena ketidakmampuannya untuk mengurai
dan menangani krisis yang terjadi sepanjang tahun 1990an di Rwanda, Burundi,
DRC, Sierra Leone, maupun Somalia. Ketidakefektifan OAU telah memicu sejumlah
pemimpin Afrika untuk membentuk sebuah lembaga yang mengacu pada Uni Eropa
sebagai model untuk berkumpul di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2002 dan
mendeklarasikan pendirian Uni Afrika. Sebanyak 53 negara bergabung dalam
organisasi tersebut (minus Maroko karena persoalan pengakuan Republik
Demokratik Arab Sahrawi oleh AU) dengan markas besar di Addis Ababa, Ethiopia.
A. Kemampuan Penanganan Konflik
dan Penegakan Prinsip Dasar
Tujuan
utama AU adalah meningkatkan pembangunan, memberantas kemiskinan, memerangi
korupsi dan mengakhiri berbagai konflik di Afrika. Tujuan ini dalam realitasnya
memang terasa berat bagi sebuah organisasi baru yang telah sarat dengan
berbagai beban dari negara-negara anggotanya, kekurangan dana, dan kekurangan
sumber daya yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, AU
telah menunjukkan kapabilitasnya terutama dalam hal pemeliharaan perdamaian,
meskipun terbilang masih jauh dari kata optimal. Hal ini tercermin dalam upaya
AU untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Darfur, Sudan melalui
penggelaran pasukan “hibrida” dengan PBB melalui UNAMID (United Nations-African
Union Mission in Darfur) yang bertugas sebagai penghubung dengan UNMIS (United
Nations Mission in Sudan) guna memastikan implementasi Comprehensive Peace Agreement dengan semua pemangku kepentingan dan
melengkapi mandat UNMIS.[vi]
Uni Afrika juga berperan dalam pemeliharaan perdamaian di Somalia melalui
AMISOM (African Union Mission in Somalia) yang mandatnya dimulai sejak Februari
2007.
Peran
ini merupakan sebuah loncatan besar karena AU merupakan satu-satunya organisasi
yang secara eksplisit mengakui hak untuk melakukan intervensi ke dalam negara
anggotanya atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia.[vii]
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa “negara-negara berdaulat memiliki
tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari bencana yang tak
terhindarkan—dari pembunuhan masal dan pemerkosaan, dari kelaparan—namun jika
mereka tidak bersedia atau tidak dapat melakukannya, maka tanggung jawab
tersebut harus dipikul oleh komunitas negara-negara yang lebih luas”.[viii] Hal ini tercermin dalam pasal 4 ayat (h)
Konstitusi AU yang intinya menyatakan bahwa AU memiliki hak untuk melakukan
intervensi ke negara anggotanya berdasarkan keputusan Sidang Umum dalam hal
terjadinya situasi yang mendesak yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.[ix]
Organ AU yang memiliki wewenang untuk melakukan intervensi adalah Peace and Security Council (PSC) yang
dibentuk tahun 2003 dan beranggotakan 15 negara yang dipilih untuk masa jabatan
dua dan tiga tahun dengan hak voting yang sama.
Peran AU dalam pemeliharaan perdamaian ini sering
diragukan oleh banyak pihak. Misi AMISOM misalnya mengalami kekurangan dana,
kekurangan staf, dan kekurangan sumber daya. Di atas kertas, AU akan
menyediakan 8.000 personel untuk AMISOM, namun saat ini baru sekitar 5.200
personel yang sebagian besar dari Uganda dan Burundi yang digelar di Somalia
sehingga banyak pihak yang menilai bahwa AMISOM dinilai belum efektif untuk
mendukung terciptanya situasi kondusif di Somalia. Namun demikian, PBB
menghargai peran aktif AU dalam hal ini dan dalam Resolusi 1910 tanggal 28
Januari 2010, DK PBB memutuskan untuk memperpanjang misi AMISOM hingga 1 tahun
kedepan dan menghimbau negara-negara anggota agar dapat menyumbang melalui United Nations Trust Fund for AMISOM atau
melakukan sumbangan secara bilateral guna mendukung misi AMISOM tersebut.
Selain konflik di dalam negeri negara anggota
seperti Somalia, Sudan, Comoros, dan DRC, AU juga berperan sebagai mediator
dalam sengketa atau konflik antar negara anggota. Contohnya adalah dalam
sengketa perbatasan Ethiopia-Eritrea yang terjadi semenjak kemerdekaan Eritrea
dari Ethiopia tahun 1993 dan memicu perang antar kedua negara yang baru
berakhir tahun 2000. Namun demikian, proses perdamaian yang dimediasi AU masih
menemui jalan buntu karena keberatan Ethiopia atas penemuan komisi
internasional yang mengharuskannya untuk menyerahkan wilayah yang dipandang
sensitif bagi Ethiopia. AU juga menjadi mediator dalam sengketa antara Eritrea
dan Djibouti mengenai sengketa perbatasan.
Beberapa
negara anggota yang telah menandatangani pakta pendirian AU yang salah satu
tujuannya adalah memajukan prinsip-prinsip dan kelembagaan yang demokratis dan good
governance[x]
jelas-jelas telah melanggar prinsip yang ada tersebut sebagaimana yang terjadi
di Zimbabwe, Madagaskar dan Niger. Implementasi prinsip-prinsip dalam
konstitusi juga tidak merata di negara-negara anggotanya yang menandakan bahwa
ambisi bangunan kelembagaan yang diimpikan oleh AU masih merupakan kerangka
kerja di atas kertas dan membutuhkan kerja yang sangat keras agar dapat
diwujudkan. Dalam bahasa yang digunakan oleh Jennifer Cooke di depan Komite
Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, bangunan kelembagaan ini belum
mempunyai kedalaman maupun kapasitas.[xi]
Selain itu beberapa tindakan dalam AU masih sedikit banyak bergantung pada
figur-figur kunci di Afrika atau dalam AU dan dalam beberapa kesempatan persaingan
untuk mendapatkan pengaruh dalam organisasi juga menghambat keefektifan lembaga
ini.
Pengakhiran berbagai konflik di Afrika yang
menjadi salah satu tujuan
utama AU memang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang tidak
sedikit. Sebagai catatan, sebelum AU berdiri dan memutuskan untuk mengambil
peran besar dalam misi perdamaian, PBB telah menjalankan 54 kali misi
pemeliharaan perdamaian di Afrika sejak tahun 1948. Sejak 2005, pasukan
pemelihara perdamaian PBB di Afrika berjumlah 50.000 dari jumlah keseluruhan
65.000 pasukan pemelihara perdamaian yang digelar PBB di seluruh dunia.[xii] Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa
saat ini norma dan aspirasi baru yang dicoba untuk ditegakkan di Afrika
tersebut masih berada dalam tahap awal.
Menurut
Prof. Robert Collins, terdapat 3 hal yang menentukan sukses tidaknya misi
perdamaian. Ketiga hal tersebut adalah misi yang memiliki tujuan dan rencana
yang jelas untuk mencapai perdamaian, ketersediaan sumber dana dan personel
yang memadai untuk menunjang misi dan komitmen untuk menjalankan misi dengan
sungguh-sungguh.[xiii] Meskipun fakta di lapangan menunjukkan hal
yang berkebalikan dengan pernyataan Prof. Collins, namun AU bertekad untuk
membentuk angkatan bersenjata Uni Afrika yang permanen yang disebut sebagai AU
Standby Force sesuai dengan rencana dari PSC. PSC merencanakan untuk
memiliki 5-6 brigade yang terdiri atas 3.000-5.000 tentara yang akan bermarkas
di seantero Afrika dan mampu merespon setiap gangguan dengan cepat, serta
berbicara dalam bahasa yang sama yaitu dalam bahasa Inggris atau Perancis di
dalam tingkatan kemiliteran mereka.[xiv]
Kendala yang akan terus dihadapi oleh PSC dalam penggelaran pasukan perdamaian
Uni Afrika di masa kini dan mendatang nampaknya akan tetap sama: hanya ada
beberapa negara Afrika yang mampu mengirimkan pasukan ke negara lain sekaligus
menyediakan logistik untuk misi yang berkepanjangan. Contoh negara-negara yang
memiliki kemampuan ini adalah Kenya, Uganda, Nigeria dan Afrika Selatan. Dengan
situasi seperti ini, maka mau tak mau kesuksesan penggelaran misi perdamaian
dalam rangka penegakan prinsip-prinsip dasar AU akan membutuhkan bantuan
internasional baik dari segi dana, pelatihan maupun logistik.
B. Penanganan Masalah Sosial
Ekonomi
Di
bidang kesehatan, AU telah mengakomodasi the
Abuja Declaration on HIV/AIDS, Tuberculosis
and other Related Infectious Diseases pada tahun 2001.[xv]
Sebagaimana diketahui, HIV/AIDS merupakan salah satu tantangan pembangunan yang
harus dihadapi oleh negara-negara Afrika. Melalui deklarasi ini, setidaknya
secara politis AU sebagai organisasi regional telah mencoba untuk menghilangkan
batasan-batasan politik dan sosial antar negara anggota yang kerap kali menjadi
penghambat mobilitas dan aliran sumber daya. Deklarasi juga merupakan pengakuan
dari masing-masing pemimpin negara Afrika bahwasanya HIV/AIDS tidak saja
merupakan bencana besar di bidang kesehatan namun juga berimbas kepada
produktivitas, pembangunan fisik dan sumber daya manusia, serta memiliki
pengaruh yang cukup besar bagi stabilitas politik dan pembangunan ekonomi suatu
negara. Deklarasi Abuja merupakan wahana bagi AU untuk melakukan sinergi,
harmonisasi kebijakan dan koordinasi regional untuk meningkatkan daya tawar
negara-negara Afrika. Daya tawar yang kuat akan diperlukan dalam melakukan
negosiasi dana, obat, vaksin, dan jenis-jenis produk farmasi lainnya termasuk
infrastruktur pelengkap yang diperlukan guna melakukan penanganan dan
pengendalian penyakit vis à vis dunia internasional.
Masalah
pengungsi dan Internally Displaced Person
(IDP) sebagai akibat yang tak terelakkan dari terjadinya konflik juga menjadi
titik perhatian utama Uni Afrika. Tahapan-tahapan dalam pencapaian perdamaian
mulai dari peacebuilding, peacekeeping
hingga peace consolidation menjadi
tantangan tersendiri yang harus ditangani dan dipecahkan oleh Uni Afrika. Konflik
dalam eskalasi besar seperti yang terjadi di Sudan Selatan dan Somalia maupun
dalam bentuk kekerasan sipil maupun perseteruan antar etnis seperti di Guinea,
Nigeria (kota Jos), Uganda, dan DRC menyebabkan jutaan orang tercerabut dari
akarnya dan dipaksa untuk meninggalkan rumah dan jaringan kemasyarakatannya.
Pengungsi dan IDP sangat rawan terhadap pelanggaran HAM karena statusnya.
Pengungsi dan IDP juga berpotensi menyebabkan tekanan besar dan gesekan dengan
masyarakat di sekitar kamp penampungan mereka yang dapat berpengaruh terhadap
situasi politik, keamanan, sosial dan ekonomi di tingkat lokal hingga ke
tingkat nasional, bahkan dapat mempengaruhi hubungan antara negara asal dengan
negara penampung pengungsi tersebut. Karena dimensi keterkaitan antara
pengungsi dan IDP dengan aspek-aspek kehidupan lainnya sangat rumit dan
kompleks, maka solusi terhadap permasalahan tersebut haruslah bersifat
multidimensi dengan memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan, hak asasi manusia,
pembangunan, aspek sosial ekonomi dan keamanan.
Uni
Afrika telah mawas diri terhadap fenomena dan imbas yang ditimbulkan oleh
pengungsi dan IDP tersebut. The African
Union Convention on the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons
telah ditandatangani dalam KTT Khusus Uni Afrika di Kampala, Uganda tanggal
22-23 Oktober 2009.[xvi]
Konvensi ini merupakan buah pikiran AU sebagai bagian dari upaya perlindungan
hak-hak dasar dan kebebasan IDP, memfasilitasi solusi berkelanjutan terhadap
masalah mereka serta berusaha memastikan bahwa IDP tersebut dapat memiliki
hidup yang bermartabat dan produktif. [xvii]
Konvensi ini merupakan kerangka yang mewadahi pengakuan Uni Afrika bahwa memang
terdapat keterhubungan antara pemajuan perdamaian, keamanan dan pembangunan
seluruh benua dengan kebutuhan untuk mencermati, menyimak dan menyelidiki
penyebab dasar dari munculnya IDP dan (pengungsi) ini. Dalam hal ini, maka
konvensi menjadi bagian dari bangun arsitektur Uni Afrika dalam hal keamanan
dan pembangunan selain menjadi titik pusat tanggap regional terhadap krisis
kemanusiaan dan HAM yang sering menghinggapi benua ini.[xviii]
Penyelesaian
komprehensif terhadap masalah IDP dan pengungsi oleh Uni Afrika juga merupakan
bagian integral untuk menyelesaikan konflik. Inisiatif regional dari Uni Afrika
memang mutlak diperlukan untuk memetakan kompleksitas masalah IDP dan pengungsi
ini. Masalah HIV/AIDS serta beragam penyakit menular juga merupakan salah satu
muara yang ditimbulkan karena masalah pengungsi dan IDP. Selain pembentukan
konvensi-konvensi dalam bidang sosial ekonomi yang bersifat legally binding, penguatan kapasitas
kelembagaan negara-negara Afrika guna mengimplementasikan konvensi tersebut di
tingkat lokal dan nasional perlu terus dipantau oleh Uni Afrika.
III. Prospek Satu Afrika (United
States of Africa)
Satu
Afrika merupakan sebuah ide yang dicetuskan oleh pemimpin Libya, Moammar
Khadafi pada saat berlangsungnya KTT AU ke-9 di Acra, Ghana pada awal Juli
2007. Pendukung Satu Afrika berargumen bahwa pada dasarnya Afrika merupakan
sebuah plurinasional yang sempat tersendat dan terputus bangunannya saat
terjadinya kolonialisme atas Afrika. Dalam istilah Tshiyembe, plurinasional ini
adalah sebuah bangsa sosiologis yang didirikan atas dasar karakteristik yang saling
berbagi (agama, kaitan darah, bahasa dan sejarah yang sama) dan keinginan untuk
hidup bersama yang merupakan awal mula kebangsaan.[xix] Lebih
lanjut Satu Afrika juga menyatakan bahwa bingkai teritorial seperti yang
dikenal oleh negara bangsa modern (berdasarkan Concert of Wesphalia) lebih
sempit dari konsep Afrika tentang wilayah sebagai bingkai tempat hidup karena
menyangkut jejaring, bentuk-bentuk pertukaran dan beragam kenangan yang
mengikat orang kepada lingkungan dan tempat di sekitar mereka.[xx] Ditambahkan pula bahwa dalam sebuah wilayah
multinasional, setiap warga negara akan memiliki hak untuk memilih dan
meninggalkan pemerintah berdasarkan aturan-aturan umum yang dapat diterima.
Dengan demikian, akan terdapat dua jenis kewarganegaraan: kewarganegaraan
tunggal pada negara federal multinasional, dan kewarganegaraan ganda pada
sebuah negara konfederasi multinasional, mirip dengan pendekatan yang digunakan
dalam menentukan kewarganegaraan Uni Eropa.[xxi]
Konsep
dasar Satu Afrika tersebut dapat dikatakan merupakan satu konsep yang ideal,
karena mempertimbangkan aspek-aspek keterikatan tradisional dan sosiologis dari
bangunan kemasyarakatan yang hendak dibentuk. Namun demikian, mengingat
heterogenitas yang teramat sangat dari Afrika ditambah dengan keengganan secara
politis yang sangat kuat dari beberapa negara besar yang telah menikmati
perannya sebagai big brother di
masing-masing wilayah seperti Nigeria untuk Afrika barat dan Afrika Selatan
untuk Afrika bagian selatan, maka Satu Afrika kemungkinan akan sulit diwujudkan
dalam jangka 5-10 tahun kedepan. Satu Afrika hanya menarik untuk beberapa
negara kecil yang dengan sukarela akan bergabung di bawah perlindungan negara
lain yang cukup kuat secara politis dan ekonomis, seperti Togo yang jelas
menyatakan mendukung Satu Afrika saat dicetuskan oleh Khadafi. Apalagi ditambah
dengan “kebiasaan” beberapa negara untuk turut serta dalam urusan politik dalam
negeri negara tetangganya yang memicu atau menjadi bagian dari konflik, seperti
yang dilakukan Eritrea kepada Sudan dan Somalia, maka tesis dukungan terhadap
Satu Afrika juga melemah. Disamping itu, para pendukung Satu Afrika harus
memperhitungkan rivalitas yang tersirat diantara para pemimpin Afrika tentang
apa, siapa dan dimana pusat kekuasaan Satu Afrika dibentuk akan sangat
mempengaruhi keputusan untuk merealisasikan sebuah negara multinasional
Afrika ini. Ketidakpuasan akan keputusan tersebut akan dapat memicu timbulnya
konflik baru yang justru membebani Uni Afrika.
IV. Manfaat Uni Afrika Bagi
Indonesia
Indonesia
selayaknya dapat memanfaatkan eksistensi Uni Afrika untuk kepentingan nasional
Indonesia. Potensi yang dimiliki secara politis dan ekonomis dari organisasi
ini sangatlah besar. Dari sisi politik, Uni Afrika merupakan organisasi yang
memiliki prinsip dasar untuk menjunjung demokrasi, penghormatan terhadap hak
asasi dan good governance. Semangat
ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merangkul Uni Afrika dengan berbagi
pengalaman mengenai transformasi dari periode otoritarian semasa Orde Baru
menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Peace consolidation yang hendak dilakukan oleh
negara-negara Afrika pasca konflik memang akan menghadapi tantangan. Kemiskinan
dan ketimpangan sosial terlihat sangat dominan di Afrika. Selain itu, beberapa
negara Afrika yang baru saja lepas dari konflik atau yang tengah berkonflik
umumnya masih berada pada tahap perekonomian yang belum berkembang. Pertanian
umumya masih bersifat subsisten sementara industri masih merupakan infant. Pengungsi atau IDP yang kembali
ke negaranya tidak punya banyak pilihan, karena negara juga tidak mampu
memberikan pilihan. Banyak negara Afrika pasca konflik belum memiliki prospek
rekonstruksi yang cepat ataupun pembangunan ekonomi yang berkelanjutan karena
sifat industri yang masih dalam tahap awal tersebut. Di sisi lain, dapat
dikatakan bahwa satu dari dua orang Afrika berusia di bawah 14 tahun, sementara
di Arika bagian barat, 65% penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Dalam situasi
pasca konflik, kelompok umur ini sering terpinggirkan dan rentan untuk direkrut
oleh kelompok-kelompok bersenjata untuk menimbulkan kekacauan sipil.[xxii]
Pengidentifikasian
akar konflik dan muara konflik yang bersifat multidimensional ditinjau dari
sisi ekonomi, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan juga layak
mendapatkan dukungan dari Indonesia. Dalam hal ini, sekali lagi, pengalaman
luas yang dimiliki oleh Indonesia dalam mengakhiri konflik di NAD, Poso, dan
Maluku dapat menjadi bekal berguna untuk berbagi pengalaman dan pemberian capacity building dengan negara-negara
anggota Uni Afrika dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang memiliki
keterkaitan dengan terjadinya konflik. Pengalaman yang dimiliki Indonesia untuk
lebih mengedepankan soft power [xxiii]dalam
penyelesaian konflik, condong ke arah rekonsiliasi dan menghindari hard power dapat dibagikan kepada Uni
Afrika yang beberapa negara anggotanya cenderung menggunakan hard power untuk menyelesaikan sengketa
diantara mereka.
Indonesia
dapat memberikan dukungan untuk terciptanya perdamaian yang abadi, legitimate, dan dapat menjadi dasar
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Uni Afrika memang
harus terus melakukan apa yang disebut sebagai “positive peace” yaitu (i) melakukan pemulihan pasca perang seperti
pembangunan kembali infrastruktur dan ikatan sosial melalui rekonsiliasi,
(ii)menangani penyebab-penyebab konflik seperti ketimpangan, diskriminasi,
kemiskinan, dan ketidakamanan struktural, (iii) mengurangi
kesempatan-kesempatan yang dapat memunculkan konflik, (iv)menciptakan dukungan
dan struktur yang berkesinambungan untuk perdamaian dan pembangunan fondasi
yang kuat untuk pertumbuhan dan pengembangan ekonomi.[xxiv]
Oleh karena itu, dukungan yang diberikan bersifat berkesinambungan, dalam
perspektif jangka panjang dan mengaitkan antara aspek keamanan dan pembangunan.
Sebagai
sebuah organisasi regional yang besar, Indonesia dapat memanfaatkan Uni Afrika
dalam hal pemberian dukungan di fora-fora internasional. Dalam perspektif
resiprokal, pemberian dukungan ini akan sangat solid, jika Uni Afrika merasakan
benar-benar dukungan yang diberikan oleh Indonesia dalam rangka menyelesaikan
tugas-tugas pembangunan arsitektur regional Afrika yang damai, demokratis dan
sesuai prinsip good governance
sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Uni Afrika.
Dari
sisi ekonomi, Uni Afrika merupakan gabungan hampir 1 milyar penduduk Afrika
yang merupakan pangsa pasar potensial untuk produk-produk ekspor Indonesia. Jika
jeli membaca peluang, maka hampir seluruh produk consumer goods dapat diserap oleh pasar Afrika, demikian halnya
dengan produk pertanian seperti bibit, pupuk, dan mesin pertanian ringan. Pun
untuk produk-produk non konvensional seperti persenjataan ringan, penjinak
ranjau, hingga kaki dan tangan palsu dapat dijajaki untuk diekspor ke pasar
Afrika. Di sektor jasa, Afrika juga merupakan tempat yang memiliki peluang
bagus bagi ekspor jasa Indonesia. Tenaga-tenaga terampil Indonesia memiliki
peluang besar untuk berkarya di benua tersebut.
Jika
dilihat dari kacamata ekonomi-politik serta menengok Konstitusi Uni Afrika,
akan jelas terlihat keinginan Uni Afrika untuk mewujudkan setidaknya pasar
tunggal Afrika. Hal tersebut terlihat dari adanya organ African Central Bank dan African
Investment Bank yang akan menggunakan Special
Drawing Rights (SDR) IMF sebagai account
unit sampai terbentuknya mata uang tunggal Afrika. Indonesia patut melihat
hal ini sebagai peluang guna memasuki pasar Afrika dengan efisien, antara lain
akan memudahkan pekerjaan dunia perbankan terkait dengan ekspor-impor.
Dalam
rangka keamanan energi, Afrika selayaknya menjadi peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh Indonesia. Indonesia dapat melirik Afrika sebagai sumber
energi minyak untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, pun perusahaan-perusahaan
Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Afrika untuk kepentingan
Indonesia. BRIC (Brazil, Rusia, India, China) telah jauh bergerak di Afrika
untuk melakukan diplomasi energi, memberikan bantuan dengan imbal hasil minyak
bumi. Memang harus disadari bahwa kemampuan yang dimiliki Indonesia berbeda
dengan RRT atau India. Namun, jika kita jeli melihat celah dan peluang, bukan
tak mungkin bahwa Indonesia dapat memanfaatkan keunggulan produk yang dimiliki
Indonesia dengan mengetengahkan second
track diplomacy sebagai bagian pencapaian kepentingan nasional Indonesia di
Afrika.[xxv]
V. Penutup
Uni
Afrika merupakan sebuah organisasi regional yang harus menjadi salah satu titik
perhatian Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri, karakteristik Uni Afrika
yang terdiri atas 53 negara anggota memiliki disparitas tajam dari sisi politis
dan ekonomis. Namun terlepas dari masalah tersebut, Uni Afrika selayaknya
menjadi salah satu mitra dialog Indonesia, bukan hanya karena jalinan sejarah
yang telah berkembang sejak tahun 1955, namun lebih dari itu karena benua
Afrika memiliki pesona dan peluang yang harus dapat dimanfaatkan bagi
pencapaian kepentingan nasional Indonesia.
Mengingat
potensi AU yang besar tersebut dan dalam rangka memperjuangkan kepentingan
nasional Indonesia di segala bidang dan tingkatan di Afrika, maka Indonesia
perlu menjadi peninjau di AU. Manfaat yang dapat diperoleh Indonesia sebagai
peninjau yang terakreditasi adalah dukungan negara-negara Afrika di fora
internasional terhadap keutuhan NKRI, khususnya untuk menangkal masalah dan isu
separatisme dan terorisme. Selain itu, di fora internasional, Indonesia dapat
mengandalkan dukungan dari para anggota Uni Afrika jika akan mencalonkan diri
dalam berbagai organisasi internasional.
Indonesia
dapat memetik manfaat dengan mendapatkan akses dan informasi faktual serta
terkini mengenai isu-isu politik keamanan dan ekonomi yang tengah mengemuka di
Afrika dan mendapatkan perhatian dari Uni Afrika jika masuk menjadi peninjau
resmi dalam organisasi tersebut. Selain itu, dengan menjadi peninjau
terakreditasi, Indonesia dapat mengetahui pandangan resmi Uni Afrika atas
berbagai isu global yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan
untuk menentukan posisi RI. Dalam kerangka hubungan antar wilayah, peningkatan interaksi
antara RI dan Uni Afrika akan membuat Indonesia mampu mendapatkan akses
mengenai beragam potensi dan peluang kerjasama yang dapat dikembangkan lebih
lanjut, baik dalam kerangka AU maupun dengan negara-negara anggota secara
bilateral.
Dapatlah
disimpulkan bahwa sudah saatnya Indonesia memperluas lingkaran konsentris
politik luar negerinya ke benua Afrika, melalui jalinan kerjasama dengan Uni
Afrika. Indonesia dapat menjadi patron dengan berbagi pengalaman dan membantu
pembangunan kapasitas negara-negara Afrika di bidang demokratisasi, penegakan
hukum, dan penyelesaian konflik sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Uni
Afrika. Indonesia dapat pula menggunakan second
track diplomacy untuk mendukung jalannya pemajuan ekonomi Indonesia. Pada
gilirannya, Indonesia dapat memanfaatkan “popularitas” yang dimilikinya di
Afrika untuk mendukung posisi Indonesia dalam berbagai fora internasional
terutama yang terkait dengan pemajuan kepentingan nasional Indonesia.
***
LNS
15
March 2010
[i]
Mo Ibrahim Foundations adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh Dr. Mo
Ibrahim, seorang entrepreneur komunikasi
dari Sudan. Tujuan pendirian yayasan ini antara lain untuk merangsang debat
mengenai good governance di
Sub-Sahara Afrika. Ibrahim Index of
African Governance merupakan indeks yang disusun oleh Mo Ibrahim
Foundations bekerjasama dengan Profesor Robert I. Rotberg dan Profesor Rachel
Gisselquist dari Kennedy School of
Government, Harvard University.
[iii]
Mwangi S. Kimenyi, Africa’s (Large) 4
Problem, www.brookings.edu/opinions/2009/1015_africa_governance,
diunduh 5 Maret 2010.
[v]
Stephanie Hanson, The African Union, http://www.cfr.org/publication/11616/african_union.html,
diunduh 4 Maret 2010.
[vi]
http://unamid.unmissions.org,
diunduh 5 Maret 2010.
[vii]
Stephanie Hanson, ibid. AU membuat panduan dasar ini berdasarkan rekomendasi
dari International Commission on
Intervention and State Sovereignty tahun 2001 yang diberi judul The Responsibility to Protect.
[viii]
Ibid.
[ix]
Constitutive Act of the African Union
[x]
Constitutive Act of the African Union, pasal 3 (g).
[xi]
Jennifer Cooke, Options for Strengthening the African Union, Hearing on African
Organizations and Institutions, 17 November 2005.
[xii]
Esther Pan, African Peacekeeping
Operations, www.cfr.org/publication/9333/african_peacekeeping_operation,
diunduh 5 Maret 2010.
[xiii]
ibid
[xiv]
ibid
[xv]
http://www.uneca.org/adfIII/docs/HIVAIDS_Statement.doc,
diunduh 10 Maret 2010.
[xvi]
Andrew Solomon, (Re)Introducing the
African Union Convention on the Protection and Assistance of Internally
Displaced Persons, htttp://www.brookings.edu/articles/2010/0217_african_union_solomon,
diunduh 4 Maret 2009.
[xvii]
Ibid.
[xviii]
Ibid.
[xix]
Mwayila Tshiyembe, Inventing the
Multination: Would a United States of Africa work?, http://mondediplo.com/2000/09/12africa,
diunduh 11 Maret 2010.
[xx]
ibid
[xxi]
ibid
[xxii]
UN Office of the Special Adviser on Africa, Peace
Consolidation in Africa: Challenges and Opportunities, Desember 2005, hal. 7.
[xxiii]
Soft power menurut Joseph Nye adalah kemampuan untuk mendapatkan keluaran yang
diinginkan melalui jalan lain selain kekerasan.
http://www.huffingtonpost.com/joseph-nye/barack-obama-and-soft-power.html,
diunduh 15 Maret 2010.
[xxiv]
Ibid.
[xxv]
Arifi, Strengthening Indonesia’s Presence
in Africa Through Sustainable Economic Approaches, Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat Vol. 19 No. 16, LPM Universitas Padjadjaran, Juni 2009.
No comments:
Post a Comment