Monday, October 24, 2011


Pentingnya Uni Afrika Bagi Indonesia

I.     Pendahuluan
Afrika adalah sebuah benua yang memiliki bentang politik, sosial dan ekonomi yang beraneka dan saling berkelindan (saling terkait dan berjalin). Tak jarang peristiwa politik di suatu negara di benua tersebut terkait dengan politik yang dijalankan oleh pemerintah negara lain. Konflik yang terjadi di suatu negara juga sering berhubungan dengan dukungan dari negara-negara lain terhadap salah satu faksi atau pihak yang bertikai di negara tersebut.
Kerumitan yang menghadang Afrika ini bukan tanpa dasar. Sejatinya Afrika telah memiliki peradaban Aksum di Ethiopia, Ghana, Mali, dan Zimbabwe di sub Sahara  yang berkembang hampir 1000 tahun yang lalu, sementara Mesir dan Kartago merupakan peradaban besar yang dikenal dunia sejak berabad sebelum masehi. Namun penjajahan Eropa telah mengubah bentang politik Afrika sejak dimulainya kolonisasi Eropa hingga saat ini. Kolonisasi membuat Afrika terpecah ke dalam negara-negara yang dibentuk para kaum kolonial Eropa tanpa mempertimbangkan hubungan dan garis tradisional kesukuan atau kerajaan. Politik klasik kolonialisme devide et impera juga berujung pada seringnya terjadi konflik di berbagai negara di benua ini. Tak jarang setelah merdeka dari para penjajahnya, para elite politik saling bertempur untuk berebut kekuasaan sebagaimana yang dulu dapat disaksikan di Zaire (DRC), Angola, atau Mozambique. Afrika juga menjadi laboratorium dua kubu adidaya selama masa perang dingin. Ethiopia misalnya yang mendapatkan bantuan dari Uni Soviet dan Kuba saat menghadapi serbuan dari Somalia pada tahun 1977 atau Angola yang menjadi kelinci percobaan Amerika Serikat yang dibantu oleh pemerintah apartheid Afrika Selatan dan Zaire untuk menyokong UNITA  dan Uni Soviet yang mendukung MPLA dan mendapat suplai pasukan dan senjata dari Kuba dan RRT.
Mo Ibrahim Foundations[i] membandingkan peringkat kepemerintahan negara-negara Afrika berdasarkan partisipasi (politik dan demokrasi) dan hak asasi manusia, keamanan dan aturan hukum, pembangunan manusia, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.[ii] Negara-negara yang mendapatkan penilaian positif dari Mo Index adalah negara yang relatif maju secara ekonomi dan stabil secara politis seperti Mauritius (82,83), Seychelles (77,13), Botswana(73,59), Afrika Selatan (69,44), Namibia (68,81) dan Sao Tome and Principe (60,23), sementara negara-negara yang masih terlibat dalam konflik, masih labil secara politis dan terbelakang secara ekonomi mendapatkan skor rendah, contohnya Eritrea (36,96), Republik Afrika Tengah (35,00), DRC (33,25), Sudan (33,45), Zimbabwe (31,29), Chad (29,86) dan Somalia (15,24).
Menurut Brookings Institution, terdapat 4 hal yang membebani Afrika untuk maju yaitu jumlah penduduk yang besar, keberagaman penduduk yang terlalu berbeda, kekayaan sumber daya alam yang besar,  dan ukuran geografis yang luas.[iii] Keempat hal ini sepertinya merupakan resep menuju kekacauan bagi negara-negara Afrika. Jika terdapat sebuah negara yang memenuhi tiga atau keempat aspek ini maka umumnya negara tersebut mendapatkan peringkat buruk dalam hal kepemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang masuk kategori ini antara lain adalah Democratic Republic of Congo, Republic of Congo, Ethiopia, Nigeria, Chad, Angola, Kamerun dan Sudan. Tentu saja terdapat beberapa pengecualian seperti Afrika Selatan yang besar secara geografis dengan kekayaan alam yang beraneka namun memiliki kepemerintahan yang baik, dan di sisi sebaliknya terdapat Somalia yang kecil jika diukur dari empat hal tersebut namun menunjukkan nilai paling rendah dalam hal kepemerintahan.
Contoh nyata adalah Sudan dan DRC. Sudan adalah negara terluas di Afrika dengan bentang wilayah 2,5 juta km2 dan memiliki perbatasan dengan 8 negara lain. Meskipun jumlah penduduknya tidak besar, namun negara ini memiliki kerumitan dalam hubungan Utara-Selatan-Muslim-Kristen, terbagi atas lebih dari 100 suku yang berbeda-beda dan diberkahi sumber daya alam yang berlimpah, terutama minyak bumi. Demikian juga halnya dengan DRC dengan luas 2,3 juta km2 yang merupakan negara ketiga terluas di Afrika dan berbatasan dengan 9 negara dan memiliki sumber daya alam yang beraneka antara lain emas, intan dan cobalt yang menjadi sumber sengketa. Uniknya, sumber daya alam ini tidak menjadi pemicu bagi pemerintah untuk mempergunakannya bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya (GDP Sudan per kapita adalah US$ 2.376 sementara DRC adalah US$ 333,8 pada tahun 2009)[iv] namun justru membuat kinerja kepemerintahan menjadi lemah, tidak efektif dan menafikan kesejahteraan penduduknya. Bahkan dalam pandangan ekstrim, sumber daya alam merupakan “kutukan” bagi negara-negara yang memilikinya. Betapa tidak, konflik yang terjadi di beberapa negara Afrika berkepanjangan karena setiap pihak yang bertikai mendapatkan bahan bakar dari sumber daya alam yang berlimpah tersebut untuk membiayai konflik. Contoh nyata dalam hal ini adalah pihak-pihak bertikai di Angola yaitu MPLA (faksi milik Presiden Jose Eduardo Dos Santos yang sekarang berkuasa) dan UNITA (faksi pemberontak pimpinan Jonas Savimbi) yang dimasa perang saudara (1975-2003) masing-masing dapat membeli suplai senjata karena MPLA menguasai cadangan minyak bumi dan UNITA menguasai tambang intan. 
Carut marut problem kepemerintahan yang berimbas dan saling terkait dengan aspek-aspek politik, sosial dan ekonomi inilah yang merupakan hal krusial dan inti yang harus dihadapi dan menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan pengkajian dan pemecahan bagi Uni Afrika. Dalam kerangka berpikir inilah, tulisan ini mencoba untuk mengupas peran seperti apa yang dapat dimainkan oleh Uni Afrika dalam mengatasi problem yang dihadapi oleh sebagian besar anggotanya, bagaimana prospek Satu Afrika yang menjadi tujuan akhir Uni Afrika, dan manfaat apa yang dapat diambil oleh Indonesia sebagai negara peninjau dalam Uni Afrika.

II.   Peran Organisasi Uni Afrika
Lahirnya Uni Afrika didasari oleh keinginan negara-negara Afrika yang memandang perlunya sebuah organisasi yang dapat berperan lebih besar untuk menangani berbagai masalah yang dihadapi oleh Afrika. Pada tahun 2002, Organisation of African Unity bertransformasi menjadi African Union (Uni Afrika). Transformasi ini sekaligus mengubah prinsip dasar organisasi dari kedaulatan negara dan tidak campur tangan (non-interference) menjadi keinginan untuk melindungi keamanan benua.[v]Prinsip tidak campur tangan yang dianut oleh OAU menjadi sasaran kritik pedas dari berbagai negara maupun organisasi lain karena ketidakmampuannya untuk mengurai dan menangani krisis yang terjadi sepanjang tahun 1990an di Rwanda, Burundi, DRC, Sierra Leone, maupun Somalia. Ketidakefektifan OAU telah memicu sejumlah pemimpin Afrika untuk membentuk sebuah lembaga yang mengacu pada Uni Eropa sebagai model untuk berkumpul di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2002 dan mendeklarasikan pendirian Uni Afrika. Sebanyak 53 negara bergabung dalam organisasi tersebut (minus Maroko karena persoalan pengakuan Republik Demokratik Arab Sahrawi oleh AU) dengan markas besar di Addis Ababa, Ethiopia.
A.   Kemampuan Penanganan Konflik dan Penegakan Prinsip Dasar
Tujuan utama AU adalah meningkatkan pembangunan, memberantas kemiskinan, memerangi korupsi dan mengakhiri berbagai konflik di Afrika. Tujuan ini dalam realitasnya memang terasa berat bagi sebuah organisasi baru yang telah sarat dengan berbagai beban dari negara-negara anggotanya, kekurangan dana, dan kekurangan sumber daya yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, AU telah menunjukkan kapabilitasnya terutama dalam hal pemeliharaan perdamaian, meskipun terbilang masih jauh dari kata optimal. Hal ini tercermin dalam upaya AU untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Darfur, Sudan melalui penggelaran pasukan “hibrida” dengan PBB melalui UNAMID (United Nations-African Union Mission in Darfur) yang bertugas sebagai penghubung dengan UNMIS (United Nations Mission in Sudan) guna memastikan implementasi Comprehensive Peace Agreement dengan semua pemangku kepentingan dan melengkapi mandat UNMIS.[vi] Uni Afrika juga berperan dalam pemeliharaan perdamaian di Somalia melalui AMISOM (African Union Mission in Somalia) yang mandatnya dimulai sejak Februari 2007.
Peran ini merupakan sebuah loncatan besar karena AU merupakan satu-satunya organisasi yang secara eksplisit mengakui hak untuk melakukan intervensi ke dalam negara anggotanya atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia.[vii] Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa “negara-negara berdaulat memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari bencana yang tak terhindarkan—dari pembunuhan masal dan pemerkosaan, dari kelaparan—namun jika mereka tidak bersedia atau tidak dapat melakukannya, maka tanggung jawab tersebut harus dipikul oleh komunitas negara-negara yang lebih luas”.[viii]  Hal ini tercermin dalam pasal 4 ayat (h) Konstitusi AU yang intinya menyatakan bahwa AU memiliki hak untuk melakukan intervensi ke negara anggotanya berdasarkan keputusan Sidang Umum dalam hal terjadinya situasi yang mendesak yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[ix] Organ AU yang memiliki wewenang untuk melakukan intervensi adalah Peace and Security Council (PSC) yang dibentuk tahun 2003 dan beranggotakan 15 negara yang dipilih untuk masa jabatan dua dan tiga tahun dengan hak voting yang sama.
Peran AU dalam pemeliharaan perdamaian ini sering diragukan oleh banyak pihak. Misi AMISOM misalnya mengalami kekurangan dana, kekurangan staf, dan kekurangan sumber daya. Di atas kertas, AU akan menyediakan 8.000 personel untuk AMISOM, namun saat ini baru sekitar 5.200 personel yang sebagian besar dari Uganda dan Burundi yang digelar di Somalia sehingga banyak pihak yang menilai bahwa AMISOM dinilai belum efektif untuk mendukung terciptanya situasi kondusif di Somalia. Namun demikian, PBB menghargai peran aktif AU dalam hal ini dan dalam Resolusi 1910 tanggal 28 Januari 2010, DK PBB memutuskan untuk memperpanjang misi AMISOM hingga 1 tahun kedepan dan menghimbau negara-negara anggota agar dapat menyumbang melalui United Nations Trust Fund for AMISOM atau melakukan sumbangan secara bilateral guna mendukung misi AMISOM tersebut.
Selain konflik di dalam negeri negara anggota seperti Somalia, Sudan, Comoros, dan DRC, AU juga berperan sebagai mediator dalam sengketa atau konflik antar negara anggota. Contohnya adalah dalam sengketa perbatasan Ethiopia-Eritrea yang terjadi semenjak kemerdekaan Eritrea dari Ethiopia tahun 1993 dan memicu perang antar kedua negara yang baru berakhir tahun 2000. Namun demikian, proses perdamaian yang dimediasi AU masih menemui jalan buntu karena keberatan Ethiopia atas penemuan komisi internasional yang mengharuskannya untuk menyerahkan wilayah yang dipandang sensitif bagi Ethiopia. AU juga menjadi mediator dalam sengketa antara Eritrea dan Djibouti mengenai sengketa perbatasan.
Beberapa negara anggota yang telah menandatangani pakta pendirian AU yang salah satu tujuannya adalah memajukan prinsip-prinsip dan kelembagaan yang demokratis  dan good governance[x] jelas-jelas telah melanggar prinsip yang ada tersebut sebagaimana yang terjadi di Zimbabwe, Madagaskar dan Niger. Implementasi prinsip-prinsip dalam konstitusi juga tidak merata di negara-negara anggotanya yang menandakan bahwa ambisi bangunan kelembagaan yang diimpikan oleh AU masih merupakan kerangka kerja di atas kertas dan membutuhkan kerja yang sangat keras agar dapat diwujudkan. Dalam bahasa yang digunakan oleh Jennifer Cooke di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, bangunan kelembagaan ini belum mempunyai kedalaman maupun kapasitas.[xi] Selain itu beberapa tindakan dalam AU masih sedikit banyak bergantung pada figur-figur kunci di Afrika atau dalam AU dan dalam beberapa kesempatan persaingan untuk mendapatkan pengaruh dalam organisasi juga menghambat keefektifan lembaga ini.
Pengakhiran berbagai konflik di Afrika yang menjadi salah satu tujuan utama AU memang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang tidak sedikit. Sebagai catatan, sebelum AU berdiri dan memutuskan untuk mengambil peran besar dalam misi perdamaian, PBB telah menjalankan 54 kali misi pemeliharaan perdamaian di Afrika sejak tahun 1948. Sejak 2005, pasukan pemelihara perdamaian PBB di Afrika berjumlah 50.000 dari jumlah keseluruhan 65.000 pasukan pemelihara perdamaian yang digelar PBB di seluruh dunia.[xii]  Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa saat ini norma dan aspirasi baru yang dicoba untuk ditegakkan di Afrika tersebut masih berada dalam tahap awal.
Menurut Prof. Robert Collins, terdapat 3 hal yang menentukan sukses tidaknya misi perdamaian. Ketiga hal tersebut adalah misi yang memiliki tujuan dan rencana yang jelas untuk mencapai perdamaian, ketersediaan sumber dana dan personel yang memadai untuk menunjang misi dan komitmen untuk menjalankan misi dengan sungguh-sungguh.[xiii]  Meskipun fakta di lapangan menunjukkan hal yang berkebalikan dengan pernyataan Prof. Collins, namun AU bertekad untuk membentuk angkatan bersenjata Uni Afrika yang permanen yang disebut sebagai  AU Standby Force sesuai dengan rencana dari PSC. PSC merencanakan untuk memiliki 5-6 brigade yang terdiri atas 3.000-5.000 tentara yang akan bermarkas di seantero Afrika dan mampu merespon setiap gangguan dengan cepat, serta berbicara dalam bahasa yang sama yaitu dalam bahasa Inggris atau Perancis di dalam tingkatan kemiliteran mereka.[xiv] Kendala yang akan terus dihadapi oleh PSC dalam penggelaran pasukan perdamaian Uni Afrika di masa kini dan mendatang nampaknya akan tetap sama: hanya ada beberapa negara Afrika yang mampu mengirimkan pasukan ke negara lain sekaligus menyediakan logistik untuk misi yang berkepanjangan. Contoh negara-negara yang memiliki kemampuan ini adalah Kenya, Uganda, Nigeria dan Afrika Selatan. Dengan situasi seperti ini, maka mau tak mau kesuksesan penggelaran misi perdamaian dalam rangka penegakan prinsip-prinsip dasar AU akan membutuhkan bantuan internasional baik dari segi dana, pelatihan maupun logistik.
B.   Penanganan Masalah Sosial Ekonomi
Di bidang kesehatan, AU telah mengakomodasi the Abuja Declaration on HIV/AIDS, Tuberculosis and other Related Infectious Diseases pada tahun 2001.[xv] Sebagaimana diketahui, HIV/AIDS merupakan salah satu tantangan pembangunan yang harus dihadapi oleh negara-negara Afrika. Melalui deklarasi ini, setidaknya secara politis AU sebagai organisasi regional telah mencoba untuk menghilangkan batasan-batasan politik dan sosial antar negara anggota yang kerap kali menjadi penghambat mobilitas dan aliran sumber daya. Deklarasi juga merupakan pengakuan dari masing-masing pemimpin negara Afrika bahwasanya HIV/AIDS tidak saja merupakan bencana besar di bidang kesehatan namun juga berimbas kepada produktivitas, pembangunan fisik dan sumber daya manusia, serta memiliki pengaruh yang cukup besar bagi stabilitas politik dan pembangunan ekonomi suatu negara. Deklarasi Abuja merupakan wahana bagi AU untuk melakukan sinergi, harmonisasi kebijakan dan koordinasi regional untuk meningkatkan daya tawar negara-negara Afrika. Daya tawar yang kuat akan diperlukan dalam melakukan negosiasi dana, obat, vaksin, dan jenis-jenis produk farmasi lainnya termasuk infrastruktur pelengkap yang diperlukan guna melakukan penanganan dan pengendalian penyakit vis à vis dunia internasional.
Masalah pengungsi dan Internally Displaced Person (IDP) sebagai akibat yang tak terelakkan dari terjadinya konflik juga menjadi titik perhatian utama Uni Afrika. Tahapan-tahapan dalam pencapaian perdamaian mulai dari peacebuilding, peacekeeping hingga peace consolidation menjadi tantangan tersendiri yang harus ditangani dan dipecahkan oleh Uni Afrika. Konflik dalam eskalasi besar seperti yang terjadi di Sudan Selatan dan Somalia maupun dalam bentuk kekerasan sipil maupun perseteruan antar etnis seperti di Guinea, Nigeria (kota Jos), Uganda, dan DRC menyebabkan jutaan orang tercerabut dari akarnya dan dipaksa untuk meninggalkan rumah dan jaringan kemasyarakatannya. Pengungsi dan IDP sangat rawan terhadap pelanggaran HAM karena statusnya. Pengungsi dan IDP juga berpotensi menyebabkan tekanan besar dan gesekan dengan masyarakat di sekitar kamp penampungan mereka yang dapat berpengaruh terhadap situasi politik, keamanan, sosial dan ekonomi di tingkat lokal hingga ke tingkat nasional, bahkan dapat mempengaruhi hubungan antara negara asal dengan negara penampung pengungsi tersebut. Karena dimensi keterkaitan antara pengungsi dan IDP dengan aspek-aspek kehidupan lainnya sangat rumit dan kompleks, maka solusi terhadap permasalahan tersebut haruslah bersifat multidimensi dengan memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan, hak asasi manusia, pembangunan, aspek sosial ekonomi dan keamanan.
Uni Afrika telah mawas diri terhadap fenomena dan imbas yang ditimbulkan oleh pengungsi dan IDP tersebut. The African Union Convention on the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons telah ditandatangani dalam KTT Khusus Uni Afrika di Kampala, Uganda tanggal 22-23 Oktober 2009.[xvi] Konvensi ini merupakan buah pikiran AU sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan IDP, memfasilitasi solusi berkelanjutan terhadap masalah mereka serta berusaha memastikan bahwa IDP tersebut dapat memiliki hidup yang bermartabat dan produktif. [xvii] Konvensi ini merupakan kerangka yang mewadahi pengakuan Uni Afrika bahwa memang terdapat keterhubungan antara pemajuan perdamaian, keamanan dan pembangunan seluruh benua dengan kebutuhan untuk mencermati, menyimak dan menyelidiki penyebab dasar dari munculnya IDP dan (pengungsi) ini. Dalam hal ini, maka konvensi menjadi bagian dari bangun arsitektur Uni Afrika dalam hal keamanan dan pembangunan selain menjadi titik pusat tanggap regional terhadap krisis kemanusiaan dan HAM yang sering menghinggapi benua ini.[xviii]
Penyelesaian komprehensif terhadap masalah IDP dan pengungsi oleh Uni Afrika juga merupakan bagian integral untuk menyelesaikan konflik. Inisiatif regional dari Uni Afrika memang mutlak diperlukan untuk memetakan kompleksitas masalah IDP dan pengungsi ini. Masalah HIV/AIDS serta beragam penyakit menular juga merupakan salah satu muara yang ditimbulkan karena masalah pengungsi dan IDP. Selain pembentukan konvensi-konvensi dalam bidang sosial ekonomi yang bersifat legally binding, penguatan kapasitas kelembagaan negara-negara Afrika guna mengimplementasikan konvensi tersebut di tingkat lokal dan nasional perlu terus dipantau oleh Uni Afrika.

III.    Prospek Satu Afrika (United States of Africa)

Satu Afrika merupakan sebuah ide yang dicetuskan oleh pemimpin Libya, Moammar Khadafi pada saat berlangsungnya KTT AU ke-9 di Acra, Ghana pada awal Juli 2007. Pendukung Satu Afrika berargumen bahwa pada dasarnya Afrika merupakan sebuah plurinasional yang sempat tersendat dan terputus bangunannya saat terjadinya kolonialisme atas Afrika. Dalam istilah Tshiyembe, plurinasional ini adalah sebuah bangsa sosiologis yang didirikan atas dasar karakteristik yang saling berbagi (agama, kaitan darah, bahasa dan sejarah yang sama) dan keinginan untuk hidup bersama yang merupakan awal mula kebangsaan.[xix] Lebih lanjut Satu Afrika juga menyatakan bahwa bingkai teritorial seperti yang dikenal oleh negara bangsa modern (berdasarkan Concert of Wesphalia) lebih sempit dari konsep Afrika tentang wilayah sebagai bingkai tempat hidup karena menyangkut jejaring, bentuk-bentuk pertukaran dan beragam kenangan yang mengikat orang kepada lingkungan dan tempat di sekitar mereka.[xx]  Ditambahkan pula bahwa dalam sebuah wilayah multinasional, setiap warga negara akan memiliki hak untuk memilih dan meninggalkan pemerintah berdasarkan aturan-aturan umum yang dapat diterima. Dengan demikian, akan terdapat dua jenis kewarganegaraan: kewarganegaraan tunggal pada negara federal multinasional, dan kewarganegaraan ganda pada sebuah negara konfederasi multinasional, mirip dengan pendekatan yang digunakan dalam menentukan kewarganegaraan Uni Eropa.[xxi]

Konsep dasar Satu Afrika tersebut dapat dikatakan merupakan satu konsep yang ideal, karena mempertimbangkan aspek-aspek keterikatan tradisional dan sosiologis dari bangunan kemasyarakatan yang hendak dibentuk. Namun demikian, mengingat heterogenitas yang teramat sangat dari Afrika ditambah dengan keengganan secara politis yang sangat kuat dari beberapa negara besar yang telah menikmati perannya sebagai big brother di masing-masing wilayah seperti Nigeria untuk Afrika barat dan Afrika Selatan untuk Afrika bagian selatan, maka Satu Afrika kemungkinan akan sulit diwujudkan dalam jangka 5-10 tahun kedepan. Satu Afrika hanya menarik untuk beberapa negara kecil yang dengan sukarela akan bergabung di bawah perlindungan negara lain yang cukup kuat secara politis dan ekonomis, seperti Togo yang jelas menyatakan mendukung Satu Afrika saat dicetuskan oleh Khadafi. Apalagi ditambah dengan “kebiasaan” beberapa negara untuk turut serta dalam urusan politik dalam negeri negara tetangganya yang memicu atau menjadi bagian dari konflik, seperti yang dilakukan Eritrea kepada Sudan dan Somalia, maka tesis dukungan terhadap Satu Afrika juga melemah. Disamping itu, para pendukung Satu Afrika harus memperhitungkan rivalitas yang tersirat diantara para pemimpin Afrika tentang apa, siapa dan dimana pusat kekuasaan Satu Afrika dibentuk akan sangat mempengaruhi keputusan untuk  merealisasikan sebuah negara multinasional Afrika ini. Ketidakpuasan akan keputusan tersebut akan dapat memicu timbulnya konflik baru yang justru membebani Uni Afrika.


IV.    Manfaat Uni Afrika Bagi Indonesia

Indonesia selayaknya dapat memanfaatkan eksistensi Uni Afrika untuk kepentingan nasional Indonesia. Potensi yang dimiliki secara politis dan ekonomis dari organisasi ini sangatlah besar. Dari sisi politik, Uni Afrika merupakan organisasi yang memiliki prinsip dasar untuk menjunjung demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi dan good governance. ­Semangat ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merangkul Uni Afrika dengan berbagi pengalaman mengenai transformasi dari periode otoritarian semasa Orde Baru menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Peace consolidation yang hendak dilakukan oleh negara-negara Afrika pasca konflik memang akan menghadapi tantangan. Kemiskinan dan ketimpangan sosial terlihat sangat dominan di Afrika. Selain itu, beberapa negara Afrika yang baru saja lepas dari konflik atau yang tengah berkonflik umumnya masih berada pada tahap perekonomian yang belum berkembang. Pertanian umumya masih bersifat subsisten sementara industri masih merupakan infant. Pengungsi atau IDP yang kembali ke negaranya tidak punya banyak pilihan, karena negara juga tidak mampu memberikan pilihan. Banyak negara Afrika pasca konflik belum memiliki prospek rekonstruksi yang cepat ataupun pembangunan ekonomi yang berkelanjutan karena sifat industri yang masih dalam tahap awal tersebut. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa satu dari dua orang Afrika berusia di bawah 14 tahun, sementara di Arika bagian barat, 65% penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Dalam situasi pasca konflik, kelompok umur ini sering terpinggirkan dan rentan untuk direkrut oleh kelompok-kelompok bersenjata untuk menimbulkan kekacauan sipil.[xxii]

Pengidentifikasian akar konflik dan muara konflik yang bersifat multidimensional ditinjau dari sisi ekonomi, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan juga layak mendapatkan dukungan dari Indonesia. Dalam hal ini, sekali lagi, pengalaman luas yang dimiliki oleh Indonesia dalam mengakhiri konflik di NAD, Poso, dan Maluku dapat menjadi bekal berguna untuk berbagi pengalaman dan pemberian capacity building dengan negara-negara anggota Uni Afrika dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang memiliki keterkaitan dengan terjadinya konflik. Pengalaman yang dimiliki Indonesia untuk lebih mengedepankan soft power [xxiii]dalam penyelesaian konflik, condong ke arah rekonsiliasi dan menghindari hard power dapat dibagikan kepada Uni Afrika yang beberapa negara anggotanya cenderung menggunakan hard power untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Indonesia dapat memberikan dukungan untuk terciptanya perdamaian yang abadi, legitimate, dan dapat menjadi dasar pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Uni Afrika memang harus terus melakukan apa yang disebut sebagai “positive peace” yaitu (i) melakukan pemulihan pasca perang seperti pembangunan kembali infrastruktur dan ikatan sosial melalui rekonsiliasi, (ii)menangani penyebab-penyebab konflik seperti ketimpangan, diskriminasi, kemiskinan, dan ketidakamanan struktural, (iii) mengurangi kesempatan-kesempatan yang dapat memunculkan konflik, (iv)menciptakan dukungan dan struktur yang berkesinambungan untuk perdamaian dan pembangunan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan pengembangan ekonomi.[xxiv] Oleh karena itu, dukungan yang diberikan bersifat berkesinambungan, dalam perspektif jangka panjang dan mengaitkan antara aspek keamanan dan pembangunan.

Sebagai sebuah organisasi regional yang besar, Indonesia dapat memanfaatkan Uni Afrika dalam hal pemberian dukungan di fora-fora internasional. Dalam perspektif resiprokal, pemberian dukungan ini akan sangat solid, jika Uni Afrika merasakan benar-benar dukungan yang diberikan oleh Indonesia dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas pembangunan arsitektur regional Afrika yang damai, demokratis dan sesuai prinsip good governance sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Uni Afrika.

Dari sisi ekonomi, Uni Afrika merupakan gabungan hampir 1 milyar penduduk Afrika yang merupakan pangsa pasar potensial untuk produk-produk ekspor Indonesia. Jika jeli membaca peluang, maka hampir seluruh produk consumer goods dapat diserap oleh pasar Afrika, demikian halnya dengan produk pertanian seperti bibit, pupuk, dan mesin pertanian ringan. Pun untuk produk-produk non konvensional seperti persenjataan ringan, penjinak ranjau, hingga kaki dan tangan palsu dapat dijajaki untuk diekspor ke pasar Afrika. Di sektor jasa, Afrika juga merupakan tempat yang memiliki peluang bagus bagi ekspor jasa Indonesia. Tenaga-tenaga terampil Indonesia memiliki peluang besar untuk berkarya di benua tersebut.

Jika dilihat dari kacamata ekonomi-politik serta menengok Konstitusi Uni Afrika, akan jelas terlihat keinginan Uni Afrika untuk mewujudkan setidaknya pasar tunggal Afrika. Hal tersebut terlihat dari adanya organ African Central Bank dan African Investment Bank yang akan menggunakan Special Drawing Rights (SDR) IMF sebagai account unit sampai terbentuknya mata uang tunggal Afrika. Indonesia patut melihat hal ini sebagai peluang guna memasuki pasar Afrika dengan efisien, antara lain akan memudahkan pekerjaan dunia perbankan terkait dengan ekspor-impor.

Dalam rangka keamanan energi, Afrika selayaknya menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Indonesia dapat melirik Afrika sebagai sumber energi minyak untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, pun perusahaan-perusahaan Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Afrika untuk kepentingan Indonesia. BRIC (Brazil, Rusia, India, China) telah jauh bergerak di Afrika untuk melakukan diplomasi energi, memberikan bantuan dengan imbal hasil minyak bumi. Memang harus disadari bahwa kemampuan yang dimiliki Indonesia berbeda dengan RRT atau India. Namun, jika kita jeli melihat celah dan peluang, bukan tak mungkin bahwa Indonesia dapat memanfaatkan keunggulan produk yang dimiliki Indonesia dengan mengetengahkan second track diplomacy sebagai bagian pencapaian kepentingan nasional Indonesia di Afrika.[xxv]  


V.     Penutup   

Uni Afrika merupakan sebuah organisasi regional yang harus menjadi salah satu titik perhatian Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri, karakteristik Uni Afrika yang terdiri atas 53 negara anggota memiliki disparitas tajam dari sisi politis dan ekonomis. Namun terlepas dari masalah tersebut, Uni Afrika selayaknya menjadi salah satu mitra dialog Indonesia, bukan hanya karena jalinan sejarah yang telah berkembang sejak tahun 1955, namun lebih dari itu karena benua Afrika memiliki pesona dan peluang yang harus dapat dimanfaatkan bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia.

Mengingat potensi AU yang besar tersebut dan dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di segala bidang dan tingkatan di Afrika, maka Indonesia perlu menjadi peninjau di AU. Manfaat yang dapat diperoleh Indonesia sebagai peninjau yang terakreditasi adalah dukungan negara-negara Afrika di fora internasional terhadap keutuhan NKRI, khususnya untuk menangkal masalah dan isu separatisme dan terorisme. Selain itu, di fora internasional, Indonesia dapat mengandalkan dukungan dari para anggota Uni Afrika jika akan mencalonkan diri dalam berbagai organisasi internasional.

Indonesia dapat memetik manfaat dengan mendapatkan akses dan informasi faktual serta terkini mengenai isu-isu politik keamanan dan ekonomi yang tengah mengemuka di Afrika dan mendapatkan perhatian dari Uni Afrika jika masuk menjadi peninjau resmi dalam organisasi tersebut. Selain itu, dengan menjadi peninjau terakreditasi, Indonesia dapat mengetahui pandangan resmi Uni Afrika atas berbagai isu global yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk menentukan posisi RI. Dalam kerangka hubungan antar wilayah, peningkatan interaksi antara RI dan Uni Afrika akan membuat Indonesia mampu mendapatkan akses mengenai beragam potensi dan peluang kerjasama yang dapat dikembangkan lebih lanjut, baik dalam kerangka AU maupun dengan negara-negara anggota secara bilateral.

Dapatlah disimpulkan bahwa sudah saatnya Indonesia memperluas lingkaran konsentris politik luar negerinya ke benua Afrika, melalui jalinan kerjasama dengan Uni Afrika. Indonesia dapat menjadi patron dengan berbagi pengalaman dan membantu pembangunan kapasitas negara-negara Afrika di bidang demokratisasi, penegakan hukum, dan penyelesaian konflik sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Uni Afrika. Indonesia dapat pula menggunakan second track diplomacy untuk mendukung jalannya pemajuan ekonomi Indonesia. Pada gilirannya, Indonesia dapat memanfaatkan “popularitas” yang dimilikinya di Afrika untuk mendukung posisi Indonesia dalam berbagai fora internasional terutama yang terkait dengan pemajuan kepentingan nasional Indonesia. 

***
LNS
15 March 2010

























[i] Mo Ibrahim Foundations adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh Dr. Mo Ibrahim, seorang entrepreneur komunikasi dari Sudan. Tujuan pendirian yayasan ini antara lain untuk merangsang debat mengenai good governance di Sub-Sahara Afrika. Ibrahim Index of African Governance merupakan indeks yang disusun oleh Mo Ibrahim Foundations bekerjasama dengan Profesor Robert I. Rotberg dan Profesor Rachel Gisselquist dari Kennedy  School of Government, Harvard University.
[iii] Mwangi S. Kimenyi, Africa’s (Large) 4 Problem, www.brookings.edu/opinions/2009/1015_africa_governance, diunduh 5 Maret 2010.
[v] Stephanie Hanson, The African Union, http://www.cfr.org/publication/11616/african_union.html, diunduh 4 Maret 2010.
[vi] http://unamid.unmissions.org, diunduh 5 Maret 2010.
[vii] Stephanie Hanson, ibid. AU membuat panduan dasar ini berdasarkan rekomendasi dari International Commission on Intervention and State Sovereignty tahun 2001 yang diberi judul The Responsibility to Protect.
[viii] Ibid.
[ix] Constitutive Act of the African Union
[x] Constitutive Act of the African Union, pasal 3 (g).
[xi] Jennifer Cooke, Options for Strengthening the African Union, Hearing on African Organizations and Institutions, 17 November 2005.
[xii] Esther Pan, African Peacekeeping Operations, www.cfr.org/publication/9333/african_peacekeeping_operation, diunduh 5 Maret 2010.
[xiii] ibid
[xiv] ibid
[xvi] Andrew Solomon, (Re)Introducing the African Union Convention on the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons, htttp://www.brookings.edu/articles/2010/0217_african_union_solomon, diunduh 4 Maret 2009.
[xvii] Ibid.
[xviii] Ibid.
[xix] Mwayila Tshiyembe, Inventing the Multination: Would a United States of Africa work?, http://mondediplo.com/2000/09/12africa, diunduh 11 Maret 2010.
[xx] ibid
[xxi] ibid
[xxii] UN Office of the Special Adviser on Africa, Peace Consolidation in Africa: Challenges and Opportunities, Desember 2005,  hal. 7.
[xxiii] Soft power menurut Joseph Nye adalah kemampuan untuk mendapatkan keluaran yang diinginkan melalui jalan lain selain kekerasan.  http://www.huffingtonpost.com/joseph-nye/barack-obama-and-soft-power.html, diunduh 15 Maret 2010.
[xxiv] Ibid.
[xxv] Arifi, Strengthening Indonesia’s Presence in Africa Through Sustainable Economic Approaches, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 19 No. 16, LPM Universitas Padjadjaran, Juni 2009.

No comments:

Post a Comment