Beberapa
minggu terakhir, Maladewa memasuki krisis politik akibat penangkapan sejumlah pemuka
politik dan hakim negeri tersebut, termasuk mantan presiden Abdul Gayoom. Krisis
ini bermula ketika pengadilan membatalkan putusan hukuman untuk 9 pemimpin
oposisi yang dijebloskan ke penjara atau dipaksa mengasingkan diri oleh
Presiden Abdulla Yameen. Presiden Yameen menolak putusan pengadilan tersebut,
mengumumkan keadaan darurat dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah lawan
politiknya.
Salah
satu kritik keras oposisi terhadap Presiden Yameen adalah kebijakan
pemerintahan Yameen untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan
RRT. FTA Maladewa-RRT ini ditandatangani saat kunjungan Presiden Yameen ke
Beijing pada Desember 2017. Pihak oposisi menuduh bahwa efek negatif dari
perjanjian ini adalah semakin bergantungnya Maladewa secara ekonomi kepada RRT.
Bahkan oposisi menyebut bahwa kini utang luar negeri Maladewa ke RRT berjumlah
70% dari keseluruhan utang luar negerinya.
Perebutan Pengaruh RRT –
India
Selain FTA, Maladewa juga menandatangani investasi di bidang
pariwisata dan kerja sama di beberapa bidang lainnya dengan RRT. Namun, India
merasa terancam dengan kedekatan antara Maladewa – RRT. Pada 2017 Presiden Yameen mengizinkan
kapal perang RRT untuk mengunjungi Maladewa, yang langsung mengundang protes
India. India memanggil utusan khusus Maladewa untuk India dan menyampaikan
keprihatinan atas perkembangan hubungan RRT dengan Maladewa.
Persepsi
ancaman yang dirasakan India bertambah karena RRT berhasil menguasai pelabuhan
Hambantota di Sri Lanka sebagai bagian dari debt
swap deal. Lokasi Hambantota yang terletak di bagian selatan Sri Lanka
sangat strategis, karena memiliki akses ke alur pelayaran Samudera Hindia. RRT
mulai menancapkan pengaruhnya di Samudera Hindia sebagai bagian dari strategi Maritime Silk Road RRT. Pendekatan
ekonomi RRT terhadap Maladewa dan Sri Lanka membuat RRT memiliki akses langsung
ke Samudera Hindia dan berlanjut ke Laut Merah, sebagai bagian dari strategi
pengamanan energi RRT dengan Timur Tengah, terutama dengan Arab Saudi.
Times of India melaporkan bahwa India mulai mengalami
beberapa sandungan akibat kedekatan Maladewa dengan RRT. Maladewa mulai
memperlambat proyek pemasangan radar India. Pemerintahan Yameen juga mulai
mengurangi kehadiran India dari atol selatan, dimana RRT menempatkan sebagian
besar proyek investasinya. Proyek investasi RRT yang akan sangat mengusik India
adalah kemungkinan pembangunan pangkalan militer RRT di Atol Laamu yang akan
membuat RRT memiliki akses leluasa ke kanal 1,5 derajat (kanal Suvadiva) yang
sangat penting untuk penguasaan RRT ke Samudera Hindia. RRT juga mengincar
kanal 8 derajat (kanal Maliku Kandu) yang terletak di sebuah atol yang sangat
dekat dengan India.
Upaya “Pembendungan” di Kawasan
Pemimpin
Maladewa mencoba untuk memanfaatkan posisi geografisnya yang strategis untuk
mendapatkan keuntungan dari upaya sejumlah negara besar untuk saling membendung
dan memperebutkan pengaruh di kawasan. Amerika Serikat, India, dan RRT memiliki
kepentingan untuk mempertahankan dan atau memperluas wilayah pengaruhnya di
seputaran Samudera Hindia.
Dalam
National Security Strategy (NSS),
Amerika Serikat menyebutkan pentingnya wilayah Indo-Pasifik yang terbentang
dari pantai barat India hingga pantai barat AS sebagai wilayah yang bebas dan
terbuka. Dengan menempatkan India sebagai “sekutu dan mitra”, Amerika Serikat
ingin memperkuat kemitraan pertahanannya dengan India sekaligus membendung
perluasan pengaruh RRT di kawasan ini. Sementara India berkepentingan
membendung RRT di kawasan anak benua India yang secara tradisional merupakan
wilayah inti perluasan pengaruh politik luar negeri India.
Bagi
RRT, kawasan Samudera Hindia memegang peran kunci. Sejumlah investasi yang
ditanamnya di Maladewa merupakan bagian upaya besar untuk mendapatkan akses
penuh di Samudera Hindia. Selain dengan Maladewa dan Sri Lanka, RRT juga memiliki
kerja sama investasi dengan rival utama India di kawasan, Pakistan. Kerja sama
bertajuk China-Pakistan Economic Corridor
senilai USD 62 triliun tersebut melintasi wilayah Khasmir, yang diperebutkan
antara India dan Pakistan. Upaya-upaya ini sekaligus merupakan reaksi RRT atas
kebijakan negara-negara besar di kawasan yang berupaya membendung perluasan
pengaruhnya.
Arab
Saudi yang terlibat dalam upaya perebutan pengaruh dengan Iran juga memiliki
kepentingan terhadap Maladewa. Rangkaian atol di Maladewa hanya berjarak tiga
jam penerbangan dari pantai terdekat Iran. Pembangunan basis militer RRT dan
atau Arab Saudi di Maladewa akan melengkapi pembangunan secara independen pos
militer kedua negara tersebut di Djibouti, yang merupakan rute kunci ekspor
energi di mulut Laut Merah.
Bagi
Arab Saudi, kehadirannya di Maladewa merupakan upaya untuk meyakinkan RRT bahwa
dibandingkan Iran, Arab Saudi lebih berperan sebagai mitra dalam program
infrastruktur Belt and Road Initiative.
Untuk memuluskan kehadirannya di Maladewa, Arab Saudi selama ini telah memberikan beasiswa keagamaan untuk para
pelajar Maladewa ke berbagai universitas di Arab Saudi.
RRT
telah memperingatkan agar tidak ada satu negarapun yang melakukan intervensi
atas situasi politik di Maladewa. Menteri Luar Negeri RRT, Wang Yi menegaskan
bahwa pemerintahnya mendukung pemerintah Maladewa dan meminta agar masyarakat
internasional memainkan peran konstruktif dalam mendukung stabilitas dan
pembangunan Maladewa. Ucapan RRT ini merupakan peringatan bagi India yang pada
dekade 80an pernah mengirimkan pasukan militernya ke Maladewa untuk
menghentikan kudeta. Pemerintah Maladewa juga menyatakan tidak akan takut akan
adanya intervensi dari negara lain dan menganggap intervensi militer India
adalah “langkah tidak bertanggung jawab dan akan mengganggu hubungan baik
antara kedua negara”.
Kementerian
Luar Negeri Maladewa bahkan telah mengeluarkan pernyataan yang menentang
pernyataan Special Procedures Dewan
HAM PBB yang mengkritik penangkapan dua hakim Mahkamah Agung. Dewan HAM PBB
memandang penangkapan tersebut merupakan serangan terhadap independensi
peradilan. Pemerintah Maladewa menuduh adanya campur tangan asing pada sistem
peradilan, terhadap krisis politik yang tengah terjadi.
India
kemungkinan besar tidak akan mengirimkan militernya ke Maladewa untuk alasan
ekonomi. RRT merupakan pasar besar bagi produk-produk India. Lagipula, India
masih memiliki sejumlah proyek investasi dan kedekatan pertahanan dengan
Maladewa yang harus terus dipelihara untuk dapat membendung pengaruh RRT di
kawasan tradisionalnya.
Ketidakpercayaan sebagai Karakter
Kawasan
Kurangnya
rasa saling percaya antara satu negara besar yang memiliki kepentingan di
kawasan ini dengan negara yang lain menjadi ciri karakter kawasan di seputaran
Samudera Hindia. Sebagai organisasi regional di kawasan, SAARC kekurangan energi
untuk mencari jalan tengah guna menyatukan pandangan dan mencari pemecahan
konflik dan rivalitas. Di sisi lain, negara-negara kecil di kawasan dengan
alasan utama pengembangan ekonomi, mulai mencari alternatif kerja sama baru.
Gayung bersambut. RRT yang tengah mengembangkan dan mengamankan jalur pasokan
energi dan mineralnya dari Timur Tengah dan Afrika mendapatkan tempat di Sri
Lanka, Bangladesh, Pakistan dan Maladewa yang terletak tepat di tengah jalur
yang dibangun RRT.
Dalam
krisis politik di Maladewa, Amerika Serikat memiliki pandangan serupa dengan
India yang merupakan mitra dalam quadrilateral
powers bersama dengan Australia dan Jepang. Amerika Serikat mengkritik
langkah-langkah presiden Yameen yang dianggap tidak demokratis yang memicu
krisis politik saat ini.
India
yang merasa terusik kepentingannya di kawasan tak akan tinggal diam. Apalagi
doktrin kemaritiman India mengemukakan adanya tantangan-tantangan maritim yang
bersifat hibrida, yang mengaburkan batas-batas ancaman tradisional dan non-tradisional.
Dalam hal ini, India akan menggunakan kekuatan angkatan lautnya untuk
melindungi kepentingan nasional dan regionalnya, terutama pengamanan jalur laut
di seputar Samudera Hindia.
Skenario terburuk
yang muncul di kawasan akibat persaingan ini adalah meletusnya konflik fisik
karena perbedaan kepentingan, perasaan terancam, dan rasa terusik akibat
perluasan pengaruh satu kekuatan di wilayah tradisional kekuatan lain. Rasa
ketidakpercayaan yang terus membesar antar kekuatan turut memperkeruh ketegangan
di kawasan. Oleh karena itu, untuk menurunkan ketegangan, perlu penumbuhan
arsitektur keamanan regional yang bersifat inklusif, saling terkait dan
berdasarkan pada norma-norma yang dapat dikerjasamakan. Pelibatan semua aktor
baik yang memiliki pengaruh besar maupun yang memiliki kekuatan lebih kecil
niscaya diperlukan guna mencari titik temu perbedaan, penumbuhan rasa saling
percaya dan mencari wilayah-wilayah kerja sama baru di kawasan.