Monday, January 30, 2017

Diplomasi Budaya, Pembangkit Ingatan Kolektif dan Perekat Hubungan Antar Bangsa

Diplomasi budaya; sejumlah pakar bersepakat bahwa diplomasi budaya merupakan bagian dari  soft power yang menurut Profesor Joseph Nye adalah the ability to persuade through culture, values and ideas, as opposed to 'hard power', which conquers or coerces through military might. Peran soft power dalam bentuk diplomasi budaya sangat signifikan dalam hubungan antar bangsa dewasa ini, sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa diplomasi budaya tidaklah berada di bawah diplomasi politik atau diplomasi ekonomi, karena kesemuanya merupakan komponen yang saling melengkapi dan bersifat intrinsik.

Menurut Richard T. Arndt, diplomasi budaya sangat hemat jika dibandingkan dengan hasil dan dampaknya terhadap hubungan bilateral antar negara. Dalam surveynya, Arndt menyatakan bahwa diplomasi budaya membantu menciptakan dasar-dasar saling percaya antar manusia, yang pada ujungnya dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk mencapai persetujuan di bidang perdagangan, ekonomi dan militer. Diplomasi budaya mendorong manusia dan warga suatu bangsa untuk menghilangkan kecurigaan atas suatu kebijakan, karena memerlukan adanya kolaborasi dengan asumsi adanya kepentingan yang sama. Diplomasi budaya juga menjadi pijakan agenda yang bernilai positif untuk pengembangan kerja sama meskipun mungkin terdapat perbedaan politik, sekaligus menjadi wahana yang lentur dan diterima secara universal untuk mendekati negara-negara yang hubungan diplomatiknya tegang atau malahan tidak memiliki hubungan diplomatik sama sekali.

Berbeda dengan pendekatan perdagangan yang mengedepankan pengenalan produk dengan target peningkatan ekspor yang jika berhasil akan langsung terlihat dalam neraca perdagangan tahun berikutnya, diplomasi budaya memerlukan waktu dan ketekunan, karena tidak langsung terlihat hasilnya secara instan. Untuk meretas jalan budaya agar merasuk dalam sebuah komunitas, diperlukan upaya secara berkelanjutan dan berkesinambungan agar citra dan brand dari sebuah budaya dapat melekat dalam ingatan komunitas target tersebut. Dalam jangka pendek, sebuah kegiatan diplomasi budaya kepada publik setempat yang menjadi target diproyeksikan dalam bentuk pesan-pesan kunci secara konsisten dan kontinyu dengan memberikan gambaran yang realistik dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara dalam jangka panjang, kegiatan diplomasi budaya yang dapat berlangsung selama beberapa tahun atau bahkan dasawarsa dengan individu-individu, lembaga atau komunitas budaya dan masyarakat madani setempat, lembaga-lembaga publik dan otoritas lokal bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

Hubungan Bilateral Indonesia dan Mesir

Dalam perkembangan hubungan antar bangsa, hubungan antara Mesir dan Indonesia termasuk dalam kelompok “dewasa”, yaitu hubungan yang telah berlangsung sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dari sisi hubungan antar masyarakat, keberadaan Ruwaq Jawi di lingkungan kampus Al Azhar pada abad ke-19 mencerminkan keterkaitan hubungan antar manusia yang direkatkan oleh kesamaan agama. Dari sisi hubungan antar pemerintah, Mesir dan Indonesia telah memiliki Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dan Mesir yang ditandatangani pada 16 Juni 1947, yang merupakan salah satu perjanjian pertama yang ditandatangan oleh Pemerintah Indonesia yang berusia muda saat itu. Mesir juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 22 Maret 1946.

Hubungan antara Mesir dan Indonesia dapat dikatakan mencapai puncaknya saat Nasser di Mesir dan Sukarno di Indonesia menjadi pemegang pucuk pemerintahan di masing-masing negara. Kedua pemimpin negara ini menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika yang memiliki tujuan utama dekolonisasi dan pembebasan negara-negara di Asia dan Afrika dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Pada 10 Maret 1955, Perjanjian Kebudayaan antara Indonesia dan Mesir ditandatangani. Perjanjian ini menjadi payung hukum perjanjian di bidang kebudayaan, yang masih berlaku hingga saat ini.
Dalam beberapa dasawarsa berikutnya, hubungan yang sudah “dewasa” ini dalam beberapa segi mengalami stagnasi. Beberapa penyebab umum adalah karena arah perubahan titik berat politik luar negeri Mesir dan Indonesia secara kontemporer.

Politik luar negeri Indonesia kontemporer lebih memperhatikan kedekatan geografis, jadi tidak mengherankan jika dalam satu dasawarsa terakhir, ASEAN dan Asia menjadi garis depan titik perhatian para pengambil keputusan politik di Indonesia. Secara politis, hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika dapat dikatakan bersifat normatif dan dalam beberapa segi menunjukkan peningkatan secara bertahap terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan, yang dalam pemerintahan saat ini menjadi titik berat hubungan. Di sisi berseberangan, perhatian Mesir lebih tersedot ke dalam untuk mengatasi masalah politik dan ekonomi dalam negeri seraya memperkuat diplomasinya yang difokuskan ke wilayah Arab yang memiliki persamaan kultural dan Afrika yang dekat karena letak geografis dan memiliki persinggungan kepentingan. 

Saat ini hubungan Indonesia dan Mesir lebih banyak didominasi oleh hubungan ekonomi, suatu keniscayaan yang tak terhindarkan dalam praktik hubungan antar bangsa dewasa ini. Namun, hubungan ini memerlukan penyeimbang, pembangkit ingatan, pembuka jalan agar dapat berkesinambungan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Tentu saja salah satu pintu masuk termudah adalah melalui budaya, melalui penanaman ingatan kolektif bagi generasi muda Mesir. Sayangnya, garis dasar dan fokus politik luar negeri yang bersimpang jalan antara Indonesia dan Mesir membuat penanaman ingatan kolektif berkelanjutan bagi kedua bangsa menjadi tersendat bahkan terjauhkan.

Dalam situasi sedemikian, ingatan kolektif bangsa Mesir terhadap Indonesia tentu dapat dengan mudah ditebak: terhenti pada masa keemasan ketika Sukarno dan Nasser berkuasa. Hingga saat ini, setiap kali kata Indonesia diucapkan, kalimat balasan yang muncul di ujung lidah bangsa Mesir adalah “Indonesia is Sukarno”. Ingatan kolektif bangsa Mesir seakan terhenti dan terbungkus di lorong waktu 60 tahun yang lalu, tanpa ada jejak kekinian. Sebagian besar generasi muda Mesir tidak memiliki ingatan kolektif kontemporer dan terkini yang langsung dapat ditautkan dengan kata “Indonesia.

Tentunya kita akan merindu dan mengiri dengan diplomasi budaya bangsa lain yang begitu merasuk di Mesir. Korea dengan K-dramanya merajalela di saluran-saluran televisi dengan alih bahasa Arab, di setiap mal dan lokasi pertemuan yang strategis dan hip, selalu ditemukan restoran lokal yang menyajikan ramen dan sushi dari Jepang, bahkan drama-drama Bollywood yang pemutarannya di saluran-saluran televisi Indonesia mengundang kontroversi, baliho promosinya terpampang megah dalam ukuran raksasa di tepi-tepi jalan utama di kota Cairo. Lalu dimana Indonesia?

Membangkitkan Ingatan Kolektif tentang Indonesia di Mesir

Upaya-upaya berkelanjutan untuk membangkitkan ingatan kolektif bangsa Mesir agar terus menerus dapat mengingat eksistensi dan keberadaan saudaranya melalui soft power diplomacy merupakan sebuah keniscayaan yang harus terus menerus dijalankan secara berkesinambungan. Dalam sebuah tulisan, Maurice Halbwachs, seorang sosiolog dan filsuf berargumentasi bahwa semua ingatan individu dibentuk di dalam struktur sosial dan kelembagaan. Menurutnya, ingatan pribadi individu hanya dapat dimengerti melalui konteks kelompok; kelompok ini termasuk keluarga, organisasi dan negara-bangsa. Dengan berbasis pada pendapat Halbwachs, maka interaksi dan persentuhan antara individu-individu sasaran yang tergabung dalam suatu komunitas lokal di Mesir dengan para pelaku diplomasi budaya yang mengusung budaya Indonesia harus terus menerus secara berkelanjutan agar ingatan kolektif mengenai Indonesia di Mesir dapat terus terbentuk dan tidak perlahan menghilang.

Memori yang menyenangkan dalam pengenalan budaya sebuah bangsa selayaknya harus mulai dikembangkan semenjak masa sekolah. Dengan harapan bahwa memori tersebut diingat sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan. Dalam jangka panjang ingatan tersebut terekam sebagai sebuah memori jangka panjang yang rekamannya dapat dimunculkan  kembali dalam ingatan saat dewasa. Beberapa kegiatan pengenalan budaya melalui permainan tradisional, bermain musik tradisional secara interaktif, pertunjukan film dokumenter maupun film berlatar belakang budaya, pertunjukan seni budaya dan tampilan audio visual secara reguler merupakan cara-cara yang dipandang cukup efektif untuk menanamkan memori jangka panjang kepada target yang masih berusia muda.

Pemberian bea siswa budaya maupun bea siswa bergelar juga merupakan salah satu instrumen penting dalam pengenalan dan penanaman memori Indonesia di Mesir. Memori ini bahkan dapat berjangka panjang karena interaksi berbulan atau dalam bilangan tahun di Indonesia akan sangat membekas bagi para penerima beasiswa. Interaksi dan komunikasi, pengalaman yang berdasarkan panca indera, akan membuat para penerima beasiswa menjadi agen promosi Indonesia kontemporer sekembalinya mereka ke Mesir. Umumnya mereka akan terus menjalin hubungan berkelanjutan dengan Indonesia, dan menjadi “teman Indonesia”. Tanpa diminta, mereka akan terus bernostalgia dan menceritakan tentang Indonesia kepada kerabat dan kelompoknya di Mesir.

Pada pokoknya, upaya untuk menggali kembali ingatan kolektif tentang Indonesia di benak warga Mesir dapat dijalankan dengan memperhatikan kecenderungan yang saat ini tengah berkembang, terutama di kalangan generasi mudanya. Menyasar generasi muda Mesir sesungguhnya menjadi tema pokok untuk mengembangkan “keberpihakan” Mesir kepada Indonesia secara kontemporer, yang tidak terjebak lagi dengan nostalgia masa lalu, namun tanpa melupakan masa lalu tersebut. Sebut saja kegairahan generasi muda Mesir terhadap olah raga. Mesir merupakan negara yang penduduknya cukup gemar berolahraga. Seni bela diri silat Indonesia dapat menjadi pintu masuk untuk menarik perhatian generasi muda Mesir guna mencari common ground tentang Indonesia di Mesir. Silat menjadi populer di Mesir sejak diperkenalkan beberapa tahun lalu melalui Pusat Kebudayaan dan Informasi Indonesia di Cairo. Bahkan dalam invitasi pencak silat dunia di Bali beberapa bulan lalu, Mesir mengirimkan dua atlet silatnya untuk berlaga, atas nama Federasi Pencak Silat Mesir.

Tentu saja jenis-jenis dan upaya-upaya untuk membangkitkan kembali ingatan kolektif ini bervariasi dan beragam, tergantung dari kreativitas setiap pihak yang mengemas dan melemparnya kepada warga Mesir. Yang tak kalah pentingnya juga adalah sinergi dari berbagai pihak di Indonesia dan Mesir agar hubungan yang sudah tergolong dewasa ini menjadi “bergizi dan berisi”, tidak lagi berputar pada masa lalu, namun menjadi hubungan yang terbarui, dengan berbagai aspek kontemporer kekinian, yang tidak hanya diminati dan menjadi ranah eksklusif di tingkat pemerintah atau pebisnis, namun juga menjadi bagian dari warga biasa. Upaya yang tak berhenti hanya dalam satu atau dua kali putaran, upaya yang terus menerus dan berkesinambungan untuk menanamkan ingatan kolektif tentang Indonesia di Mesir. Upaya ini harus terus dijalankan agar dalam dekade-dekade mendatang ketika kepemimpinan berganti di kedua negara, Indonesia bukan lagi memori masa lalu yang harus digali dengan susah payah dalam benak bangsa Mesir, namun merupakan kosa kata sehari-hari yang dengan mudah diucapkan, semudah ketika bangsa Mesir melafalkan judul-judul film Bolllywood atau sinetron dari Turki yang gencar memasuki saluran televisi di rumah-rumah bangsa Mesir. Semoga….