Wednesday, October 22, 2014

Paradiplomacy dalam Lingkaran Politik Luar Negeri Indonesia




Konsep Paradiplomacy

Konsep diplomasi secara tradisional yang merupakan ranah milik pemerintah pusat saat ini mengalami pergeseran, dengan masuknya berbagai aktor baru yang juga memainkan peran diplomasi. Saat ini, sudah merupakan hal yang jamak bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja yang memiliki peran dalam hubungan antar negara, namun dalam beberapa segi, pemerintah daerah dari berbagai negara juga berperan dalam hubungan internasional.

Diplomasi dengan aktor pemerintah daerah disebut sebagai paradiplomacy. Penyebutan paradiplomacy ini menunjuk pada suatu konsep kapasitas kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh entitas sub-negara, yang dijalankan di arena internasional untuk tujuan tertentu. [i] Dalam menjalankan diplomasi, aktor sub-nasional ini dapat mendirikan perwakilan dan memiliki kontak formal maupun informal, permanen maupun ad hoc, dengan entitas pemerintah maupun swasta asing, dengan tujuan memajukan kepentingan sosial ekonomi atau politik maupun dimensi kepentingan lainnya, yang sesuai dengan amanat konstitusional atau kompetensi yang dimilikinya.[ii] Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa aktivitas atau lapisan paradiplomacy meliputi tiga bidang yaitu politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.

Motivasi terkuat yang melatarbelakangi munculnya keinginan daerah untuk melakukan kegiatan diplomasi adalah faktor ekonomi. Tujuan daerah untuk melakukan paradiplomacy dalam hal ini adalah untuk menarik investasi asing, menarik perusahaan multinasional ke wilayahnya, dan menargetkan pasar ekspor baru. Fungsinya tertuju semata untuk berkompetisi di tingkat global, sehingga tidak memiliki faktor politik sama sekali.

Lapisan kedua melibatkan kerja sama (budaya, pendidikan, teknik, dan lain sebagainya). Dalam hal ini, paradiplomacy lebih luas cakupannya dan lebih multidimensi, karena tidak hanya berfokus pada perolehan ekonomi. Sementara lapisan ketiga melibatkan segi politik, dimana paradiplomacy lebih mengetengahkan identitas yang berbeda dari identitas yang dimunculkan oleh pemerintah pusat. Beberapa wilayah di Eropa seperti Flanders, Catalonia dan Basque serta Quebec di Kanada memunculkan paradiplomacy ini. Dalam hal ini, daerah berupaya membentuk serangkaian hubungan internasional yang akan menegaskan kekhususan (distinctiveness) budaya, otonomi politik dan karakter bangsa atau sub-nasional masyarakat yang mereka wakili.[iii] Namun, patut dicatat bahwa seluruh kegiatan paradiplomacy memiliki komponen ekonomi, dengan penambahan elemen-elemen lain seperti kerja sama maupun menjurus ke politik.

Letak geografis yang berbatasan juga merupakan sarana pencetus munculnya paradiplomacy. Regionalisme lintas batas sering didasarkan pada logika untuk memanfaatkan sumber daya alam secara ekonomis atau kesamaan budaya yang dipisahkan oleh batas buatan. Hal ini misalnya diterapkan dalam ASEAN melalui pembentukan IMT-GT atau Sijori. Sementara kerja sama antar daerah yang tidak berbatasan didasarkan pada kepentingan bersama yang sifatnya fungsional dan mengambil manfaat dari sumber daya yang dapat digunakan secara bersama.

Untuk menjamin suksesnya paradiplomacy, diperlukan pemahaman mengenai kekuatan yang akan melengkapi kemitraan antar daerah ini dan bagaimana hal ini dapat tercapai. Kerja sama dalam bidang lingkungan hidup, pengembangan infrastruktur, dan pertukaran budaya merupakan jenis kerja sama yang paling mudah untuk dilakukan dalam kerangka paradiplomacy. Sementara kerja sama dalam hal menarik FDI dipandang lebih sulit. Jika paradiplomacy difokuskan pada pengembangan ekonomi, khususnya untuk menarik FDI, maka diperlukan strategi tertentu seperti menargetkan jenis investasi tertentu untuk melengkapi perekonomian daerah yang telah ada atau untuk mengembangkan kluster ekonomi khusus. Daerah juga harus mempelajari insentif yang akan dikemas seperti insentif keuangan, pajak, lokasi dan dukungan infrastruktur. Untuk kerja sama di bidang UKM yang memerlukan bantuan untuk pasar dan promosi ekspor, daerah yang akan bersinergi dalam kerja sama internasional ini perlu memetakan komplementaritas dan sinergi untuk meningkatkan daya saing pasar.

Menurut Profesor Michael Keating dari Universitas Aberdeen, Skotlandia, daerah yang akan bekerja sama perlu menekankan kejelasan, siapa yang akan memerlukan dan mendapatkan keuntungan dari kerja sama antar daerah ini. Kerja sama yang dipandang paling mungkin sukses adalah kerja sama yang ditujukan untuk pengembangan UKM dan dititikberatkan pada masalah spesifik. Yang tak kalah pentingnya, daerah yang akan melakukan kerja sama memiliki tingkat pembangunan yang sama, atau paling tidak memiliki kebutuhan yang dapat saling melengkapi, memiliki keahlian dan sumber daya.[iv]

Prasyarat kedua untuk suksesnya kerja sama antar daerah adalah prasyarat kelembagaan, yaitu adanya  unsur dari pemerintah daerah yang bertindak sebagai interlocutor (penghubung dan penengah) yang akan menjembatani dan mengumpulkan berbagai kepentingan yang ada di wilayah tersebut. Ketiga, daerah yang akan bekerja sama memiliki struktur, kewenangan dan kekuatan yang serupa. Prasyarat ketiga ini diperlukan agar tidak terjadi ketimpangan, misalnya salah satu daerah memiliki kewenangan legislatif, administratif dan keuangan yang tinggi sementara daerah yang akan diajak bekerja sama hanya memiliki status kota tanpa kewenangan tinggi.[v]


Pengejawantahan Paradiplomacy di Indonesia

Dalam UU no. 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah, terdapat kewenangan daerah otonom untuk melakukan sebagian kerja sama luar negeri. Hal ini tercantum dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU ini menjadi landasan hukum pelaksanaan paradiplomacy oleh pemerintah daerah di Indonesia, selain tentunya UU no.24/2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam praktiknya, umumnya bentuk kerja sama antar daerah antara Indonesia dengan negara lain adalah sister city/province.[vi] Kerja sama ini umumnya dibentuk dengan dasar pemikiran untuk meningkatkan saling pemahaman atas potensi yang dapat dikerjasamakan antara dua provinsi atau kota yang ada di Indonesia dengan mitranya di negara lai. Kerja sama yang dibentuk umumnya berada di ranah ekonomi dan sosial budaya. Hal ini juga dapat diartikan bahwa dengan sistem desentralisasi yang dianut dalam pengaturan administrasi pemerintahan dalam negeri di Indonesia, pemerintah daerah mulai berpikiran outward looking, mencari potensi kerja sama dengan wilayah lain yang mampu melengkapi dan mendorong pembangunan daerahnya secara komprehensif, inklusif dan kompetitif dan berlandaskan semangat untuk memberi kemanfaatan bagi kedua belah pihak.

Namun demikian, dari sekian banyak kerja sama sister province/city yang ditandatangani oleh pemerintah daerah di Indonesia dengan mitra-mitranya dari negara lain, masih sering dijumpai ketidakefektifan kerja sama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena proses “matchmaking” yang dilalui tidak melalui analisis mendalam; kurangnya pemfokusan kerja sama; kebutaan terhadap kebutuhan, potensi, persamaan dan komplementaritas sektor-sektor yang akan dikerjasamakan serta keunggulan masing-masing daerah yang akan dijadikan sister province/city. Terkadang pula terjadi pembuatan MoU yang sifatnya tergesa-gesa karena mengejar rencana kunjungan tingkat tinggi, sehingga analisis kebutuhan, keunggulan, kelemahan dan komplementaritas terlewatkan. Akibatnya, pasca penandatanganan MoU, kerja sama yang terlihat rosy di atas kertas tidak terwujud atau tidak efektif, hingga masa berlaku MoU berakhir.

Di lain pihak, jika kita sekilas, maka kegiatan paradiplomacy pemerintah daerah di Indonesia yang berhasil umumnya adalah dengan pemerintah provinsi/kota di negara maju, dimana pihak Indonesia menerima manfaat lebih dalam hal kerja sama teknik, ekonomi, pertukaran budaya, akademis, dan pariwisata. Contohnya adalah kerja sama sister province antara DIY dengan Kyoto Prefecture Jepang, yang dimulai tahun 1985, dan diperbarui kembali melalui Reaffirmation of The Sister Agreement Between Yogyakarta Special Region, Republic of Indonesia, and Kyoto Perfecture, pada 20 Oktober 2010.[vii]

Mengingat bahwa filosofi kerja sama dalam Sister Province/City umumnya adalah goodwill, semangat untuk saling mengenal, mempromosikan potensi dan saling menguntungkan, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengefektifkan setiap potensi kerja sama, sektor yang akan dikerjasamakan, keunggulan dan komplementaritas yang dapat ditawarkan oleh setiap daerah yang akan dijadikan target kerja sama Sister Province/City.

Usulan

Pemerintah pusat c.q. Kementerian Dalam Negeri kiranya dapat memetakan potensi dan sektor unggulan setiap daerah kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia, dalam bentuk database. Hal ini akan sangat membantu jika perwakilan RI menerima usulan dari mitra setempat maupun berinisiatif untuk menjajaki kerja sama sister province/city. Pemetaan secara rinci akan menghindarkan besarnya probabilitas ketidakefektifan kerja sama, “meraba-raba” provinsi atau kota/kabupaten mana yang dipandang pas untuk dijadikan kota/provinsi kembar, dan menghindari perjanjian yang “tidur” setelah ditandatangani karena mismatching baik dalam hal pemilihan sektor maupun pemilihan daerah yang dikerjasamakan.

Perlunya updating secara berkala daerah mana saja di Indonesia yang memiliki hubungan dengan wilayah lain di luar negeri dan status terakhir perjanjian yang dimiliki. Hal ini untuk menghindarkan penumpukan adanya daerah tertentu yang memiliki banyak perjanjian sister province/city, sementara terdapat kota/kabupaten atau provinsi lain yang belum pernah memiliki perjanjian serupa. Tujuan akhirnya adalah agar semua wilayah di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan dan mendapatkan kesempatan untuk berhubungan dengan mitra-mitranya di negara lain yang akan memberikan kemanfaatan kemajuan pembangunan di daerahnya.

Perlunya kemudahan untuk mengakses hasil pemetaan dan updating tersebut pada butir (14) dan (15) bagi perwakilan RI di seluruh dunia. Jika memang diperlukan, kiranya juga ada one desk service di salah satu instansi terkait yang menangani paradiplomacy ini, yang berguna untuk mendapatkan informasi terbaru atau untuk menanyakan hal-hal terkait dengan sister province/city, status terakhir, tata cara pengajuan perjanjian, dan hal-hal terkait lainnya.

Penutup

Kebijakan luar negeri, pertahanan negara, kebijakan moneter dan fiskal secara tradisional merupakan ranah kekuasaan pemerintah pusat. Namun demikian, dengan perkembangan hubungan internasional saat ini yang telah melibatkan non-state actors, keterlibatan pemerintah daerah dalam arena internasional akan memperkaya khasanah hubungan antar bangsa. Partisipasi daerah dalam kegiatan paradiplomacy akan melengkapi dan memberikan kemanfaatan dalam pembangunan negara secara komprehensif.

Pemerintah pusat tetap merupakan pemegang kebijakan tertinggi dalam kebijakan luar negeri, terlepas dari seberapa besar otonomi yang dimiliki daerah. Pemerintah pusat tetap harus mengarahkan partisipasi daerah di arena internasional, setidak-tidaknya untuk memastikan koherensi dengan kebijakan luar negeri.



[i] Stefan Wolff, Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges, www.stefanwolff.com/files/Paradiplomacy.pdf.

[ii] Noé Cornago, Exploring the Global Dimensions of Paradiplomacy Functional and Normative Dynamics in the Global Spreading of Subnational Involvement in International Affairs, October 2000, http://www.forumfed.org/en/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-int-cornago.pdf

[iii] André Lecours, Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

[iv] Michael Keating, Paradiplomacy and Regional Networking, www.forumfed.org/libdocs/ForRelCU01/924-FRCU0105-eu-keating.pdf

[v] Keating, idem.

[vi] Kerja sama khusus berupa pemberian bantuan kemanusiaan pernah dilakukan oleh Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau untuk para pengungsi Somalia pada tahun 2011.

[vii] Takdir Ali Mukti, Laporan Penelitian tentang kerjasama luar negeri yg dilakukan oleh Pemda DIY antara 2003-2012, hal 18-27,  komunikasi melalui surat elektronik tanggal 19 Maret 2014.