ASEAN secara kolektif merupakan kekuatan
ekonomi terbesar ke-6 di dunia, dengan PDB USD 2,55 triliun (2016) dan jumlah penduduk
lebih dari 600 juta jiwa. Saat ini, ekonomi digital semakin menentukan
pertumbuhan ekonomi ASEAN. Keamanan siber memegang peranan terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi digital di ASEAN, yang saat ini menghasilkan pendapatan
sebesar USD 150 triliun setiap tahunnya.
Keamanan siber juga memegang peran vital
dalam rangka memajukan lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang
damai, aman, dan terbuka. Bank Dunia dan Google memperkirakan bahwa pada tahun
2020, lebih dari 483 juta penduduk ASEAN-6 akan merupakan pengguna internet. Sementara
dari 10 negara yang merupakan pengguna terbesar Facebook di dunia, empat
diantaranya merupakan negara anggota ASEAN: Indonesia, Filipina, Viet Nam dan
Thailand. Laporan dari Google dan Temasek menyatakan bahwa rata-rata tingkat
pertumbuhan pengguna internet di ASEAN-6 untuk 2016-2020 diperkirakan sebesar
14%. Rata-rata tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan RRT sebesar 4%
dan 1% untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan jumlah pengguna sebesar itu,
maka teknologi informasi dan komunikasi yang aman merupakan prioritas.
Keamanan siber juga mendukung perbaikan taraf
hidup dan kehidupan warga di negara-negara anggota ASEAN, salah satunya melalui
pendidikan jarak jauh (e-learning). Kemenristekdikti menyatakan bahwa pendidikan jarak jauh di
Indonesia ditujukan untuk meningkatkan
perluasan dan pemerataan akses pendidikan, serta meningkatkan mutu dan
relevansi pendidikan. Penggunaan internet untuk pendidikan jarak
jauh dipandang memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan sistem belajar offline, di
antaranya menghemat waktu belajar, biaya, serta lebih efektif. Pendidikan
jarak jauh juga memiliki keunggulan
fleksibilitas waktu, tidak adanya batas usia pembelajar, kebebasan menentukan
jalur dan jenis pendidikan serta Situs
docebo.com menyatakan bahwa jumlah keseluruhan pasar pendidikan jarak
jauh mencapai USD 51,5 miliar pada tahun 2016
dengan angka pertumbuhan rata-rata per tahun 7,9 persen di seluruh
dunia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang mencatatkan total
pertumbuhan pasar pendidikan jarak jauh rata-rata sebesar 25 persen,
melebihi rata-rata di Asia (sebesar 17,3%) dan seluruh dunia setiap tahunnya.
Salah satu tolok ukur untuk mewujudkan
kawasan ASEAN yang aman, damai, makmur dan sejahtera, adalah konektivitas
regional dan keamanan siber yang baik. Untuk itulah, para pemimpin
negara-negara anggota ASEAN telah menelurkan sebuah Pernyataan Para Pemimpin
ASEAN Mengenai Kerjasama Keamanan Regional (ASEAN
Leader’s Statement on Cyber Security Cooperation) yang disahkan saat
berlangsungnya KTT ASEAN ke-32 di Singapura pada April 2018. Inti dari
Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini adalah menegaskan pentingnya penguatan kerja
sama dan koordinasi diantara negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan
kebijakan keamanan siber dan berbagai inisiatif pengembangan kapasitas untuk
memajukan norma-norma siber yang tidak
mengikat dan bersifat sukarela. Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini juga
mengakui perlunya seluruh negara anggota ASEAN untuk menjalankan
langkah-langkah pembangunan rasa saling percaya (confidence-building measures) yang bersifat praktis yang bertujuan
untuk meningkatkan kepercayaan dalam penggunaan ruang siber (cyberspace) menuju kemakmuran ekonomi
regional dan integrasi. Di tingkat praktis, kerja sama siber di ASEAN dilakukan
oleh beberapa lembaga di bawah kerangka ASEAN yaitu ASEAN Telecommunications and Information Technology Ministers Meeting
(TELMIN), ASEAN Regional Forum Inter-Sessional Meeting on Information and
Communication Technology (ARF ISM on ICT), ASEAN Defence Ministerial Meeting
(ADMM), dan Senior Officials’ Meeting
on Transnational Crime (SOMTC).
Tantangan Pengembangan
Kerja Sama Keamanan Siber di ASEAN
Meskipun
dasar-dasar pengembangan keamanan siber di kawasan telah terbentuk, namun ASEAN
masih akan menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan kerja sama
keamanan siber. Tentu saja kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup di era
dimana pemerintah, kelompok-kelompok politik, kriminal dan perusahaan terlibat
dalam spionase siber (cyberespionage).
Ketika kelompok-kelompok masyarakat kian tergantung pada teknologi, kemampuan
untuk mematikan atau merusak infrastruktur, mengambil alih mesin dan kendaraan
dan secara langsung menyebabkan hilangnya nyawa manusia menjadi kenyataan. Menurut
Australian Computer Society, ancaman
terbesar dalam keamanan siber saat ini adalah proliferasi dalam skala besar
dengan serangan yang ditargetkan, mulai dari peretasan dan distribusi surat
elektronik hingga ransomware yang
direkayasa secara sosial untuk menimbulkan serangan terhadap infrastruktur
penting seperti jejaring energi. Indonesia
Security Incidents Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII)
mencatat bahwa terdapat sekitar 89 juta serangan melalui dunia maya yang
melanda Indonesia pada tahun 2016. Masih pada tahun 2016, tercatat 2.800
kejahatan siber yang dilaporkan kepada Polri, baik dari tingkat nasional maupun
negara lain. Kasus kejahatan siber di Indonesia antara lain adalah phishing, perjudian siber, penipuan
dalam bidang perdagangan, dan pornografi anak.
Kedua, tantangan siber di ASEAN kian besar
saat negara-negara anggota ASEAN berupaya menyeimbangkan peluang-peluang yang
dapat diraup dari ekonomi digital—yang merupakan pendorong utama kemajuan
ekonomi dan teknologi—dengan tantangan-tantangan yang muncul karena makin
canggihnya ancaman-ancaman siber di dalam dunia yang kian terhubung. Asia Foundation menyatakan bahwa pada
2025, belanja daring (online shopping)
akan meningkat sebesar enam kali lipat menjadi USD 200 triliun. Sebagian besar belanja
daring ini adalah untuk produk-produk elektronik, pakaian, peralatan rumah
tangga, dan untuk bepergian ke berbagai kawasan. Peningkatan belanja daring ini
dapat diterjemahkan sebagai tumbuh suburnya kelas menengah dan pertumbuhan
tenaga kerja di kawasan. Pada saat yang bersamaan, terdapat sisi negatif
transformasi ekonomi digital, dengan adanya cyberterrorism,
penipuan siber, penyebaran berita palsu dan pencurian identitas.
Ketiga, digitalisasi yang kian meluas di wilayah
Asia Tenggara yang merupakan wilayah yang strategis dan berkembang cepat
menjadikan Asia Tenggara sangat rentan menjadi target serangan siber (cyber-attacks). Negara-negara anggota
ASEAN telah pernah menjadi lokasi peluncuran serangan-serangan siber, baik
sebagai tempat subur yang rentan karena infrastruktur yang tidak aman, atau
sebagai hub yang terhubung baik untuk
melancarkan serangan. Selain itu, ASEAN juga memiliki defisiensi jumlah tenaga
ahli untuk menghadapi ancaman siber. Sebagai contoh, Malaysia memiliki 6.000
tenaga professional keamanan siber, namun diperkirakan negara ini akan
memerlukan sekitar 10.000 tenaga pada 2020.
Keempat, memberikan perhatian terhadap keamanan siber merupakan jalan efektif
untuk membantu generasi mendatang memahami pentingnya keselamatan virtual. Saat
ini, kelompok-kelompok muda menghadapi sejumlah resiko ancaman siber, mulai
dari peretas (hacker) yang mencoba
untuk memanfaatkan kelengahan pengguna internet untuk meretas informasi pribadi
hingga orang-orang yang melakukan perundungan siber (cyber bullying), pelecehan dan mempermalukan secara sosial.
Pendekatan proaktif untuk keamanan siber akan membantu generasi mendatang untuk
mendapatkan pelajaran bagaimana menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan
rasa percaya diri dan efektif.
Kelima, Experts and Eminent Persons dalam ASEAN Regional Forum (ARF EEP) menyatakan bahwa terdapat sejumlah
kendala dalam pengembangan keamanan siber di kawasan seperti kurangnya rasa
saling percaya dalam pengembangan informasi infrastruktur, perbedaan
kepentingan dalam hal keamanan nasional, perbedaan persepsi nasional terkait
dengan ancaman dan tantangan ruang siber, ketidakmampuan kerangka domestik
untuk menangkal ancaman siber, kegagalan untuk mengikutsertakan seluruh pemangku
kepentingan untuk menangani tantangan-tantangan siber, dan keterbatasan serta
kesenjangan kapabilitas dan kemampuan siber dan teknologi informasi.
Rekomendasi Pengembangan Keamanan Siber
Pengembangan
dan pemajuan kerja sama siber di ASEAN dapat ditingkatkan melalui pertama, dengan meningkatkan tanggung
jawab pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Hal ini diwujudkan dengan
koordinasi antar negara untuk menanggapi insiden siber dan penggunaan TIK oleh
pelaku kriminal dan teroris, berbagi informasi hukum, aturan dan strategi yang
berhubungan dengan keamanan siber dan memfasilitasi komunikasi dan berbagi
informasi, terutama disaat insiden siber dipandang berpotensi mengancam
stabilitas regional. Dengan adanya kerja sama antar pemerintah negara-negara
anggota ASEAN, maka resiko kesalahan persepsi, kesalahan perhitungan dan
peningkatan ketegangan yang dapat mengarah ke konflik akan dapat dikurangi.
Kedua,
memperluas kerja sama
dengan semua pemangku kepentingan yang relevan untuk lebih
terlibat dalam diskursus dan pembuatan kebijakan keamanan siber serta
memperluas kemitraan pemerintah-swasta. Para
pemangku kepentingan dapat menggunakan model-model best-practices untuk menilai status nasional dan kemajuan
implementasi kebijakan-kebijakan keamanan siber.
Ketiga, memperkuat pembangunan kapasitas dan memajukan kerja sama lintas
regional. Langkah-langkah ini dijalankan dengan mempelajari pelibatan lintas
kawasan berbagai organisasi multilateral dalam hal keamanan siber, maupun kerja
sama intra kawasan dengan berbagai mekanisme dan inisiatif regional serta
bagaimana organisasi-organisasi regional lainnya menangani tantangan-tantangan
siber yang kian membesar.
Keempat, membangun langkah-langkah saling percaya (confidence building measures) dengan memajukan keamanan siber
sebagai prioritas keamanan nasional. Seluruh pemangku kepentingan harus
mendukung kerja sama keamanan siber untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi. Sebagai langkah pertama pembangunan rasa saling percaya,
negara-negara di kawasan dapat menggunakan laporan dari UN GGE (United Nations Group of Governmental Experts on Developments in
the Field of Information and Telecommunications in the Context of International
Security) tahun 2015 yang berjudul “Developments
in the Field of ICT in the context of International Security” sebagai panduan.
Kelima, memajukan kerja sama teknik
di kawasan dengan saling dukung dan kerja sama dalam sektor-sektor khusus
termasuk Mutual Legal Assistance dan
kerja sama CERT/CSIRT (Computer Emergency
Response Team/Computer Security Incident Response Team). Selain itu,
negara-negara anggota ASEAN dapat berbagi informasi mengenai berbagai
kerentanan yang mempengaruhi keamanan teknologi dan informasi komunikasi serta
cara-cara menutup kerentanan tersebut melalui protokol dan perlindungan kanal
komunikasi.