Tuesday, July 17, 2018

Pengembangan Keamanan Siber di ASEAN

ASEAN secara kolektif merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke-6 di dunia, dengan PDB USD 2,55 triliun (2016) dan jumlah penduduk lebih dari 600 juta jiwa. Saat ini, ekonomi digital semakin menentukan pertumbuhan ekonomi ASEAN. Keamanan siber memegang peranan terpenting dalam pertumbuhan ekonomi digital di ASEAN, yang saat ini menghasilkan pendapatan sebesar USD 150 triliun setiap tahunnya.

Keamanan siber juga memegang peran vital dalam rangka memajukan lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang damai, aman, dan terbuka. Bank Dunia dan Google memperkirakan bahwa pada tahun 2020, lebih dari 483 juta penduduk ASEAN-6 akan merupakan pengguna internet. Sementara dari 10 negara yang merupakan pengguna terbesar Facebook di dunia, empat diantaranya merupakan negara anggota ASEAN: Indonesia, Filipina, Viet Nam dan Thailand. Laporan dari Google dan Temasek menyatakan bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan pengguna internet di ASEAN-6 untuk 2016-2020 diperkirakan sebesar 14%. Rata-rata tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan RRT sebesar 4% dan 1% untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan jumlah pengguna sebesar itu, maka teknologi informasi dan komunikasi yang aman merupakan prioritas.

Keamanan siber juga mendukung perbaikan taraf hidup dan kehidupan warga di negara-negara anggota ASEAN, salah satunya melalui pendidikan jarak jauh (e-learning). Kemenristekdikti  menyatakan bahwa pendidikan jarak jauh di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan akses pendidikan, serta meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan. Penggunaan internet untuk pendidikan jarak jauh dipandang memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan sistem belajar offline, di antaranya menghemat waktu belajar, biaya, serta lebih efektif. Pendidikan jarak jauh juga memiliki keunggulan fleksibilitas waktu, tidak adanya batas usia pembelajar, kebebasan menentukan jalur dan jenis pendidikan serta  Situs docebo.com menyatakan bahwa jumlah keseluruhan pasar pendidikan jarak jauh mencapai USD 51,5 miliar pada tahun 2016 dengan angka pertumbuhan rata-rata per tahun 7,9 persen di seluruh dunia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang mencatatkan total pertumbuhan pasar pendidikan jarak jauh rata-rata sebesar 25 persen, melebihi rata-rata di Asia (sebesar 17,3%) dan seluruh dunia setiap tahunnya.

Salah satu tolok ukur untuk mewujudkan kawasan ASEAN yang aman, damai, makmur dan sejahtera, adalah konektivitas regional dan keamanan siber yang baik. Untuk itulah, para pemimpin negara-negara anggota ASEAN telah menelurkan sebuah Pernyataan Para Pemimpin ASEAN Mengenai Kerjasama Keamanan Regional (ASEAN Leader’s Statement on Cyber Security Cooperation) yang disahkan saat berlangsungnya KTT ASEAN ke-32 di Singapura pada April 2018. Inti dari Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini adalah menegaskan pentingnya penguatan kerja sama dan koordinasi diantara negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan kebijakan keamanan siber dan berbagai inisiatif pengembangan kapasitas untuk memajukan norma-norma siber yang tidak mengikat dan bersifat sukarela. Pernyataan Para Pemimpin ASEAN ini juga mengakui perlunya seluruh negara anggota ASEAN untuk menjalankan langkah-langkah pembangunan rasa saling percaya (confidence-building measures) yang bersifat praktis yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dalam penggunaan ruang siber (cyberspace) menuju kemakmuran ekonomi regional dan integrasi. Di tingkat praktis, kerja sama siber di ASEAN dilakukan oleh beberapa lembaga di bawah kerangka ASEAN yaitu ASEAN Telecommunications and Information Technology Ministers Meeting (TELMIN), ASEAN Regional Forum Inter-Sessional Meeting on Information and Communication Technology (ARF ISM on ICT), ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM), dan Senior Officials’ Meeting on Transnational Crime (SOMTC).

Tantangan Pengembangan Kerja Sama Keamanan Siber di ASEAN

Meskipun dasar-dasar pengembangan keamanan siber di kawasan telah terbentuk, namun ASEAN masih akan menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan kerja sama keamanan siber. Tentu saja kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup di era dimana pemerintah, kelompok-kelompok politik, kriminal dan perusahaan terlibat dalam spionase siber (cyberespionage). Ketika kelompok-kelompok masyarakat kian tergantung pada teknologi, kemampuan untuk mematikan atau merusak infrastruktur, mengambil alih mesin dan kendaraan dan secara langsung menyebabkan hilangnya nyawa manusia menjadi kenyataan. Menurut Australian Computer Society, ancaman terbesar dalam keamanan siber saat ini adalah proliferasi dalam skala besar dengan serangan yang ditargetkan, mulai dari peretasan dan distribusi surat elektronik hingga ransomware yang direkayasa secara sosial untuk menimbulkan serangan terhadap infrastruktur penting seperti jejaring energi. Indonesia Security Incidents Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) mencatat bahwa terdapat sekitar 89 juta serangan melalui dunia maya yang melanda Indonesia pada tahun 2016. Masih pada tahun 2016, tercatat 2.800 kejahatan siber yang dilaporkan kepada Polri, baik dari tingkat nasional maupun negara lain. Kasus kejahatan siber di Indonesia antara lain adalah phishing, perjudian siber, penipuan dalam bidang perdagangan, dan pornografi anak.

Kedua, tantangan siber di ASEAN kian besar saat negara-negara anggota ASEAN berupaya menyeimbangkan peluang-peluang yang dapat diraup dari ekonomi digital—yang merupakan pendorong utama kemajuan ekonomi dan teknologi—dengan tantangan-tantangan yang muncul karena makin canggihnya ancaman-ancaman siber di dalam dunia yang kian terhubung. Asia Foundation menyatakan bahwa pada 2025, belanja daring (online shopping) akan meningkat sebesar enam kali lipat menjadi USD 200 triliun. Sebagian besar belanja daring ini adalah untuk produk-produk elektronik, pakaian, peralatan rumah tangga, dan untuk bepergian ke berbagai kawasan. Peningkatan belanja daring ini dapat diterjemahkan sebagai tumbuh suburnya kelas menengah dan pertumbuhan tenaga kerja di kawasan. Pada saat yang bersamaan, terdapat sisi negatif transformasi ekonomi digital, dengan adanya cyberterrorism, penipuan siber, penyebaran berita palsu dan pencurian identitas.

Ketiga, digitalisasi yang kian meluas di wilayah Asia Tenggara yang merupakan wilayah yang strategis dan berkembang cepat menjadikan Asia Tenggara sangat rentan menjadi target serangan siber (cyber-attacks). Negara-negara anggota ASEAN telah pernah menjadi lokasi peluncuran serangan-serangan siber, baik sebagai tempat subur yang rentan karena infrastruktur yang tidak aman, atau sebagai hub yang terhubung baik untuk melancarkan serangan. Selain itu, ASEAN juga memiliki defisiensi jumlah tenaga ahli untuk menghadapi ancaman siber. Sebagai contoh, Malaysia memiliki 6.000 tenaga professional keamanan siber, namun diperkirakan negara ini akan memerlukan sekitar 10.000 tenaga pada 2020.

Keempat, memberikan perhatian terhadap keamanan siber merupakan jalan efektif untuk membantu generasi mendatang memahami pentingnya keselamatan virtual. Saat ini, kelompok-kelompok muda menghadapi sejumlah resiko ancaman siber, mulai dari peretas (hacker) yang mencoba untuk memanfaatkan kelengahan pengguna internet untuk meretas informasi pribadi hingga orang-orang yang melakukan perundungan siber (cyber bullying), pelecehan dan mempermalukan secara sosial. Pendekatan proaktif untuk keamanan siber akan membantu generasi mendatang untuk mendapatkan pelajaran bagaimana menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan rasa percaya diri dan efektif.


Kelima, Experts and Eminent Persons dalam ASEAN Regional Forum (ARF EEP) menyatakan bahwa terdapat sejumlah kendala dalam pengembangan keamanan siber di kawasan seperti kurangnya rasa saling percaya dalam pengembangan informasi infrastruktur, perbedaan kepentingan dalam hal keamanan nasional, perbedaan persepsi nasional terkait dengan ancaman dan tantangan ruang siber, ketidakmampuan kerangka domestik untuk menangkal ancaman siber, kegagalan untuk mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan untuk menangani tantangan-tantangan siber, dan keterbatasan serta kesenjangan kapabilitas dan kemampuan siber dan teknologi informasi. 

Rekomendasi Pengembangan Keamanan Siber
Pengembangan dan pemajuan kerja sama siber di ASEAN dapat ditingkatkan melalui pertama, dengan meningkatkan tanggung jawab pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Hal ini diwujudkan dengan koordinasi antar negara untuk menanggapi insiden siber dan penggunaan TIK oleh pelaku kriminal dan teroris, berbagi informasi hukum, aturan dan strategi yang berhubungan dengan keamanan siber dan memfasilitasi komunikasi dan berbagi informasi, terutama disaat insiden siber dipandang berpotensi mengancam stabilitas regional. Dengan adanya kerja sama antar pemerintah negara-negara anggota ASEAN, maka resiko kesalahan persepsi, kesalahan perhitungan dan peningkatan ketegangan yang dapat mengarah ke konflik akan dapat dikurangi.

Kedua, memperluas kerja sama dengan semua pemangku kepentingan yang relevan untuk lebih terlibat dalam diskursus dan pembuatan kebijakan keamanan siber serta memperluas kemitraan pemerintah-swasta. Para pemangku kepentingan dapat menggunakan model-model best-practices untuk menilai status nasional dan kemajuan implementasi kebijakan-kebijakan keamanan siber.

Ketiga, memperkuat pembangunan kapasitas dan memajukan kerja sama lintas regional. Langkah-langkah ini dijalankan dengan mempelajari pelibatan lintas kawasan berbagai organisasi multilateral dalam hal keamanan siber, maupun kerja sama intra kawasan dengan berbagai mekanisme dan inisiatif regional serta bagaimana organisasi-organisasi regional lainnya menangani tantangan-tantangan siber yang kian membesar.

Keempat, membangun langkah-langkah saling percaya (confidence building measures) dengan memajukan keamanan siber sebagai prioritas keamanan nasional. Seluruh pemangku kepentingan harus mendukung kerja sama keamanan siber untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sebagai langkah pertama pembangunan rasa saling percaya, negara-negara di kawasan dapat menggunakan laporan dari UN GGE (United Nations Group of Governmental Experts on Developments in the Field of Information and Telecommunications in the Context of International Security) tahun 2015 yang berjudul “Developments in the Field of ICT in the context of International Security” sebagai panduan.

Kelima, memajukan kerja sama teknik di kawasan dengan saling dukung dan kerja sama dalam sektor-sektor khusus termasuk Mutual Legal Assistance dan kerja sama CERT/CSIRT (Computer Emergency Response Team/Computer Security Incident Response Team). Selain itu, negara-negara anggota ASEAN dapat berbagi informasi mengenai berbagai kerentanan yang mempengaruhi keamanan teknologi dan informasi komunikasi serta cara-cara menutup kerentanan tersebut melalui protokol dan perlindungan kanal komunikasi.